| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, September 14, 2006,1:07 PM

Di Balik Angka Kemiskinan

Kecuk Suhariyanto

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2005, berarti jumlah penduduk miskin bertambah 3,95 juta orang, dengan catatan 2,06 juta di perdesaan dan 1,89 juta di perkotaan.

Data kemiskinan pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat siang, 1 September 2006. Bisa jadi data ini mengundang berbagai reaksi. Kelompok yang berpendapat bahwa kenaikan harga BBM akan menurunkan tingkat kemiskinan, dengan alasan penduduk miskin akan mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar (overcompensated) dari kebutuhan untuk mempertahankan kesejahteraan yang sama, boleh jadi gigit jari, tak enak hati, dan menuduh metode penghitungan kemiskinan yang digunakan BPS tidak akurat.

Yang jelas, BPS tetap menggunakan metode yang sama sejak tahun 1998. Artinya, hasil penghitungan yang diperoleh konsisten dan sebanding dengan hasil penghitungan tahun-tahun sebelumnya (apple to apple). Tiga tahun terakhir (2003-2005), dengan metode dan jumlah sampel yang sama, tak ada yang angkat suara. Apa karena jumlah penduduk miskin turun? Kalau mau dicari-cari, tentu saja metode tersebut ada kelemahannya. Di dunia ini mana ada yang sempurna. Kecurigaan yang telanjur berkembang bahwa BPS akan mengubah metodologi supaya jumlah penduduk miskin berkurang sama sekali tak terbukti.

Kelompok lain, yang berpendapat bahwa kenaikan harga BBM akan menambah beban hidup rakyat sehingga jumlah penduduk miskin akan meningkat, boleh jadi lega karena argumennya terbukti benar. Namun, bisa jadi kelompok ini masih tidak puas dan berpendapat bahwa data jumlah penduduk miskin yang dirilis BPS terlalu rendah karena BPS sudah diintervensi pemerintah. Mereka punya hitungan sendiri dengan berbagai asumsi sehingga menghasilkan angka tertentu. Bisa jadi metode yang digunakan juga berbeda.

Saya pribadi tidak berminat membuang energi memperdebatkan soal data karena kemiskinan bukanlah sekadar angka. Bertambah atau berkurang 3,95 juta, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih saja puluhan juta. Kalau terus terjadi debat angka, bagaimana dengan nasib mereka?

Indikator ekonomi

Dengan memerhatikan berbagai indikator ekonomi yang berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan, jauh-jauh hari sebenarnya sudah bisa diprediksi bahwa jumlah penduduk miskin bakal meningkat. Kenaikan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005 menyebabkan berbagai harga barang meningkat dan memacu inflasi setinggi 17,95 persen selama Februari 2005-Maret 2006.

Salah satu komponen penting dari inflasi adalah harga beras yang naik 37,72 persen. Dapat dipastikan, kenaikan harga beras yang tinggi ini memukul telak penduduk miskin. Bagi mereka, kestabilan harga beras sangatlah berarti karena persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan mencapai 23 persen. Di daerah pedesaan, persentase ini bahkan lebih tinggi lagi, berkisar 26 persen.

Indikator ekonomi lain yang berkaitan erat dengan kemiskinan adalah upah riil buruh tani. Sekitar 70 persen penduduk miskin di perdesaan bekerja di sektor pertanian. Dapat diduga mereka adalah petani gurem atau buruh tani. Rata-rata upah nominal harian buruh tani memang naik dari Rp 11.522 pada Februari 2005 menjadi Rp 13.510 pada Maret 2006, tetapi upah riilnya turun dari Rp 2.599 menjadi Rp 2.558. Penurunan yang tidak seberapa, katanya, tetap saja membuat daya beli para buruh tani berkurang.

