| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 13, 2006,9:32 PM

"Colloquial Sense" dan Kesempatan Kerja

Razali Ritonga

Masalah pengangguran hingga saat ini masih menjadi agenda besar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Tercatat pada tahun 2005, misalnya, angkatan kerja telah mencapai 105,8 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja itu, yang bekerja sebanyak 95 juta orang. Sisanya tercatat sebagai penganggur, yakni sebanyak 10,8 juta orang atau sekitar 10,26 persen (BPS, 2005).

Angka pengangguran sebesar itu bagi suatu negara tergolong ekstrem, telah melewati batas psikologis, yakni batas yang bisa menjadi suatu ancaman bagi keamanan dan ketertiban suatu bangsa. Bayangkan, dari setiap 10 orang angkatan kerja kita, satu orang di antaranya menganggur. Secara ekonomi, tingginya angka pengangguran akan semakin mengurangi peluang dalam peningkatan produktivitas nasional. Sementara secara sosial, tingginya angka pengangguran akan semakin menjadi beban bagi masyarakat.

Selain angka pengangguran yang masih cukup tinggi, faktor lain yang menjadi masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah kualitas yang rendah. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan yang dimiliki. Sekitar 56,94 juta angkatan kerja kita, atau lebih dari setengahnya, berpendidikan SD atau kurang.

Secara umum, pendidikan penduduk yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah menunjukkan angka yang setara dengan kelas satu SMP (BPS, 2004). Rendahnya kualitas angkatan kerja kita merupakan indikasi bahwa kita selama ini telah mengabaikan pendidikan, mengakibatkan tenaga kerja kita memiliki ruang gerak yang terbatas terhadap pemilihan jenis pekerjaan, umumnya berkecimpung dalam pekerjaan blue collar.

Sementara di banyak negara saat ini menuju jenis pekerjaan white collar karena pendidikan penduduknya yang semakin memadai. Jenis pekerjaan yang bersifat blue collar banyak yang ditinggalkan, yang kemudian diisi oleh negara yang miskin pendidikan, seperti Indonesia, Filipina, dan Banglades. Kita secara tak sengaja telah membuang kesempatan emas untuk meningkatkan produktivitas di negara sendiri. Kita telah menyumbang negara lain untuk semakin berkembang. Hal ini secara langsung akan melemahkan potensi daya saing kita.

Dengan pendidikan yang demikian rendah, umumnya tenaga kerja kita menghadapi kesulitan dalam mengembangkan keterampilan kerja. Ironisnya, cukup banyak penduduk yang berpendidikan cukup tinggi yang berstatus menganggur. Berdasarkan catatan, sekitar 13 persen penduduk berpendidikan akademi ke atas tidak bekerja (BPS, 2005).

Rendahnya kualitas tenaga kerja kita pada gilirannya menyebabkan tingkat kesejahteraan mereka jauh dari memadai. Upah yang diterima jauh dari layak, dan hal ini merupakan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang digeluti dengan latar belakang pendidikan rendah. Untuk meningkatkan kesejahteraan, para tenaga kerja itu terpaksa berusaha untuk mencari pekerjaan tambahan. Hal ini jelas akan mengurangi peluang untuk bekerja bagi mereka yang menganggur.

Untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, tidak terlepas pada komitmen pemerintah dan seluruh komponen bangsa dalam meningkatkan pendidikan. Pemerintah perlu memperbesar alokasi belanja publik untuk pendidikan yang saat ini dirasakan masih sangat kurang. Selanjutnya, untuk mengurangi angka pengangguran, kita perlu memperluas kesempatan kerja. Salah satu cara untuk memperluas kesempatan kerja dimaksud adalah dengan mengacu pada prinsip colloquial sense.

Persahabatan sesama warga

Istilah colloquial sense merupakan konsep yang telah lama diterapkan di beberapa negara maju. Namun, konsep itu barangkali bisa diterapkan di Tanah Air sebagai salah satu alternatif untuk membuka lapangan kerja. Prinsip colloquial sense berangkat dari suatu pemikiran akan rasa persahabatan sesama warga negara. Rasa persahabatan itu bisa diaplikasikan dalam bentuk yang lebih produktif, yaitu memberikan pekerjaan dari satu orang terhadap orang lain, terutama bagi mereka yang mampu secara ekonomi terhadap mereka yang kurang atau tidak mampu.

Orang kaya (the have) memang bisa membeli barang-barang mahal, tetapi sesungguhnya dia belum kaya dalam pengertian colloquial sense. Orang kaya akan disebut orang kaya yang sesungguhnya dalam konteks colloquial sense apabila ia mampu membeli waktu yang dimiliki orang lain. Konkretnya, orang kaya yang sesungguhnya adalah orang yang dapat mempekerjakan orang lain dalam kegiatan hidupnya, seperti pembantu rumah tangga, merawat kebun, menjadi sopir, dan satpam (Jencks et.al, 1973).

Prinsip trickle down effect pasti tidak pernah akan berjalan jika tidak terjadi pembagian pendapatan. Orang kaya tidak memiliki colloquial sense apabila mengerjakan sendiri pekerjaan yang terkait dengan kebutuhan hidupnya, seperti mengecat rumah, mengganti oli mobil, dan membetulkan rumah. Ternyata prinsip seperti itu diperluas bagi semua orang sehingga seseorang yang melakukan pekerjaan sendiri di luar pekerjaan utamanya, di beberapa negara maju termasuk tindakan melanggar hukum.

Prinsip colloquial sense ternyata sangat membantu dalam penciptaan lapangan kerja secara spektakuler ketika AS menghadapi krisis sebagai dampak depresi ekonomi. Rata-rata pendapatan setiap keluarga waktu itu tak lebih dari 30 dollar AS per minggu. Sekitar sepertiga rumah tangga berpendapatan kurang dari 15 dollar AS per minggu.

Menanggapi fenomena ini, Presiden Franklin D Roosevelt tanpa ragu mengumumkan, sekitar sepertiga penduduk Amerika menderita kurang pangan (ill- fed), kurang pakaian (ill-clothed), dan kurang tempat tinggal (ill- housed).

Tahun 1964, Presiden Lyndon Johnson mendeklarasikan perang terhadap kemiskinan. Hasilnya cukup menakjubkan. Pada tahun 1970, rata-rata pendapatan keluarga naik menjadi 200 dollar AS per minggu. Salah satu strategi mendasar yang diterapkan dalam menghadapi perang melawan kemiskinan itu adalah membuka lapangan kerja seluas-luasnya, antara lain dengan menggunakan prinsip colloquial sense.

Prinsip colloquial sense untuk kondisi Indonesia tampaknya amat bertalian dengan sila kelima Pancasila, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia". Tuntutan terhadap keadilan sosial itu sering kali hanya ditujukan kepada pemerintah, karena merasa pemerintah kurang adil dalam melakukan pendistribusian hasil-hasil pembangunan.

Akan tetapi, kita lupa bahwa prinsip keadilan itu juga bisa datang dari kita sesama warga negara, yang tidak hanya dalam bentuk sumbangan, tetapi juga dalam bentuk memberikan pekerjaan. Hal ini pada gilirannya amat membantu dalam mengurangi angka pengangguran.

Razali Ritonga Kepala Subdit Analisis Konsistensi Statistik, BPS

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home