| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 04, 2006,1:48 PM

Lumpur Panas Ekonomi-Politik SBY

Tamrin Amal Tomagola

Untuk kedua kalinya kualitas kepemimpinan dan keberpihakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diuji tantangan ekonomi-politik makro yang sarat dimensi sosial-kemanusiaan.

Dalam ujian pertama, menjelang Oktober 2005, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nyaris gagal melewati nilai ambang batas (passing grade) kelulusan. Setelah lama terbenam kebimbangan, SBY membuat tiga kebijakan ekonomi-politik berpihak kepentingan donor internasional, partai politik, dan kelompok bisnis dalam kabinet. Kebijakan perombakan personalia kabinet, penaikan harga BBM, dan impor beras tahun lalu kian menenggelamkan wong cilik dalam kemiskinan.

Lumpur Sidoarjo

Sejak 29 Mei 2006, rakyat Sidoarjo tidak saja terperosok lumpur kemiskinan, tetapi harfiah tertimbun lumpur panas Lapindo Brantas. Mutu kepemimpinan dan keberpihakan SBY dihadapkan ujian kedua. Ada dua pertanyaan dalam ujian ini. Pertama, bagaimana mengakhiri lumpur panas di Sidoarjo yang kian mengganas dan bagaimana mengeluarkan rakyat setempat dari lumpur panas secara manusiawi, beradab, dan adil tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah.

Seperti sebelumnya, pribadi santun ini kembali terpuruk dalam kebimbangan. Pernyataan keprihatinan publik 50 intelektual pekan lalu tegas menunjuk kehampaan tindakan ini dalam dua wujud.

Pertama, tidak adanya pengerahan tenaga ahli berbobot internasional untuk menghentikan semburan lumpur panas.

Kedua, tidak ada desain jelas untuk mengatasi penderitaan rakyat Sidoarjo secara manusiawi, beradab, dan adil.

Banyak pihak mengkhawatirkan potensi konflik karena semrawutnya penanganan di lapangan. Potensi konflik dapat menyeluruh, baik dalam bentuk konflik vertikal antara rakyat-pemda dan Lapindo Brantas maupun, yang lebih mengerikan, konflik horizontal antarpenghuni area permukiman/kampung/desa karena bersitegang mengubah arah aliran lumpur panas.

Konflik vertikal dengan pemda bisa berdasar atas keengganan pemda memikul beban finansial dalam menyelamatkan rakyat atau atas kecurigaan praktik koruptif yang telanjur kronis di tubuh birokrasi. Seharusnya, sesuai dengan prinsip badan lingkungan PBB, polluters pay, biang kerok bencana wajib memikul beban, khususnya finansial, sampai keadaan dinyatakan pulih seperti sebelum bencana. Bila dibebankan pada anggaran belanja pusat dan/atau daerah, publik pantas gelisah, bahkan marah, telah terjadi persekongkolan elite politik dan elite bisnis seiring bungkamnya pers daerah dan panutan tradisional Jawa Timur.

Eksekusi Tibo

Pertanyaan pokok kedua dalam ujian kualitas kepemimpinan SBY, terkatung-katungnya nasib terpidana mati Tibo dan dua rekannya. SBY terbelit dilema tak berujung. Kematian, yang oleh hampir semua agama diyakini kepastiannya ada di tangan Tuhan, di republik ini justru dipermainkan tangan-tangan manusia.

Di depan seniornya (Kompas, 27/8/2006), SBY berusaha meyakinkan sesepuh militer dan polisi agar tidak meragukan komitmennya menjaga dan mengawal konsensus dasar yang telah menjadi kesepakatan bangsa, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sudah sepatutnya SBY membuktikan komitmen itu dengan menggunakan hak prerogatifnya sebagai Presiden guna menghapus hukuman mati karena jelas bertentangan dengan sila pertama, hanya Tuhan yang berhak mutlak atas nyawa manusia, dan sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Keputusan ini akan menyejukkan nurani kemanusiaan universal dan jujur saja akan merupakan investasi political point untuk ajang Pemilu 2009. SBY bisa menunjukkan, ia berbeda dengan presiden sebelumnya yang bersemangat menerapkan hukuman mati, khususnya bagi pengedar narkoba.

Hukuman mati patut dihapus karena aneka pertimbangan. Pertama, di seluruh dunia, hukuman mati tidak terbukti mampu menjerakan calon pelaku kriminal besar. Prinsip mata dibayar mata adalah tidak pantas disuburkan di bumi Pancasila. Jika khawatir dengan maraknya perdagangan narkoba, sebetulnya ada banyak jalan keluar yang mampu menghadang, yaitu pada lingkup keluarga, kelompok sebaya, dan komunitas.

Alasan kedua, Tibo dan kawan- kawan adalah saksi utama yang masih amat dibutuhkan untuk menuntaskan pengungkapan kejahatan kemanusiaan di Poso. Setidaknya ada 16 pelaku lain yang harus diadili. Para aktor utama kejahatan itu hingga kini masih berkeliaran. Membunuh Tibo dan kawan-kawan akan mengubur prospek pengungkapan kasus Poso untuk selamanya tanpa maaf dan ampunan sesama komunitas beragama di sana.

Alasan ketiga adalah absurd dan kriminal jika menerapkan politik keseimbangan sejauh menyangkut nyawa manusia. Tidak bisa diterima publik beradab karena ada warga umat beragama lain dihukum mati dalam waktu dekat, maka perlu penyeimbang warga umat satu lagi. Bila logika ini diperturutkan, berarti tiga nyawa ditambah tiga nyawa bukan sama dengan enam nyawa yang hilang, tetapi sebaliknya tiga nyawa plus tiga nyawa menjadi nol nyawa, seimbang. Logika rasional terjungkir balik. Hanya politisi dan pejabat yang tidak waras yang menerapkan politik keseimbangan seperti ini.

Solusi

Para politisi, khususnya SBY, perlu mencamkan, seiring kian meningginya lumpur panas Sidoarjo menenggelamkan permukiman, sawah, ladang, ternak, dan bumi pijakan hidup rakyat; serta kian tidak menentunya nasib Tibo dan kawan-kawan, akan kian suram pula prospek pasangan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk terpilih lagi dalam Pemilu 2009. Sungguh sayang bila posisi SBY yang nyaris tanpa penantang berarti dalam kontes politik 2009 nanti harus ikut terbenam lumpur panas ekonomi-politik saat ini.

Berhentilah bimbang dan segera bertindak. Pertama, bebaskan diri dari semua benalu ekonomi-politik dalam kabinet maupun yang di luar. Kedua, tancapkan kepastian kepemimpinan yang berpihak kepada wong cilik, dan kokoh menegakkan Pancasila dalam wujud tindakan nyata penanggulangan penderitaan Sidoarjo dan pengakhiran penyiksaan dalam penantian Tibo dan kawan-kawan dengan menghapus hukuman mati dari Nusantara.

Ketiga, keadaan ekonomi makro yang membaik kini perlu ditunjukkan pada tingkat mikro rumah tangga wong cilik. Merekalah yang punya saham mayoritas negeri ini. Mereka pula suara mayoritas yang diperlukan dalam Pemilu 2009. Kesantunan pribadi sebaiknya menjelma dalam kebijakan publik yang manusiawi, adil, dan beradab.

Tamrin Amal Tomagola Sosiolog

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home