| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 27, 2006,2:28 PM

Revitalisasi Agama Melawan Kemiskinan

Saifullah Yusuf

Kita tahu, dalam agama secara inheren ada nilai-nilai emansipasi. Karena itu, dalam sejarah agama telah menempatkan dirinya sebagai penggerak perubahan.

Dalam konteks Indonesia, ketertinggalan yang berarti kemiskinan—ekonomi, pendidikan, dan kesehatan—yang menimpa, merupakan tantangan yang harus diatasi dengan partisipasi dan keberpihakan semua unsur.

Tidak berdaya

Banyak saudara kita hidup dalam kemiskinan, belum tercukupi hak-hak dasarnya. Mereka ingin membebaskan diri dengan kekuatan sendiri, tetapi tidak berdaya. Banyak faktor membuat mereka tak mampu keluar dari situasi ini, semisal penyakit, cuaca buruk, hancurnya lingkungan, isolasi fisik, dan ketiadaan uang. Ketertinggalan dan kemiskinan harus ditangani langsung.

Hal penting yang perlu dipertimbangkan guna menanggulangi ketertinggalan dan kemiskinan adalah "karakteristik" preferensi yang terkait ketidakbebasan kaum miskin. Karena itu, penanggulangan kemiskinan harus berbasis data dan kebutuhan di tingkat mikro. Alasannya, karakteristik masalah di antara kasus-kasus kemiskinan amat bervariasi dan akhirnya menentukan preferensi kaum miskin. Hal ini mengandaikan perlunya kebijakan khusus bagi kaum miskin sekaligus tidak ada solusi yang seragam antara berbagai kasus ketertinggalan dan kemiskinan.

Kemiskinan juga berdampak langsung pada tingkat pendidikan. Semakin miskin seseorang, semakin rendah pendidikan mereka. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan, semakin miskin. Kemiskinan ekstrem juga kian menjauhkan mereka dari produktivitas ekonomi dan layanan kesehatan memadai. Busung lapar, wabah penyakit, polio, semua berawal pada kemiskinan.

Agama dan kemiskinan

Menghadapi situasi seperti ini, lembaga-lembaga keagamaan lokal (masjid, gereja, vihara, pura) diharapkan mampu memperluas kebebasan dan preferensi kaum miskin sebagai bentuk upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi mereka lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakat. Bersama masyarakat, lembaga-lembaga keagamaan terbukti melakukan aktualisasi diri melalui aneka kegiatan sosial di masyarakat. Ini berarti, lembaga keagamaan memiliki peran strategis untuk berpartisipasi dalam gerak pembangunan.

Agama yang hanya mengkhotbahkan daftar keinginan normatif tentang "pahala", "dosa", "surga", dan "neraka", tidak akan mampu menghadang problem kemanusiaan ini. Kini agama tidak saja kian ditagih untuk melakukan revitalisasi doktrin dengan bahasa kemanusiaan yang lebih relevan, tetapi juga diharapkan menjadi motivator dalam memerangi dan memberantas kemiskinan.

Para agamawan ditantang menyelesaikan aneka urusan yang lebih nyata dan ditagih kepeduliannya, memberi teladan dan menjadi motivator perubahan.

Saudara-saudara kita yang miskin akibat konstruksi sosial harus dibantu untuk bangkit menjadi kaum yang tekun dalam kepasrahan dan aktif. Di sini agama menjadi energi bagi pemeluknya untuk berlomba menjadi makhluk yang bermartabat.

Pada saat bersamaan, semua agama harus bersatu, bekerja sama memerangi kemiskinan daripada memperbesar perbedaan ritual dan memicu konflik sosial. Bahkan, sudah waktunya semua agama di Indonesia meredefinisi diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan mengobarkan etos kerja keras, ulet, tahan banting, mengutamakan kualitas, berani mengambil risiko, dan lainnya, sebagai "panggilan" (beruf) Tuhan untuk dalam memakmurkan bumi-Nya (ta’mir al-ardl).

Seluruh agama di Indonesia juga perlu mereinterpretasi doktrin, tidak untuk mempertajam kepekaan terhadap ketertinggalan, tetapi mendorong semangat yang lebih rasional dan asketisme dalam menanggapi kebutuhan hidup di dunia (inner worldly).

Obor penerang

Kita menyadari komposisi masyarakat Indonesia yang religius. Namun, potensinya belum tergali guna membebaskan masyarakat dari aneka masalah. Sebagai bangsa yang religius, kita perlu berpikir serius tentang tanggung jawab moral-sosial terkait apa yang dihadapi bangsa ini.

Jika bangsa ini—terutama dari sisi kebijakan pemerintah—bergerak maju bersama dan bersinergi dengan umat beragama lapis bawah, bangsa ini akan menggapai kemakmuran, kemandirian, dan kejayaan. Diharapkan, pembangunan dapat melibatkan partisipasi masyarakat agama di lapisan paling bawah.

Umumnya, lembaga-lembaga agama yang bersentuhan dengan masyarakat bawah dapat menjadi ujung tombak pemberdayaan guna mengatasi masalah masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kesehatan, flu burung, demam berdarah, masalah lingkungan, dan lainnya.

Kegiatan duniawi

Berdasarkan data Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), di Indonesia ada 650.000 lebih lembaga keagamaan lokal yang selama ini mendampingi masyarakat dalam bidang rohani. Jumlah ini menjadi amat strategis jika dilakukan penguatan yang cukup dan diberi bekal keterampilan dalam melakukan pendampingan sehingga kualitas pendampingannya akan lebih menyentuh persoalan nyata di masyarakat. Kegiatan lembaga keagamaan yang selama ini hanya berkutat bidang rohani harus diberdayakan agar menjabarkan kegiatan duniawi yang langsung menyentuh masyarakat.

Penguatan kelembagaan lokal selayaknya disesuaikan dengan persoalan nyata di masyarakat, misalnya soal ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kegiatan lain yang bermanfaat.

Agama dengan iman dan kepercayaannya diharapkan ada pada garda terdepan perubahan sosial dan perbaikan derajat hidup dan kehidupan umatnya. Mungkin tak berlebihan menempatkan nilai-nilai iman yang emansipatif menjadi obor penerang ritual sosial yang membangkitkan bangsa. Pada batasnya, tugas mulia hadirnya agama adalah untuk membangkitkan umat dari ketertinggalan. Bukankah tiap fakiran (kemiskinan) mendekatkan manusia pada kekafiran?

Saifullah Yusuf Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home