| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, September 14, 2006,1:05 PM

Menuju Penyatuan Kalender Islam

T Djamaluddin
Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, LAPAN Bandung

Awal tahun baru Hijriyyah 1427 lalu kembali diisi dengan tekad bersama dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, untuk membentuk gerakan nasional membangkitkan moral bangsa. Seolah untuk mengukuhkan keakrabannya, bulan lalu pimpinan kedua ormas tersebut terpilih menjadi pimpinan World Conference on Religion for Peace (WCRP).

Alangkah indahnya kalau kebersamaan itu juga dimanfaatkan untuk membangun kesadaran bersama mempersatukan bangsa yang mayoritas beragama Islam, khususnya dalam merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Datangnya Ramadhan yang diakhiri dengan Idul Fitri, kembali membangkitkan semangat untuk mencari solusi penyatuan kalender Islam.

Ada persoalan krusial yang harus dipecahkan. NU dan Muhammadiyah berperan besar memberikan solusi bersama. Perbedaan penentuan awal bulan qamariyah antara metode rukyat (pengamatan) oleh NU dan hisab (perhitungan) oleh Muhammadiyah, secara astronomis mudah dipersatukan, asal ada kerelaan keduanya untuk maju menuju satu titik temu.

Kedua metode harus menggunakan kriteria yang sama. Kriteria hisab-rukyat bukanlah masalah dalil fiqih yang sekian lama menjadikan NU dan Muhammadiyah seolah tidak dapat dipersatukan. Kriteria hisab rukyat adalah hasil penggalian bersama antara metode hisab dan rukyat untuk mendapatkan interpretasi astronomis atas dalil fiqih yang digunakan.

Perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang belum bisa dipersatukan, membuka peluang terjadinya perbedaan Idul Fitri 1427 di Indonesia. Maklumat Pimpinan Pusat Muhammdiyah 7 September 2006 menetapkan Idul Fitri jatuh 23 Oktober 2006 berdasarkan kriteria wujudnya hilal, bulan sabit pertama) dengan prinsip wilayatul hukmi (Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah hukum). Dengan prinsip wilyatul hukmi, wujudnya hilal di sebagian wilayah Indonesia dijadikan dasar penetapan awal bulan untuk seluruh Indonesia. Tetapi PP Muhammadiyah juga menyatakan menghargai warga Muhammadiyah di wilayah yang hilalnya belum wujud untuk ber-Idul Fitri 23 Oktober atau 24 Oktober 2006 tergantung keyakinannya.

Sementara itu PP Persatuan Islam (Persis) yang sama dengan Muhammadiyah menganut metode hisab (perhitungan astronomi) menetapkan Idul Fitri 1427 H jatuh pada 24 Oktober 2006. Persis menggunakan kriteria wujudnya hilal di seluruh Indonesia. PB NU belum menetapkan Idul Fitri, menunggu hasil rukyat (pengamatan) hilal pada 29 Ramadhan 1427. Namun karena kriteria hisab yang umumnya menggunakan ketinggian minimal 2 derajat, dapat diprakirakan kemungkinan Idul Fitri berdasarkan rukyat jatuh pada 24 Oktober 2006.

Menyamakan kriteria
Tulisan ini ingin mengajak semua pihak untuk terbuka mengkaji ulang kriteria penentuan kalender Islam agar hari raya dapat bersatu. Mari kita masuk pada fase ketiga, setelah fase pertentangan dan fase toleransi kita alami, kita menuju fase pencarian titik temu. Masalah utama bukan pada perbedaan antara hisab dan rukyat, tetapi pada perbedaan kriteria awal bulan yang digunakan. Hisab dan rukyat bisa bersatu kalau kriterianya sama. Bila beberapa tahun lalu tidak terjadi perbedaan, bukan berarti telah ada kesepakatan, tetapi lebih disebabkan oleh posisi bulan dan matahari yang memungkinkan semua kriteria yang digunakan di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama.

Bagi sebagian orang yang tidak faham hisab-rukyat, kriteria wujudnya hilal, atau ketinggian bulan 2 derajat, atau kriteria lainnya kadang dianggap sama kedudukannya dengan dalil-dalil fiqih dari ayat Alquran dan hadits yang jadi landasannya. Sehingga banyak yang menganggapnya sebagai interpretasi final atas dalil Alquran dan hadis. Padahal sesungguhnya kriteria semacam itu hanya hasil ijtihad yang bisa berubah, dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan ummat.

Adakah upaya penyelesaian masalah perbedaan yang telah berlangsung lama ini? Alhamdulillah, upaya itu sudah ada dan kita berharap nantinya menghasilkan kriteria penentuan awal bulan yang disepakati oleh semua pihak, khususnya di Indonesia. Upaya mutakhir adalah lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 2/2004 tentang wajibnya umat Islam mengikuti keputusan pemerintah dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pada fatwa tersebut juga ada rekomendasi untuk mengupayakan kriteria penentuan awal bulan yang disepakati dan menjadi acuan bersama.

