| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 27, 2006,2:23 PM

Reorientasi Pengentasan Kemiskinan

Jousairi Hasbullah
Kasubdit Statistik Ketahanan Wilayah BPS

Persoalan penanggulangan kemiskinan tampaknya merupakan beban pembangunan manusia yang sangat berat di Indonesia. Berbagai paket penanggulangan yang dilaksanakan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Pertanyaannya, mengapa demikian? Di tahun 2007 pemerintah tengah menggodok rancangan anggaran pengentasan kemiskinan dengan dana sekitar 50 triliun. Akankah hasilnya tetap jauh dari harapan?

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, tergolong luar biasa. Beragam instrumen makro telah diimplementasikan. Upaya memacu kembali pertumbuhan ekonomi, misalnya, dengan mendorong institusi pasar agar lebih dinamis terlihat menunjukkan kinerja makro yang cukup positif.

Program-program yang bersifat langsung mulai dari program Jaring Pengaman Sosial, dana bergulir, dana pembangunan desa, dan sebagainya terus digulirkan. Banyak lagi program pembangunan dan bantuan lainnya, termasuk yang bernuansa charity seperti BOS, raskin dan terakhir bantuan langsung tunai.

Apa hasilnya ? Penduduk miskin, seperti yang telah banyak diulas oleh media massa, cenderung bertambah. Sebagai contoh, pada 1984 jumlah orang miskin di Indonesia 35 juta jiwa. Walaupun telah terjadi beberapa penyesuaian metodologis, hampir 10 tahun kemudian yaitu pada tahun 2002 Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan 35,7 juta penduduk Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 15,5 juta di antaranya digolongkan sebagai fakir miskin. Pada tahun 2005 (Februari), jumlah penduduk miskin tercatat 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen dari total penduduk. Angka terakhir pada tahun 2006 (September) jumlahnya mencapai 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen.

Budaya miskin
Kita tidak begitu peduli sebetulnya tentang angka pasti jumlah orang miskin, tetapi yang kita lebih peduli bahwasanya persoalan kemiskinan merupakan sesuatu yang pelik. Perlu segera kita kaji bersama mengapa program penanggulangan yang kita jalankan selama ini terasa kurang efektif. Kuat dugaan bahwa salah satu bentuk keterbatasan itu terletak pada cara pandang mengenai faktor-faktor yang menyebabkan orang Indonesia dalam kekurangan dan rentan yang disebut sebagai miskin.

Asumsi yang banyak dipakai menyebutkan bahwa orang Indonesia itu miskin karena pendidikan rendah, akses ke sumberdaya ekonomi terbatas, dan kurang modal. Asumsi-asumsi ini pada spektrum tertentu, ada benarnya. Literatur ekonomi pembangunan mendukung cara pandang tersebut. Hanya, yang kurang diperhitungkan bahwa manusia hidup, dengan tingkat survival yang mereka capai, akan banyak ditentukan oleh spektrum yang lebih luas yaitu nilai-nilai dan struktur organisasi sosial di mana mereka ada di dalamnya. Seseorang itu menjadi miskin juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berlaku yang telah membentuk budaya kemiskinan.

Budaya kemiskinan, yang didefinisikan sebagai suatu cara hidup dan cara pandang, yang lemah dan gampang puas, dan dialami serta dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang miskin, jarang sekali mendapat tempat dalam suatu diskursus perencanaan dan program penanggulangan kemiskinan. Dimensi ini senantiasa dipandang sebagai mengada-ada dan produk analisis yang bias yang sengaja dilantunkan oleh para ilmuwan Barat untuk sekadar menjelek-jelekkan orang Indonesia.

Salah satu dimensi penting yang melestarikan budaya miskin adalah kenyataan bahwa di setiap setting kebudayaan lokal di Indonesia terbangun suatu organisasi sosial dengan kepemimpinan lokal yang khas. Mereka membentuk strata di mana stratum atas senantiasa menguasai berbagai bentuk sumberdaya yang tersedia. Secara sosiologis, di sebagian besar wilayah Indonesia, masyarakat terbagi dalam sekat-sekat vertikal antara para elite lokal feodal yang berada di lapisan atas dan eksploitatif, serta kaum marginal-miskin di lapisan bawah.

