| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, September 28, 2006,9:27 PM

Shinzo Abe dan Masa Depan Jepang

Syamsul Hadi

Tanggal 26 September lalu, Junichiro Koizumi resmi mengakhiri jabatan sebagai Perdana Menteri Jepang. Shinzo Abe yang menang mutlak dalam pemilihan Presiden Partai Demokrat Liberal atau LDP, 20 September, dipastikan menjadi penggantinya.

Mengingat LDP menguasai lebih dari 2/3 kursi parlemen Jepang. Abe (51) akan tercatat sebagai perdana menteri ke-90 dan sekaligus yang termuda dalam sejarah Jepang.

Ada dua hal yang disoroti menyangkut posisi Abe sebagai perdana menteri (PM) baru Jepang.

Pertama, sosok Abe dinilai ultrakonservatif, melahirkan kekhawatiran kian memburuknya hubungan Jepang dengan tetangganya di Asia Timur Laut. Dukungan Abe terhadap kunjungan berseri Koizumi ke kuil Yasukuni sempat melahirkan skeptisme Pemerintah China dan Korea Selatan, yang menganggap kunjungan Koizumi sebagai simbol dukungan bagi kejahatan Jepang semasa perang di masa lalu.

Kedua, Abe yang merupakan pembantu terdekat Koizumi harus menghadapi tantangan tidak ringan menyangkut kelanjutan reformasi ekonomi yang secara determinatif digulirkan Koizumi, yang tidak hanya melahirkan dukungan luas, tetapi juga menyebabkan frustrasi bagi sebagian komunitas masyarakat Jepang.

Warisan Koizumi

Gaya politik Koizumi yang populis dan keberaniannya meluncurkan paket-paket reformasi yang berseberangan dengan vested interest kelompok status quo di Jepang menyebabkan kehadirannya dilihat sebagai pelaku revitalisasi ekonomi dan politik yang memiliki dampak historis yang signifikan bagi masa depan Jepang. Style kepemimpinan Abe mungkin berbeda dengan Koizumi, tetapi substansi kebijakan antara Abe dan Koizumi diperkirakan tak berbeda. Boleh jadi determinasi Abe tidak sekuat Koizumi. Namun, Abe dikelilingi para penasihat yang berkecenderungan besar kepada pemerintah yang "ramping" (smaller government) dan reformasi berbasis pasar. Salah satu pendukung Abe adalah Hidenao Nakagawa yang memiliki pengaruh politik besar karena kedudukannya sebagai Kepala Dewan Pengkajian Kebijakan LDP. Bersama Heizo Takenaka, mendagri di era Koizumi, Nakagawa merupakan arsitek kebijakan liberalisasi Koizumi.

Setelah masa-masa stagnasi, tahun lalu ekonomi Jepang bertumbuh 3 persen. Umumnya ini dilihat sebagai indikator, deflasi ekonomi yang berkepanjangan di Jepang akan berakhir.

Meski demikian, masih tersisa aneka masalah serius yang harus dihadapi penerus Koizumi. Penentangan kuat atas reformasi ekonomi di kalangan elite, terbukti dari kegagalan privatisasi jalan raya dan penundaan ketentuan pensiun dan asuransi kesehatan yang baru.

Yang lebih serius adalah implikasi liberalisasi atas struktur dan budaya masyarakat Jepang. Industri dibuat lebih efisien dan banyak sisi negatif dari "Japan Incorporated" telah dihapuskan. Namun, bersamaan dengan itu, sistem kerja seumur hidup tak lagi berlaku, PHK di mana-mana, dan jurang kesenjangan sosial kian melebar. Berbagai perkembangan ini melahirkan pandangan, Jepang kehilangan akar egalitarianisme sosial, bergeser ke a nation of haves and have-nots.

Dalam hal ini Charles D Lake II, presiden kamar dagang AS di Jepang, mensinyalir terjadi alienasi kultural di masyarakat Jepang akibat aneka kebijakan "fundamentalisme pasar" Koizumi. Lake menunjuk contoh popularitas buku The Dignity of a State yang ditulis Masahiko Fujiwara, seorang ahli matematika.

Buku best seller ini menyerukan agar Jepang kembali ke nilai-nilai lama. Fujiwara juga menyerang sistem pasar bebas dan globalisasi sebagai sistem yang membagi menjadi sekelompok kecil pemenang dan sekelompok besar pecundang.

Politik internasional Abe

Secara politik Abe dikenal sebagai tokoh konservatif dan "ultranasionalis". Konservatisme Abe terlihat, misalnya, dalam penolakannya terhadap undang-undang yang membolehkan seorang perempuan menduduki takhta kekaisaran Jepang. Analis politik Jepang, Minaru Morita, menyatakan, di antara 700 anggota Diet (parlemen), Abe ada di sayap paling kanan sehingga dapat membawa Jepang ke peperangan.

Seperti Koizumi, Abe kerap mengunjungi Yasukuni, di mana kakeknya, mantan PM Nobusuke Kishi, dimakamkan sebagai tersangka penjahat perang seusai Perang Dunia II. Sikapnya yang tanpa kompromi dalam perundingan warga Jepang yang diculik intelijen Korea Utara merupakan ekspresi nasionalismenya yang populer. Abe juga di garis terdepan dalam mengamandemen pasal 16 konstitusi, untuk mengakhiri keberadaan Jepang sebagai negeri "pasif" secara militer.

Kekhawatiran tentang kecenderungan garis keras Abe diredakan dengan statement-nya menjelang pemilihan Ketua LDP, perbaikan hubungan dengan China akan menjadi prioritas.

Abe tidak mengabaikan fakta, China telah muncul sebagai pemain diplomasi ulung yang pintar memainkan isu kolonialisme Jepang. China menggunakan isu kunjungan Koizumi ke Yasukuni dan penulisan buku teks sejarah, yang isinya dianggap menutupi kejahatan Jepang di masa kolonial, sebagai bukti Jepang tidak tulus menyesali agresi militernya di masa lalu. Isu ini efektif membendung hasrat Jepang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Padahal, dari sisi kontribusi finansial kepada PBB, Jepang amat layak menjadi anggota tetap DK PBB. Jepang membiayai 20 persen budget PBB, sedangkan China yang anggota tetap DK PBB mendanai 3 persen.

Bagi ASEAN dan Indonesia, persaingan Jepang-China merupakan tantangan diplomasi. Kestabilan politik Asia Tenggara akan terpengaruh persaingan itu mengingat keduanya ingin menjadikan Asia Tenggara sebagai regional base politik luar negerinya. Dapatkah Indonesia menangkap peluang itu? itulah tantangan yang harus dijawab dengan baik.

Syamsul Hadi Direktur Eksekutif Centre for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI; Mendapatkan PhD Bidang Ilmu Politik dari Hosei University, Tokyo

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home