| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, September 05, 2006,3:35 PM

Rakyat Kecil di Era Global

Ghofar Ismail
Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI Dakar

Majalah the Economist edisi 29 Juli - 4 Agustus 2006 menurunkan laporan dengan judul 'the future of globalization dengan sampul bergambar kapal besar kandas terdampar di pantai. Pemilihan cover tersebut seperti menggambarkan pesimisme, terutama di antara negara-negara kecil. Hal ini bukan tidak beralasan. Timur Tengah masih mencekam dirundung konflik terbuka seakan tak berujung, harga minyak jauh melambung tinggi, proses pemanasan dunia terus berlangsung, dan perundingan perdagangan Doha Round lalu kandas.

Sementara itu, derasnya arus globalisasi sudah tidak dapat terelakkan lagi. Paham neo-liberalisme makin menjalar dan mengakar ke sendi-sendi kehidupan (meminjam istilah Johan Galtung). Tidak hanya di negara pusat (center), neo-liberalisme juga telah merambah negara-negara pinggiran (periphery). Bahkan tanpa disadari, suka atau tidak suka, nilai-nilai neo-liberalisasi telah menembus akar rumput di sekitar kita.

Globalisasi telah menggiring negara-bangsa menuju suatu tatanan dunia yang sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Kalau sebelumnya politik internasional lebih didominasi isu ideologis, kini persoalannya bergeser pada pekerjaan rumah (PR) menyangkut penerapan ekonomi-pasar. Apakah sistem tersebut dapat memperbaiki ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Bila disigi lebih dalam, maka PR-PR inilah yang boleh jadi telah memicu terjadinya gesekan-gesekan internasional.

Ketimpangan
Sebut salah satu isu seperti ketimpangan sosial misalnya. Pertama, di tingkat domestik (antarmanusia dalam satu negara). Kenyataan di lapangan menunjukkan masing-masing negara (terutama negara berkembang) dihadapkan isu tersebut. Sekelompok kecil elite penguasa kebijakan publik bisa sangat menentukan nasib bangsa dan negaranya secara luas. Celakanya, kaum penguasa yang dipilih rakyat cenderung mementingkan kelompok/individu mereka. Sebagai akibatnya, tidak mengherankan rakyat di negara berkembang seperti ayam kehilangan induknya.

Kedua, di tingkat internasional. Sebenarnya hubungan antarnegara di level dunia tak jauh berbeda dengan hubungan antarmanusia di level domestik. Terdapat segelintir negara sangat kaya dan kuat (G-8) yang menentukan hampir segalanya. Amat logis bila negara G-8 memprioritaskan kepentingan mereka sendiri di atas yang lain.

Sama masuk akalnya pula, tak ada satu pun negara G-8 yang sudi berjuang secara mati-matian menyuarakan apalagi memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang. Lalu, bagaimana dengan nasib negara-negara yang kecil dan lemah? Negara kecil terpaksa dipinggirkan atau terpinggirkan, sangat mirip dengan nasib rakyat kecil di negara kecil.

Tantangan globalisasi sebagaimana diungkapkan Joseph Stiglitz, ketua tim penasihat ekonomi Bill Clinton saat menjadi presiden AS, dalam the globalization and its discontents (2002), cukup menyentak. Dengan jujur dia menggatakan bahwa efek penghancur globalisasi sangat jelas bagi negara berkembang dan terlebih lagi rakyat kecil di negara berkembang.

Stiglitz bukan seorang anti-globalisasi. Bahkan dia sendiri masih percaya globalisasi dapat mendorong ke arah positif dan berpotensi membuat semua orang menjadi kaya (atau lebih kaya). Namun Stiglitz tetap saja mempunyai pesimisme apakah globalisasi mampu membahagiakan sebagian besar orang, untuk tidak mengatakan semua orang. Singkatnya, menurut dia, proses neo-liberalisasi ini perlu direkonstruksi untuk meluruskan yang bengkok-bengkok.

Tantangan globalisasi yang diungkapkan Stiglitz itu hanya sedikit berbeda dari apa yang dibahas Noreena Hertz dalam The Silent Trade Over, Global Capitalism and the Death of Democracy. Sama seperti Stiglitz, secara ideologis Hertz bukanlah seorang anti-kapitalisme. Profesor politik ekonomi asal Inggris ini secara gamblang menjelaskan kuasa bisnis global dalam bentuk multinational corporation telah menggantikan kuasa politik negara. Kuasa bisnis merampas habis negara dan pebisnis jauh lebih berkuasa dibanding politisi.

Perlu digarisbawahi bahwa penguatan liberalisme dalam arus globalisasi didukung oleh lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Pada gilirannya lembaga keuangan internasional tersebut akan mempersyaratkan poin-poin yang searah dan sejalur dengan proses globalisasi yang bergulir. Dalam banyak kasus, poin-poin tersebut sering memberatkan negara berkembang yang sedang berurusan dengan lembaga keuangan, yang berakhir dengan ketidakberdayaan negara berkembang.

Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, tantangan global saat ini sebagaimana dijelaskan para pakar sudah amat nyata. Sangat keterlaluan bila putra-putra terbaik bangsa yang kini duduk berkuasa di pemerintahan belum menyadari bahwa arus globalisasi sudah sampai di emperan rumah kita. Sementara kita tampak linglung untuk menentukan langkah.

Mari kita tengok kasus privatisasi akhir-akhir ini yang masih banyak menyisakan PR dan penjualan aset negara secara besar-besaran ke pihak asing yang akan membuat perekonomian Indonesia semakin rentan. Proses pemiskinan ini dilaksanakan dengan sistematis justru di era reformasi. Dampak langsungnya, BUMN kita tenggelam dan APBN terancam defisit secara permanen. Sedangkan dampak tak langsungnya adalah meradangnya kemiskinan.

Karena dorongan arus globalisasi, proses privatisasi di Indonesia begitu massif. Begitu proses privatisasi dimulai, dengan sekejap telah terjadi pengalihan aset-aset negara yang notabene milik publik. Secepat kilat pula perusahaan-perusahaan milik negara telah dikuasai pemodal asing. Swastanisasi sektor jasa seperti pendidikan dan rumah sakit tinggal menunggu giliran.

Menurut saya, pihak pertama yang paling patut dan mempunyai kemampuan berbuat sesuatu adalah elite penguasa pemerintahan. Kenyataannya sungguh mengejutkan, para elite pemimpin yang diandalkan membawa Indonesia keluar dari krisis berkepanjangan justru gemar bersandiwara, bertikai berlarut-laut dengan saudara sendiri.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home