Mereka yang di strata bawah mengalami kesulitan yang besar untuk dapat keluar dari kungkungan budaya yang menghimpitnya. Ketika budaya miskin ini berbenturan dengan penetrasi kapitalisme perdesaan, maka kehidupan mereka senantiasa akan seperti dibanduli beban yang sangat berat. Mereka sulit bergerak, berpikir dan melakukan penyesuaian dengan umumnya pola kehidupan masyarakat yang lebih maju. Rakyat miskin tidak siap menghadapi tuntutan baru seperti kecepatan menangkap peluang, menghargai waktu, menghargai uang, produktif, dan sejenisnya. Mereka menjadi bertambah sulit untuk lepas dari kungkungan. Ini diperburuk oleh kecenderungan umum yang terjadi dalam setiap komunitas di Indonesia yaitu hancurnya nilai-nilai dan orientasi budaya yang menopang modal sosial. Padahal, di zaman dulu, modal sosial inilah yang masih mampu menyelamatkan kaum miskin dari keterpurukan.

Di tahun 1950-an dan 1960-an, walaupun tekanan kultural dari hierarki sosial lapisan atas kuat membelenggu kaum miskin, tetapi di lapisan tengah struktur sosial yang ada, semangat berbagi dan tolong-menolong, semangat saling mempercayai, dan kolektifitas kelompok masih cukup kuat. Tetapi saat ini bala penyelamat itu mulai menipis. Faktor yang disebutkan ini serasa enggan kita cermati untuk menjadi bagian dari proses penyusunan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Ini tampaknya menjadi inti persoalan yang melingkari kemiskinan masayarakat di Indonesia. Dengan situasi seperti ini sebesar apapun pertumbuhan ekonomi makro yang dapat dicapai, dan sebesar apapun dana kredit yang mengalir keperdesaan tidak akan banyak manfaatnya bagi orang miskin.

Reorientasi strategi
Apa yang kita perlukan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia adalah menemukan strategi baru yaitu bertolak dari kenyataan sosial tentang kuatnya budaya kemiskinan dan hancurnya modal sosial. Dalam konteks ini salah satu fokus strategi ke depan adalah menghidupkan energi sosial masyarakat miskin, mentransformasikan budaya inert (kaku) yang turun-temurun ke budaya baru sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Apa yang kita saksikan dengan budaya kemiskinan kita, bahwa pola pola bertindak dan respons masyarakat miskin terhadap kehidupan itu sendiri mengikuti pola pola abad ke-18 dan abad ke-19. Saat itu, tanpa harus bekerja keras, alam dengan sendirinya akan mencukupi kebutuhan setiap penduduk.

Penanggulangan kemiskinan semakin rumit karena orientasinya hanya kepada pemerintah. Organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, LSM dan semua pihak terkesan lebih banyak menjadi penonton dan komentator. Ketika permasalahannya terletak pada dimensi budaya, maka gerakan penanggulangan kemiskinan hanya akan membawa hasil jika dilakukan gerakan bersama setiap komponen yang disebutkan.

Institusi sosial yang tumbuh termasuk institusi keagamaan seyogyanya memberi perhatian yang lebih maksimal pada akar masalah yang tengah melilit orang miskin dan mendorong mereka secara inklusif berpartisipasi dalam institusi-institusi sosial yang ada. Institusi-institusi sosial itu pun perlu melakukan reorientasi tujuan dan lebih mengembangkan semangat untuk menumbuhkembangkan modal sosial yang tengah mengalami kehancuran.

Ikhtisar
- Banyak sekali program pengentasan telah digulirkan, tapi hasilnya masih jauh dari harapan.
- Setiap setting kebudayaan lokal masih membentuk strata yang membuat masyarakat miskin makin terhimpit.
- Selain karena strata, kondisi kaum miskin diperparah lagi dengan menipisnya modal sosial seperti semangat gotong-royong, saling mempercayai, dan sebagainya.
- Perlu orientasi baru dalam mengembangkan strategi pengentasan kemiskinan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home