| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, March 22, 2007,8:51 PM

Gubernur Lemhannas: Capres Harus S1 Mengada-ada

[JAKARTA] Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Muladi menilai, wacana calon presiden (capres) harus sarjana bertujuan ingin menjegal Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri. Persyaratan itu juga dinilainya mengada-ada.

"Saya tidak setuju capres harus memiliki latar belakang pendidikan S1, karena menjadi pemimpin bukan gelar yang dibutuhkan, tapi leadership. Banyak pemimpin bangsa yang tidak sarjana, tapi kemampuan leadership-nya memadai," kata Muladi, usai acara bakti sosial DPP Partai Golkar, di Jakarta, Senin (19/3).

Muladi memberi contoh mantan presiden Soeharto, yang meski berlatarbelakang pendidikan SMA, tapi bisa memimpin selama 32 tahun. Dikatakannya, orang yang bergelar sarjana belum tentu bisa melakukan apa yang dilakukan Soeharto. "Gelar sarjana tidak otomatis membuat orang jadi pemimpin," ujarnya.

"Jangan tergiur gelar sarjana, karena banyak sarjana palsu yang ijazahnya beli di ruko-ruko dengan Rp 500.000. Kalau syarat capres harus sarjana, nanti banyak sarjana model begini yang jadi capres," tandasnya. Dia menambahkan, hendaknya membuat persyaratan tidak tendensius didasarkan untuk menjegal salah seorang calon.

Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, persyaratan capres jangan sampai bertentangan dengan UUD 1945. "UUD 1945 sudah mengatur syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden dalam pasal enam dan secara prinsip tidak mengatur persyaratan keharusan seorang presiden harus minimal berijazah S1," katanya di Prambanan, Klaten, Senin.

Ia juga mengingatkan agar RUU tersebut tidak bertujuan untuk menjegal salah satu kandidat. Jika ini terjadi, berarti tidak menghadirkan pendidikan berpolitik yang baik bagi rakyat. "Jangan sampai perpolitikan kita saling menjegal, balas dendam, karena itu tidak mendidik dan meningkatkan kualitas berdemokrasi rakyat," katanya.

Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Bidang Hukum dan HAM, Firman Jaya Daeli kepada wartawa, di Bengkulu, Minggu (18/3), mengatakan, persyaratan itu bertentangan dengan demo- krasi dan menutup hak warga negara untuk mengaspirasikan pilihannya pada pesta rakyat tahun 2009 mendatang.

Firman mengatakan, RUU Pilpres merupakan rekayasa politik yang masuk kategori kurang bijak. Di satu sisi, menutup pintu dan menjegal langkah lawan politik untuk maju dalam pilpres. Di sisi lain, merupakan refleksi ketakutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap saingan politiknya.

Sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945, lanjutnya, pelaksanaan Pilpres tidak berkaitan dengan jenjang pendidikan. Sebaliknya memberi mandat kepada rakyat, selaku pihak yang berkuasa untuk memilih calon presiden dan wapres. Rakyat yang berhak menyuarakan siapa yang patut jadi pemimpin. Sehingga tidak perlu diatur oleh pasal-pasal.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Kepemudaan dan Olahraga, Maruarar Sirait mempertanyakan apa korelasi antara lulusan sarjana dengan kepemimpinan bangsa. Karena menurut dia, untuk menjadi pemimpin bangsa seseorang harus memiliki integritas, legitimasi, karakter dan moral yang baik. "Karena itu, RUU baru ini jangan dipolitisir. Mari kita bermain dengan fair untuk Pemilu 2009," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dicantumkan 20 persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden, yang salah satunya berisi pendidikan minimal SMA.

Sementara itu dalam draf RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD disyaratkan bahwa para calon anggota DPR dan DPD harus berpendidikan minimal sarjana (S-1). Sedangkan, untuk DPRD minimal Sekolah Menengah Atas (SMA).

Syarat yang sama juga diatur dalam draf RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Di sana diatur bahwa calon presiden minimal berpendidikan sarjana (S-1). [Ant/143/B-14]

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home