Upaya tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan wakil-wakil ormas Islam dan para pakar hisab-rukyat yang difasilitasi Departeman Agama pada Desember 2005 yang merumuskan beberapa opsi kriteria penentuan awal bulan Islam. Opsi kriteria tersebut harus dikaji di tingkat ormas untuk kemudian dibahas dan dipilih satu kriteria bersama dalam forum pertemuan yang lebih besar.

Perumusan opsi kriteria tersebut merupakan hal penting menuju penyatuan kalender Islam di Indonesia. Upaya serupa pada tahun 1990-an gagal meyakinkan semua ormas Islam untuk menjadikan kriteria berdasar kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) sebagai kriteria yang digunakan dalam pembuatan kalender hijriyah di Indonesia. Kita harus akui, peranan ormas-ormas Islam (khususnya dua ormas besar NU dan Muhammadiyah) masih dominan dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Tahun 1990-an pernah diusulkan kriteria MABIMS menjadi acuan bersama kriteria penentuan kalender Islam di Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Kriteria itu menyatakan awal bulan ditentukan bila tinggi bulan lebih dari 2 derajat, jarak sudut bulan-matahari lebih 3 derajat, dan umur bulan sejak ijtimak (bulan dan matahari segaris bujur) lebih dari 8 jam.

Beberapa ormas Islam menerima kriteria tersebut, tetapi ada juga yang tidak menerimanya. NU menggunakan kriteria tinggi bulan minimal 2 derajat, sementara Muhammadiyah tetap menggunakan kriteria wujudnya hilal. Perbedaan tinggi bulan minimal antara 2 derajat oleh NU dan 0 derajat oleh Muhammadiyah sering menimbulkan perbedaan kesimpulan awal bulan yang berdampak pada perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Pada seminar nasional hisab-rukyat di Jakarta pada 20-22 Mei 2003 dan dihadiri perwakilan ormas-ormas Islam serta para pakar hisab rukyat telah dicapai konvergensi pemikiran untuk mendapatkan titik temu. Titik temu tersebut nantinya berupa kriteria baru sehingga masing-masing pihak maju selangkah.

Opsi kriteria
Di kalangan ahli hisab-rukyat di Indonesia ada pemikiran untuk mengkaji ulang semua kriteria yang selama ini digunakan. Kita patut bersyukur dengan adanya keterbukaan ormas-ormas Islam untuk mengkaji ulang kriteria mereka berdasarkan ilmu pengetahuan, khususnya astronomi. Hal itu merupakan langkah maju untuk mencari kebenaran objektif yang tidak terbelenggu sikap taklid sebagian kalangan secara buta.

Dalam musyawarah para ahli hisab-rukyat dari berbagai ormas Islam dan instansi terkait pada Desember 2005 lalu telah ada langkah maju menuju titik temu kriteria. Langkah maju yang telah tercapai adalah dirumuskannya tiga opsi kriteria yang perlu dikaji oleh semua pihak.

Opsi pertama adalah tawaran kriteria hasil penelitian di LAPAN (kadang disebut sebagai kriteria LAPAN). Kriteria hisab rukyat ini adalah umur hilal minimum 8 jam dan tinggi bulan minimum tergantung beda azimut bulan-matahari di suatu wilayah Indonesia. Bila beda azimutnya nol (bulan tepat berada di atas matahari saat terbenam), maka tinggi bulan minimum 8,3 derajat. Sedangkan bila beda azimut bulan matahari 6 derajat, tinggi bulan minimumnya 2,3 derajat.

Opsi kedua adalah kriteria hisab-rukyat yang didasarkan pada analisis empirik kemungkinan terkecil terjadinya perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, bila dibandingkan dengan kriteria yang berlaku saat ini. Kriteria awal bulan adalah posisi bulan telah berada di atas ufuk saat maghrib di seluruh Indonesia. Kriteria ini paling sederhana. Opsi ketiga adalah kriteria hisab-rukyat yang didasarkan pada fraksi luas sabit bulan yang bisa diamati.

Ikhtisar
- Perbedaan penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya, disebabkan oleh perbedaan kriteria dalam hisab-rukyat.
- Kriteria penentuan hasil hisab-rukyat bukanlah masalah dalil fiqih.
- Saat ini mulai terlihat kemauan ormas-ormas Islam untuk bertemu menyatukan kriteria hisab-rukyat.
- Sudah ada tiga opsi kriteria yang perlu dibahas lebih lanjut untuk kemudian disepakati.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home