| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 13, 2006,9:20 PM

Hak Asasi Korban Lumpur Lapindo

Mimin Dwi Hartono
Staf Komnas HAM

Dampak lumpur akibat eksplorasi PT Lapindo Brantas Sidoardjo semakin meluas. Bahkan menurut ahli geologi, Andang Bachtiar, lumpur tidak bisa dihentikan karena masuk dalam kategori gunung lumpur yang hanya bisa dihentikan sendiri oleh alam (Kompas, 8/9). Jika analisis tersebut benar, maka skenario paling buruk harus disiapkan, mengingat dampak bagi manusia dan alam dipastikan akan semakin besar, khususnya bagi perlindungan hak asasi manusia korban lumpur yang sudah mencapai angka puluhan ribu.

Walaupun kasus ini menjadi tanggung jawab pihak Lapindo dan korporasi yang terkait dengannya, namun karena dampak bagi hak asasi manusia dan lingkungan yang sudah sedemikian besarnya, maka peran pemerintah harus lebih nyata dan sigap. Seperti biasa, keterlambatan respons pemerintah nampak dengan baru dibentuknya tim terpadu di bawah koordinasi menteri pekerjaan umum pada Rabu (6/9) yang lalu.

Dalam tempo lebih dari 100 hari, lumpur telah mengubah sebagian wajah Sidoarjo sebagai kawasan industri menjadi kawasan berlumpur, yang tidak layak lagi untuk dihuni, dibudidayakan, untuk proses produksi bagi industri maupun aktivitas lainnya. Ribuan masyarakat telah kehilangan tempat tinggal, puluhan sekolah dasar tenggelam, pabrik-pabrik bertumbangan, lahan pertanian mengalami gagal tanam dan panen, dan sebagainya. Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat telah tercerabut sebagai akibatnya.

Tragedi lumpur Lapindo semakin menambah buram rentetan pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak-hak dasar lainnya. Khususnya bagi kelompok khusus, yaitu anak-anak, perempuan, manusia lanjut usia, penyandang cacat, dan lainnya, oleh korporasi penambangan di Nusantara. Bagaimana dengan nasib dan masa depan ribuan pekerja yang kehilangan lapangan kerja, ribuan petani yang ladang pertaniannya musnah, ribuan anak yang kehilangan hak atas pendidikannya, ribuan orang yang dilanda kecemasan dan ketakutan setiap detiknya. Ini adalah pekerjaan besar yang harus dipecahkan oleh pemerintah.

Tragedi ini merupakan sebuah peristiwa yang harus dibayar sangat mahal oleh masyarakat, mereka yang selama ini bisa dikatakan tidak mendapatkan keuntungan dari adanya pertambangan di wilayah mereka. Namun ketika resiko pertambangan muncul, merekalah yang akan pertama kali dan paling besar terkena dampaknya. Masa depan hidup dan sumber penghidupan belasan ribu manusia telah direngut. Mereka mengalami kegamangan menatap masa depannya. Kehilangan rumah, tanah, dan terpisah dari keluarga dan leluhur merupakan bentuk kehilangan identitas diri dan budaya yang tidak bisa dilupakan dan diganti begitu saja.

Relokasi masyarakat ke tempat yang baru apalagi yang tidak sesuai dengan ekosistem asal akan menimbulkan rumitnya persoalan. Mereka dituntut beradaptasi dan berakulturasi dengan masyarakat yang telah ada di sekitar wilayah relokasi tersebut dengan potensi sumber daya alam yang berbeda dengan daerah asal.

Persoalan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan alam adalah sama-sama penting, karena keduanya menjadi penunjang satu sama lain. Keselamatan penduduk adalah hal yang urgen dan mendesak untuk segera dilakukan, sedangkan persoalan lingkungan hidup berdimensi jangka panjang, penuh ketidakpastian, dan rawan memicu konflik sosial. Di sinilah kebijakan dari pemerintah dan tanggung jawab pihak PT Lapindo diuji untuk mencari penyelesaian yang terbaik, khususnya bagi perlindungan hak asasi manusia dan menekan dampak yang paling minimal bagilingkungan hidup.

Melindungi hak
Masyarakat selalu menjadi korban ketika kejadian bencana sudah terjadi. Demikian pula yang sekarang terjadi. Hal ini karena masyarakat senantiasa masih dimarginalkan dalam perumusan kebijakan yang sebenarnya sangat menyangkut kepentingan masa depan serta kehidupannya. Padahal konsesi calon pertambangan maupun yang sudah jalan menurut data Walhi di Pulau Jawa saja ada 42 blok, belum lagi di luar Jawa. Padahal. Pulau Jawa adalah kawasan kehidupan yang terpadat juga paling rentan oleh bencana. Jumlah penduduk di sekitar blok-blok penambangan di Pulau Jawa mencapai sekitar 62 juta jiwa dari total sekitar 130 juta penduduk di Pulau Jawa.

Untuk kejadian lumpur Lapindo, pemerintah harus mengkoordinasikan dengan cepat dan sigap guna melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, terutama hak-hak dasar yang masih saja terbengkalai, padahal bencana sudah terjadi lebih dari 100 hari. Apabila hak dasar tidak segera dipenuhi, dikhawatirkan akan terjadi bencana yang lebih besar, menuju pada lost of generations di Sidoardjo.

Sedangkan ke depan, pemerintah dan pihak korporasi pertambangan harus menetapkan early warning system. Mereka wajib memetakan di mana saja lokasi eksplorasi penambangan yang padat penduduk, memperhitungkan dampak dan kerawanan yang mungkin timbul akibat dari aktivitas penambangan tersebut. Mereka juga harus menyusun strategi mitigasi bencana yang komprehensif yang berbasis pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Harus ada jarak yang aman antara permukiman dan lokasi eksploitasi, jika kasus Lapindo tidak ingin terulang lagi.

Korporasi pertambangan harus dan wajib menyusun skenario usaha pertambangan yang environment and human rights friendly, baik bagi kegiatan pertambangan yang sudah jalan terlebih bagi yang akan berjalan. Pemerintah harus bersikap transparan dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat di mana wilayah-wilayah yang telah dan akan dieksplorasi dan dieksploitasi. Masyarakat mempunyai hak atas informasi dan hak atas pembangunan dalam rangka melindungi hak asasinya.

Last but note the least, hak atas keadilan bagi para korban harus ditegakkan. Para penegak hukum harus memberikan kepastian dengan membuktikan pada publik bahwa proses penegakan hukum terhadap kasus ini berjalan dengan konsisten dan tegas. Dengan demikian mampu menjadi efek jera bagi siapapun sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home