| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 27, 2006,2:52 PM

Jihad Lawan Kemiskinan

Oleh Hasyim Muzadi

Perkataan jihad kembali menjadi wacana luas di kalangan masyarakat menyusul pro-kontra respons terhadap pernyataan Paus Benediktus XVI ihwal jihad. Dalam kuliah umum di Aula Magna, Universitas Regensburg, Jerman, belum lama ini, Paus mengingatkan ihwal makna jihad dalam Islam yang sering dikonotasikan dengan pedang untuk menyebarkan agama Islam.

Menurut Paus, tafsiran tersebut merujuk pada pernyataan Kaisar Bizantium Manuel II Paleologus yang memaknai kata jihad dengan pedang. Maksudnya, agama Islam dikembangkan oleh para pemeluknya dengan menggunakan "pedang". Dalam konteks ini, pedang selalu dikonotasikan dengan jalan kekerasan atau adanya unsur pemaksaan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain.

Benarkah demikian? Agaknya, kehadiran Ramadan kali ini harus dijadikan momentum untuk kembali mengkaji makna dan eksistensi jihad dalam masyarakat Islam. Seperti jamak dipahami umat Islam, Ramadan biasanya dijadikan momentum untuk penyucian diri (tazkiyah), mengingat Allah (dzikrullah), dan evaluasi (muhasabah) dalam setahun perjalanan hidup kita. Harus kita akui bahwa di dalam komunitas Islam, penafsiran tentang makna jihad memang masih beragam.

Ada yang saklek mengatakan bahwa jihad itu adalah perang secara fisik (qathl atau harb), ada pula yang menafsirkan jihad dalam bentuk lain. Kali ini, penulis ingin membahas jihad dalam perspektif makna yang kedua itu, yaitu jihad melawan kemiskinan dan kebodohan. Sebab, problem seperti itulah yang riil dihadapi umat dan bangsa Indonesia sekarang.

Secara harfiah, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Kemudian, ada konteks jihad fi sabilillah yang sering dimaknai sebagai perjuangan di jalan Allah. Dalam hal ini, perjuangan bukan semata-mata perang. Sebab, jihad dalam ajaran Islam, sebagaimana disampaikan Nabi Muhammad, adalah melawan hawa nafsu, khususnya nafsu syaithoniyah.

Salah satu nafsu yang patut diperangi adalah nafsu amarah, iri hati, syirik atas nikmat orang lain, sombong, termasuk nafsu serakah yang sering menempuh jalur korupsi dan manipulasi. Artinya, nafsu negatif itu merupakan sumber petaka yang tidak hanya akan merusak diri sendiri, tapi juga mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi orang lain.

Sekadar contoh, berbagai bencana alam yang diakibatkan ulah manusia seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran, muntahan lumpur panas di Sidoarjo, serta yang lain itu merupakan buah keserakahan segelintir orang yang rakus. Bukankah illegal logging merupakan salah satu bentuk keserakahan yang patut diperangi agar tidak merugikan rakyat banyak, termasuk nyawa mereka?

Jerit dan tangis para korban bencana ternyata hanya menjadi hiasan di layar kaca atau konsumsi berita belaka, tidak lebih dari itu. Tangisan dan nestapa mereka tak mampu menyentuh dinding kepekaan pemerintah yang telah disumpah untuk melindungi dan melayani kepentingan rakyatnya. Yang lebih tragis lagi, bencana justru menjadi komoditas yang sangat laris untuk dimuati dengan berbagai interes yang tidak merujuk pada kepentingan rakyat, khususnya korban bencana.

Meminimalisasikan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jihad. Kemiskinan yang diderita rakyat dan bangsa Indonesia saat ini bukan semata-mata karena kealpaan atau kesalahan mereka semata.

Kebocoran anggaran dan mark up project juga menjadi faktor yang cukup dominan bagi penyebaran kemiskinan karena tereduksinya secara besar-besaran kue ekonomi yang semestinya bisa dinikmati rakyat kecil. Kondisi tersebut masih diperparah oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat kecil tak berdaya sehingga membuat akses mereka makin tertutup, termasuk akses ekonomi dan pendidikan.

Kendati tanggung jawab utama untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan itu berada pada pemerintah, partisipasi publik juga menjadi sebuah keniscayaan karena kondisi sekitar yang makin mendesak untuk segera ditangani.

