| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, October 03, 2006,9:01 PM

Habibie, Prabowo, dan Wiranto

Oleh Salahuddin Wahid
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Wawancara Prof B.J. Habibie dengan Andy Noya dalam tayangan KICK ANDY (Metro TV) pada 21/9/06 malam mengungkapkan apa yang terjadi pada 22/5/1998 menyangkut Habibie, Prabowo, dan Wiranto. Kisah itu adalah bagian dari buku BJH berjudul Detik-Detik yang Menentukan yang meledak penjualannya.

BJH mengisahkan, pada tanggal 22/5/98 pagi menerima laporan dari Pangab Jenderal Wiranto tentang adanya gerakan pasukan Kostrad menuju Istana Merdeka dan kediaman BJH di Kuningan, yang terjadi tanpa dilaporkan kepada Pangab. Berdasar laporan itu, Presiden Habibie memberikan perintah kepada Pangab untuk mengganti Panglima Kostrad Prabowo Subianto pada hari itu juga dengan Letjen Johny Lumintang. Karena pergantian itu, Prabowo menghadap Presiden Habibie untuk menyampaikan keberatan. Dalam kesempatan itu, terjadilah dialog berbahasa Inggris yang menurut BJH di dalamnya Prabowo menyebut BJH sebagai presiden yang naif.

Esok harinya di media, Fadli Zon menyatakan bahwa tidak benar kalau Prabowo mengeluarkan ucapan seperti itu yang bisa dibilang kasar dan tidak sopan. Menurut Fadli Zon, ada yang berbohong, entah BJH entah Wiranto. Di Metro TV 27/9/06 malam, Prabowo sekali lagi membantah apa yang ditulis BJH di dalam buku itu dan menyatakan bahwa dirinya sedang mengajukan permohonan untuk bertemu BJH guna mengklarifikasi ketidakbenaran ucapan-ucapannya yang ditulis BJH di dalam buku tersebut. Menurut saya, tepat langkah Prabowo untuk meluruskan apa yang dianggapnya tidak benar.

Fadli Zon mengatakan bahwa salah seorang berbohong (tentang adanya gerakan pasukan Kostrad di atas). Maka, banyak orang akan sampai kepada kesimpulan: terserah kita mau percaya kepada siapa, Prabowo atau BJH dan Wiranto. Mengapa Prabowo hanya memasalahkan ucapannya yang tidak sopan seperti yang ditulis BJH? Dan tidak memasalahkan gerakan pasukan Kostrad itu seperti yang dibantah oleh Fadli Zon? Bukankah masalah itu jauh lebih berat?

***

Benarkah ada gerakan (liar) pasukan Kostrad itu? Apakah Wiranto telah mengecek kepada Prabowo atau belum? Siapakah yang melaporkan gerakan itu kepada Wiranto? Kita langsung teringat pada silang sengketa antara Wiranto dan Prabowo dalam masalah upaya Prabowo mencegah Wiranto pergi ke Malang pada tanggal 13 Mei 1998.

Prabowo mengatakan bahwa dirinya telah mencoba menghubungi Wiranto melalui telepon, tetapi tidak bisa berbicara langsung, hanya melalui ajudan. Disampaikannya pesan melalui ajudan bahwa Pangab Wiranto tidak perlu pergi ke Malang, tetapi konsentrasi pada apa yang terjadi di Jakarta yang lebih gawat. Tetapi, ajudan tersebut merasa tidak menerima pesan itu.

Silang sengketa itu sudah terungkap tidak lama (beberapa bulan) setelah peristiwanya terjadi sehingga kemungkinan lupa terhadap apa yang terjadi amat kecil. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ajudan memang tidak menerima pesan Prabowo? Atau dia menerima pesan itu, tetapi lupa menyampaikan? Atau dia menerima pesan itu, tetapi sengaja tidak menyampaikannya kepada Wiranto? Atau Wiranto menerima pesan itu, tetapi mengabaikannya karena menganggap pesan itu tidak penting?

Atau Prabowo ingin menyampaikan pesan itu dan belum sempat menyampaikannya, tetapi merasa telah menyampaikan? Kesemuanya masih merupakan misteri.

Dalam kaitan laporan adanya gerakan (liar) Kostrad pada 21 Mei 1998 itu, ada beberapa kemungkinan. Pertama, Wiranto amat percaya kepada perwira yang melaporkan dan langsung yakin terhadap laporan itu dan merasa tidak perlu ada klarifikasi kepada Prabowo karena situasinya darurat. Klarifikasi akan menimbulkan konsekuensi yang membahayakan negara.

Kedua, Wiranto mencoba melakukan klarifikasi, tetapi tidak berhasil mengontak Prabowo. Ketiga, kemungkinan yang seperti dituduhkan Fadli Zon: Pangab Wiranto berbohong atau membuat laporan yang tidak benar kepada Presiden Habibie. Ketiga kemungkinan itu harus dikemukakan.

Sejauh itu adalah keyakinan Wiranto demi kepentingan bangsa dan negara, menjadi wewenangnya untuk membuat keputusan melaporkan gerakan itu kepada presiden (kemungkinan pertama). Orang bisa membuat penilaian berbeda terhadap keputusan itu. Ada yang menganggap Wiranto terburu-buru dan kurang hati-hati.

Sebaliknya, ada yang menganggap hal itu menunjukkan ketegasan Wiranto yang berani mengambil keputusan dengan cepat sesuai keyakinannya. Kalau ternyata anggapannya keliru dan ada yang menganggap dia berbohong, itu adalah risiko yang harus dipikulnya. Mungkin, seandainya SBY yang jadi Pangab saat itu, yang terjadi mungkin bisa berbeda.

***

Kita berempati kepada Prabowo yang merasa dizalimi dan ingin memperbaiki nama baik diri dan orang tuanya. Prabowo berhak membela diri dan hak itu harus kita hormati. Tetapi, itulah kehidupan yang sering berjalan di luar kehendak dan rencana kita. Adakalanya kita merasa dizalimi dan adakalanya kita dianggap menzalimi orang lain tanpa kita sadari dan rasakan.

Kita bersyukur TNI-AD tidak punya tradisi melakukan kudeta seperti di Thailand dan juga di Filipina (yang gagal). Kita tetap harus mempertahankan tradisi itu. Kita banyak mengalami pergantian presiden secara tidak normal: Bung Karno yang dilengserkan oleh MPRS, Pak Harto yang lengser setelah didesak oleh rakyat serta pimpinan DPR/MPR, dan Gus Dur yang dilengserkan MPR karena menerbitkan dekrit untuk membubarkan DPR. Semoga tidak ada lagi presiden kita yang lengser dengan cara tidak normal.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home