Kenaikan harga BBM juga berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Jumlah penganggur terbuka pada Februari 2005 sebesar 10,9 juta orang, naik menjadi 11,9 juta pada November 2005 dan turun menjadi 11,1 juta pada Maret 2006. Naiknya angka pengangguran ini bisa saja membuka kemungkinan untuk menambah jumlah penduduk miskin. Dari indikator-indikator tersebut, sebenarnya tak perlu kaget kalau jumlah penduduk miskin bertambah. Kalau masih ada yang tidak mau terima, itu namanya membabi buta.

Tampaknya pemerintah menyadari betul bahwa kenaikan harga BBM bakal membuat beban rakyat semakin berat. Usaha pemerintah menggulirkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM dalam berbagai bentuk (bantuan langsung tunai/BLT, bantuan operasional sekolah/BOS, raskin, askeskin) patutlah dihargai karena bertujuan mulia. Berhasilkah program tersebut? Tergantung dari sudut mana kita memandang.

Saya tidak pernah mempertimbangkan BLT sebagai program pengentasan kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah kompleks yang perlu penanganan yang betul-betul terencana dan berkesinambungan. Mana mungkin mengentaskan kemiskinan hanya dengan memberi santunan sesaat? Menurut saya, BLT memang benar-benar bantuan yang diberikan kepada penduduk miskin agar kehidupan mereka tidak semakin memburuk karena sulitnya ekonomi. Dari sudut pandang ini, BLT jelas sangat bermanfaat bagi penduduk miskin.

BLT yang diberikan kepada rumah tangga miskin diduga merupakan salah satu sumber pendapatan yang diperoleh penduduk miskin untuk menutupi peningkatan pengeluaran akibat kenaikan harga-harga. Tanpa adanya program tersebut, bisa dipastikan jumlah penduduk miskin akan jauh lebih banyak.

Satu hal tampaknya terlewat dari perhitungan. Kenaikan harga BBM yang begitu tinggi, yang tak pernah diduga oleh siapa pun sebelumnya, ternyata tidak hanya memukul penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir/tidak miskin. Meskipun sebagi- an penduduk miskin berubah status menjadi tidak miskin, pada saat yang bersamaan sebagian penduduk yang hampir/tidak miskin juga berubah status menjadi miskin.

Banyak data tersembunyi

Di balik angka kemiskinan yang sebesar 39,05 juta masih tersembunyi banyak data yang menunjukkan berbagai permasalahan yang meresahkan dan perlu mendapat perhatian kita semua.

Pertama, persoalan kemiskinan bukan sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Ada indikasi bahwa Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukkan kecenderungan meningkat. Dengan kata lain, kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin memburuk.

Kedua, kenaikan harga beras dan berbagai barang kebutuhan pokok lainnya membuat penduduk miskin tak punya pilihan lain dan terpaksa mengurangi kuantitas barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi. Kalau tak cepat ditangani, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi di kemudian hari.

Ketiga, alau penurunan pengeluaran hanya terjadi untuk sandang atau pakaian saja, mungkin tak jadi apa. Namun, yang memprihatinkan, penurunan pengeluaran juga terjadi untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat akses penduduk miskin terhadap sumber daya ekonomi akan semakin kecil sehingga mereka tidak bisa ikut menikmati kue ekonomi yang dihasilkan.

Keempat, adanya perpindahan posisi penduduk dari miskin menjadi hampir/tidak miskin dan sebaliknya dalam jumlah yang cukup besar menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Karena itu, setiap kebijakan yang akan diambil, selain harus memperhitungkan dampaknya pada penduduk miskin kronis, juga harus mempertimbangkan dampaknya pada penduduk miskin sementara.

Hal-hal di atas mengajak kita daripada berdebat soal angka kemiskinan yang tak ada habisnya, lebih baik duduk bersama, bahu- membahu mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk mencari solusi yang lebih efektif untuk mengurangi angka kemiskinan. Sungguh saudara-saudara kita yang terjerat dalam kemiskinan tidak perlu angka, tetapi tindakan nyata. Tanya kenapa?

Kecuk Suhariyanto Kepala Subdit Analisis Statistik, BPS

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home