| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, September 28, 2006,9:27 PM

Bangkitnya Nasionalisme Jepang

Tampilnya Shinzo Abe Jadi PM
Oleh A. Eby Hara

Jepang mempunyai Perdana Menteri baru Shinzo Abe sejak Selasa 26 September yang menggantikan PM sebelumnya, Junichiro Koizumi, yang telah berkuasa 5 setengah tahun. Sebagai negara yang kuat secara ekonomi dan politik, perkembangan di Jepang perlu dipantau di Indonesia.

Jepang telah lama menjadi partner kerja sama ekonomi dan sumber bantuan yang penting untuk Indonesia. Karena itu, setiap perubahan dalam pemerintahan di sana layak mendapat perhatian agar kita dapat mengatur strategi dan lobi sehingga peluang kerja sama bisa ditingkatkan.

Namun, dari segi hubungan dengan Indonesia ini, para Indonesianis Jepang, agaknya, pesimistis terhadap tampilnya Abe sebagai PM yang lebih berorientasi pada politik assertive untuk menampilkan peran Jepang lebih besar dalam forum internasional.

Harapan mereka sebetulnya lebih diberikan kepada Yasuo Fukuda yang sempat menjadi penantang kuat Abe dalam pemilihan ketua LDP sebelum mengundurkan diri karena kalah popularitas dari Abe.

Fukuda diharapkan akan memberikan perhatian lebih besar kepada Asia dan akan lebih berhati-hati dalam politik luar negeri. Dia diharapkan akan memperbaiki hubungan Jepang dengan Tiongkok dan Korea Selatan yang tegang karena kunjungan PM sebelumnya, Koizumi, ke Kuil Yasukuni.

Demikian juga, dia diharapkan melanjutkan hubungan baik dengan Asia, termasuk Indonesia, seperti bapaknya, Takeo Fukuda, lewat doktrin Fukuda. Para penasihat Yasuo Fukuda diberitakan sedang menyiapkan doktrin yang dapat meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.

Namun, harapan itu musnah karena suasana hubungan sudah berbeda dan prioritas politik Jepang juga sudah bergeser. Bagaimanapun Indonesia harus melihat kenyataan ini dan perlu menyimak kecendrungan yang terjadi di Negara Sakura itu sekarang.

Kepentingan Berubah

Satu hal yang, agaknya, jelas adalah kepentingan Jepang sudah berubah banyak dari kebijakan pro-Asia gaya PM Kakue Tanaka dan Takeo Fukuda. Waktu itu Jepang masih sangat bergantung kepada bahan mentah dari negara-negara Asia. Walaupun hubungan akan tetap normal, prioritas dan retorika Jepang saat ini bisa jadi menjauhkan negara itu dari Asia Tenggara.

Jepang menginginkan tokoh yang lebih assertive, yang dapat menampilkan peran Jepang lebih mengemuka di dunia internasional. Shinzo Abe yang baru berusia 52 tahun mewakili kecendrungan itu. Dia merupakan PM termuda Jepang setelah Perang Dunia II, yang membalikkan tradisi senioritas di negara itu.

Sebetulnya dia kurang pengalaman, namun seperti mentornya, Koizumi, Abe adalah figur yang karismatik, menarik, dan berani melawan arus. Dia berjanji akan mengubah konsitusi Jepang yang pasifis, meningkatkan peran internasional Jepang, meningkatkan rasa hormat pada nilai tradisional, dan membangun kebanggaan pada masa lalu Jepang.

Karena itu, PM baru itu terkenal dengan pandangan politik konservatif, nasionalis, hawkish, dan sayap kanan. Dia dipandang konservatif karena menolak untuk mengubah tradisi kaisar laki-laki yang diperdebatkan sebelum lahirnya putra mahkota di kekaisaran Jepang pertengahan September lalu.

Dia juga mendorong peranan yang lebih besar kepada militer dan bersikap keras terhadap Korea Utara dan Tiongkok yang menjadi ancaman utama bagi Jepang. Dia sangat mungkin akan memperkuat komitmen kerja sama dengan Presiden Bush, terutama untuk membendung kekuatan Tiongkok.

Walaupun harapan orang Jepang terutama adalah perbaikan ekonomi untuk mengatasi gap penghasilan, bagi dunia internasional, sikap dan pandangan politik itu adalah yang paling menarik perhatian karena bisa menimbulkan kontroversi di kawasan.

Bergesernya Identitas

Dunia internasional melihat terpilihnya Abe sebagai simbol terus bergesernya identitas Jepang yang pasifis ke arah sikap yang lebih asertif. Abe akan melanjutkan peran Koizumi yang telah memulai "pemberontakan" terhadap tradisi pasifisme yang dulu berkembang karena tekanan dunia internasional terutama AS.

Koizumi tiap tahun mengunjungi Yasukuni Shrine walaupun mendapat kecaman internasional, terutama dari Tiongkok dan Korea. Kunjungan itu telah dipandang sebagai simbol bangkitnya militerisme Jepang karena di Shrine itu dimakamkan tentara Jepang korban Perang Dunia II, termasuk mereka yang dianggap penjahat perang.

Shrine mempunyai museum yang seperti kebanyakan di Jepang, menggambarkan cerita Perang Dunia II tanpa menampilkan secara utuh bagaimana perang itu terjadi dan bagaimana tentara Jepang sebelum dikalahkan telah melahirkan penderitaan di negara-negara jajahannya.

Perubahan itu telah dimulai sejak PM Nakasone yang mendorong Jepang untuk mempelajari kemungkinan memiliki senjata nuklir. Kemudian, saat ini Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara juga mewakili keinginan Jepang untuk menjadi lebih independen secara militer seperti yang ditulis dalam bukunya The Japan That Can Say ’No’.

Negara-negara yang pernah mengalami pendudukan Jepang, terutama Korea Utara dan Korea Selatan, Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara sangat khawatir akan bangkitnya militerisme dan nasionalisme Jepang dan menginginkan sikap pasifis Jepang. Untuk mengatasi kekhawatiran itu, AS dulu mendiktekan konstitusi Jepang dengan membatasi peran militer hanya sebagai tentara untuk membela rakyat yang terkenal dengan sebutan Tentara Beladiri Jepang.

Namun, ironisnya. setelah perang dingin, Amerika juga kini menginginkan peran Jepang yang lebih aktif di dunia internasional karena keterbatasan kekuatan Amerika untuk menjaga keamanan di Asia Timur. AS dan beberapa negara Barat menginginkan pembagian beban yang lebih seimbang dalam menjaga kawasan.

Demikian juga, AS mendorong Jepang untuk berperanan dalam pengiriman pasukan perdamaian multinasional di bawah PBB, sesuatu yang bisa dianggap sebagai mulai aktifnya peran militer Jepang.

Abe sebagai generasi baru yang lahir setelah perang mewakili semangat perubahan. Para anggota LDP melihat kecenderungan di masyarakat itu dan mereka memilih dia sebagai ketua partai yang nanti juga memperkuat posisi LDP dalam pemilu tahun depan.

Perubahan identitas itu tentu saja sulit dihentikan. Realitas perubahan itu menunjukkan bahwa Indonesia harus bekerja lebih keras untuk membangun kerja sama dengan Jepang dan bersiap mengantisipasi ketegangan di kawasan yang bisa jadi meningkat karena menguatnya para hawkish di Jepang.

A. Eby Hara PhD, staf pengajar pada FISIP Universitas Negeri Jember

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home