Semua ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam melakukan pendampingan terhadap rakyat itu juga merupakan bagian dari jihad yang tidak kecil nilainya. Dengan kata lain, perang melawan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan tidak perlu pedang. Sebab, misi utama Islam, antara lain, juga terciptanya kehidupan rakyat yang sejahtera, tercerahkan, dan mempunyai kekuatan di berbagai aspek kehidupan agar umat Islam memiliki harkat dan martabat yang tinggi serta bisa duduk sejajar dengan umat lain, bukan umat peminta-minta dan kriminal.

Dengan demikian, jihad dalam perspektif Islam bukan semata perang dalam pengertian ansich, melainkan sebuah ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan taraf hidup umat pemeluknya. Islam tidak cukup hanya dimaknai dengan jumlah penduduk yang ber-KTP Islam atau jumlah masjid dan musala belaka.

Lebih dari itu, Islam harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk eksistensi Islam yang seharusnya membawa rahmat dan berkah bagi seluruh penghuni alam semesta, bukan hanya manusia, namun juga makhluk lainnya. Islam juga melarang berbagai upaya yang dapat menyengsarakan kehidupan umat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, dan berbagai kecurangan lain yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi dan kelompok.

Karena itu, para pencari ilmu dalam konteks Islam mempunyai posisi yang sangat strategis karena Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sebagaimana perintah yang disampaikan Nabi Muhammad, carilah ilmu dari kecil hingga ajal menjemput.

Selain itu, masih banyak pesan Nabi Muhammad yang terkait dengan perintah untuk mencari ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kualitas kehidupan umat, termasuk tersedianya sumber daya manusia unggul dan kompetitif. Upaya menyediakan SDM-SDM yang unggul dan kompetitif itu juga merupakan makna jihad yang sesungguhnya karena terkait secara langsung dengan kehidupan umat Islam ke depan.

Berdasar misi Islam seperti itulah, rasanya, agak berlebihan untuk memaknai jihad hanya semata-mata mengangkat pedang atau senapan. Sebab, sejarah membuktikan bahwa keyakinan keagamaan tidak semata-mata bisa dikembangkan dengan pedang, melainkan akan lebih mengakar hingga ke nurani terhadap religiusitas seseorang jika Islam dikembangkan melalui jalan damai dan bersahabat.

Apakah bom dan senapan bisa mengubah keyakinan keagamaan seseorang? Ataukah sebaliknya, apakah pemeluk Islam makin menyusut karena adanya stigmatisasi yang kian masif terhadap Islam?

***

Kenapa ada kesan bahwa Islam berkembang melalui pedang? Tampaknya, ada beberapa hal yang patut dicermati atau bahkan perlu diteliti secara akademis oleh para ahli sejarah. Ada kesan kuat bahwa penulisan sejarah Islam, khususnya pada fase Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, itu masih terlalu bias. Apalagi jika kesan tersebut dikaitkan dengan kerja-kerja intelektual yang dilakukan kaum orientalis.

Akibatnya, sajian sejarah Islam yang terlihat menonjol justru kisah tentang peperangan atau jalur kekerasan dalam menyebarkan Islam. Benarkah perang menjadi pintu utama bagi penyebaran Islam? Bahwa ada peperangan semasa Rasulullah saw, itu merupakan sebuah keniscayaan sejarah, namun apakah semua itu untuk menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam? Banyak bukti sejarah, perkembangan Islam justru berbicara lain, termasuk masuk dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara.

Terlepas dari berbagai keraguan terhadap asumsi historis, khususnya mengenai pengembangan Islam, patut kiranya kealpaan yang dilakukan Paus Benediktus XVI itu diambil hikmahnya sekaligus memaafkan Paus karena yang bersangkutan sudah meminta maaf. Sepatutnya, umat Islam khususnya di Indonesia ini bisa memberikan rasa nyaman dan rasa bersahabat bagi pemeluk agama lain karena Islam hadir, antara lain, untuk pengembangan nilai-nilai persahabatan.

Karena itu, merupakan tindakan yang tak terpuji bagi mereka yang suka memutus tali persahabatan karena ikatan persahabatan itu bisa menjadi salah satu perekat terjadinya harmonisasi sosial yang saat ini makin compang-camping.

H A. Hasyim Muzadi, ketua umum PB NU dan presiden World Conference of Religions for Peace (WCRP)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home