| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, September 13, 2006,9:24 PM

Jalan Keluar bagi Kemiskinan

Ginandjar Kartasasmita

Data kemiskinan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2006 di Sidang Paripurna DPR telah mengundang banyak polemik. Polemik tersebut adalah wajar karena kemiskinan menyangkut martabat setiap orang, bahkan martabat bangsa.

Adanya polemik tersebut memberi kita hikmah tersendiri karena dapat membangkitkan kesadaran kita semua bahwa kemiskinan masih ada secara sangat serius sehingga perlu kita atasi. Namun, tentu kita tak boleh berlarut-larut dalam polemik demikian, yang lebih penting adalah bagaimana kita memecahkannya.

Tidak ada alasan bagi kita untuk menuding pemerintah belum berusaha mengatasi masalah kemiskinan. Pemerintah bahkan yakin telah berbuat banyak untuk melindungi masyarakat miskin dari kebijakan yang tak populer, seperti pengurangan subsidi BBM melalui program, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan operasional sekolah (BOS). Masalahnya adalah apakah program-program tersebut sudah tepat dan efektif untuk mengatasi kemiskinan?

Model pembangunan

Sebelum masa krisis pada tahun 1997, Indonesia menjadi salah satu model pembangunan yang diakui berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik, dalam kurun waktu 1976-1996 jumlah penduduk miskin di negeri ini menurun dari 54,2 juta jiwa atau sekitar 40 persen dari total penduduk menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11 persen. Keberhasilan menurunkan tingkat kemiskinan tersebut adalah hasil dari pembangunan yang menyeluruh yang mencakup bidang pertanian, pendidikan, kesehatan, termasuk keluarga berencana, serta prasarana pendukungnya.

Tahun 1993, di Bappenas saya bersama para pemikir dan pelaku pemberdayaan masyarakat, seperti almarhum Mubyarto, Adi Sasono, Sri Edi Swasono, dan Bambang Ismawan, merancang program Inpres Desa Tertinggal. Hal tersebut didasarkan pada kajian sebelumnya yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan memang menurun tetapi laju penurunan kemiskinan tersebut semakin melambat.

Perlambatan tersebut terjadi karena masyarakat miskin yang tersisa dan belum dapat dientaskan adalah mereka yang benar-benar miskin (the poorest of the poor), sehingga sulit untuk membebaskan diri dari kemiskinan tersebut.

Menghadapi kemiskinan seperti itu diperlukan adanya program tepat dan intensif, yang kemudian sebagai program IDT tersebut. Dalam program ini, dana yang disalurkan ke masyarakat hanya dapat digunakan untuk kegiatan produktif, dan sama sekali bukan untuk konsumtif. Dana tersebut juga hanya dimanfaatkan melalui kelompok usaha bersama, yang dibantu oleh para pendamping profesional. Dengan demikian, peran pendamping hanya bersifat sementara sehingga kelompok dapat melanjutkan usaha tersebut secara mandiri.

Dengan karakternya tersebut, program IDT sebenarnya adalah untuk membangkitkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin itu sendiri. Sebagai program baru, IDT tentu tak luput dari kelemahan-kelemahan, tetapi secara nyata telah ikut berkontribusi menurunkan angka kemiskinan dari 14 persen pada tahun 1993 ke 11 persen pada tahun 1996.

Krisis moneter 1997 yang sungguh parah telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin membengkak kembali sehingga pada tahun 1998 menjadi hampir 50 juta jiwa atau 24 persen dari jumlah penduduk. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diturunkan secara besar-besaran dengan pendekatan yang terintegrasi baik secara finansial hingga bentuk padat karya dipercaya mempunyai kontribusi yang cukup nyata dalam mengerem laju kemiskinan tersebut, sehingga dalam periode berikutnya, yaitu pada tahun 1999-2005, jumlah penduduk miskin menurun kembali menjadi 35,1 juta (15,97 persen). Namun, pada periode 2005-2006 terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin sebesar 3,95 juta.

Belum memadai

Pengurangan subsidi BBM diyakini telah memicu kenaikan jumlah penduduk miskin selama setahun terakhir, dengan membuat upah riil dan daya beli masyarakat menurun secara cepat. Pemerintah bukan tak menyadari itu, tetapi sangat percaya bahwa pemberian dana kompensasi atas pengurangan subsidi BBM dalam bentuk BLT akan mampu mempertahankan daya beli masyarakat. BLT yang ditujukan pada 19,2 juta keluarga miskin dan dekat miskin pada tingkat tertentu memang mampu memperbaiki daya beli masyarakat. Namun, upaya tersebut tentu belum memadai untuk mengatasi kemiskinan secara menyeluruh.

Perjalanan panjang sejak tahun 1976 sampai tahun 2004 tersebut memberikan pelajaran berharga kepada kita semua berkenaan dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Pelajaran tersebut antara lain adalah upaya penanggulangan kemiskinan membutuhkan (1) komitmen yang sangat kuat semua pihak, terutama pemerintah; (2) program yang jelas dan komprehensif; (3) bersifat memberdayakan masyarakat dan bukan hanya sekadar bersifat karitas (charity); (4) memerlukan anggaran besar yang dapat digunakan secara efektif dan efisien, bebas dari kebocoran.

Pengalaman IDT dan pengalaman lainnya menunjukkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus merupakan perpaduan serasi tiga arah kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan tidak langsung untuk menciptakan kondisi makro yang mendukung penanggulangan kemiskinan, kebijaksanaan langsung membantu golongan masyarakat miskin (affirmative action), serta kebijaksanaan khusus untuk menjamin kelangsungan (sustainability) program.

Perdebatan politik tak sehat

Mengamati betapa serius persoalan kemiskinan di Indonesia akan mendorong kita segera mengakhiri perdebatan menyangkut masalah angka kemiskinan yang dapat berkembang menjadi perdebatan politik yang tidak sehat. Pemerintah, kalangan akademisi, para pemimpin organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, serta berbagai pihak lainnya semestinya perlu secepatnya duduk bersama guna mengidentifikasi akar persoalan kemiskinan yang kita hadapi agar dapat merumuskan kesamaan pandang bagaimana memecahkannya. Tanpa adanya pemahaman yang serentak dari berbagai pihak menyangkut persoalan kemiskinan, upaya untuk mengatasi kemiskinan tidak akan pernah bisa efektif.

Menyangkut upaya pemerintah sekarang untuk mengatasi kemiskinan melalui program BLT dan BOS memang merupakan langkah yang baik untuk membantu masyarakat miskin. Akan tetapi, yang lebih diperlukan untuk membantu mereka adalah tindakan langsung berupa program affirmative yang mampu membangun keberdayaan dan bukan derma atau karitas (charity) hingga terwujud kemandirian; harus dilakukan oleh masyarakat miskin sendiri dan bukan oleh orang lain untuk orang miskin; serta harus berkelanjutan (sustainable). Program seperti BLT tidak memenuhi persyaratan-persyaratan ini.

Pada akhirnya hanya komitmen kuat semua pihak terutama pemerintah, dan disertai dengan adanya program pengentasan kemiskinan yang benar-benar bersifat memberdayakan masyarakat secara tuntas persoalan kemiskinan di Indonesia akan dapat diatasi. Tanpa komitmen kuat dan program tepat tersebut upaya pemerintah untuk mengatasi kemiskinan hampir pasti akan gagal sebelum dimulai. Mudah-mudahan hal tersebut tidak terjadi di negeri yang kita cintai ini.

Ginandjar Kartasasmita Ketua Dewan Perwakilan Daerah dan Ketua Dewan Pakar ICMI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home