| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 04, 2006,1:55 PM

Pencitraan Negatif Terhadap Islam

Aswar Hasan, Alumni The International Institute of Human Rights Strasbourg, Prancis, Aktivis Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam

Harian Republika (22 Agustus 2006) memuat wawancara Sekjen The Muslim Council of Britain, Iqbal Sacranie. Dalam wawancara itu, Iqbal menyatakan, bahwa di berbagai belahan dunia, komunitas Muslim sangat terpinggirkan oleh isu-isu bercitra negatif. Pencitraan itu sangat menyakitkan, dan begitu ofensif diberitakan media.

Di antaranya, adalah pernyataan Presiden AS George W Bush, yang dengan simplistis menyatakan bahwa ancaman teroris atas pesawat-pesawat tujuan AS yang terbang dari Inggris adalah bagian dari gerakan fasis Islam. Pencitraan semacam itu, jelas harus segera diatasi oleh umat Islam. Dalam hal ini, menurut Iqbal, media harus bisa membedakan dan memiliki keseimbangan dalam memberitakan tentang Islam dan aktivitas sekelompok umat Islam.

Jauh sebelumnya, sejak perang teluk, kritik terhadap aspek-aspek problematika berita media tentang dunia Islam telah banyak dipersoalkan oleh sejumlah ilmuwan. Di antara ilmuwan yang mempersoalkan itu adalah Edward W Said, John L Esposito, Noam Chomsky, Majid Tehranian, maupun pengamat komunikasi Internasional seperti, Hamid Mowlana.

Prejudice
Problematika terbesar yang saat ini melanda media Barat, adalah masih kentalnya faktor prejudice. Rupert Brown (1995) mendefinisikan prejudice sebagai penilaian negatif yang sudah ada sebelumnya, mengenai anggota ras, agama, atau pemeran sosial signifikan lain, yang dipegang dengan tidak memedulikan fakta yang berlawanan dengan itu.

Uni Eropa dan AS berulang kali dihadapkan pada permasalahan yang muncul dari kekeliruan pemberitaan politik internasional dan interkultural yang sarat prejudice. Karena itu, tidaklah mengherankan, jika pada 1991, berdasarkan Dokumentasi 6497 Conseil de L'Erope, dengan rekomendasi 1162, Uni Eropa diminta merevisi citra negatif tentang dunia Islam sebagaimana yang digambarkan oleh media Eropa. Kemudian pada 1995 Forum Civil Euromed dalam konferensi di Bercelona, menegaskan bahwa hubungan ekonomi dan politik Uni Eropa serta Mediterania dan negeri Muslim akan berkembang, jika stereotype dan prejudice kultural dikurangi dan kinerja media diperbaiki.

Kai Hafez selaku editor buku Islam and the West in the Mass Media menemukan adanya kecenderungan media Barat untuk senantiasa mencitrakan kaum Muslimin pada karakteristik fanatik, dengan ajaran agama yang keras. Muslim juga banyak direpresentasikan sebagai hal yang antagonisme dengan dengan ide-ide kebebasan, hak asasi manusia, dan demokrasi di Barat.

Islam pun disamakan dengan politik, kemudian politik Islam digiring untuk disamakan dengan fundamentalisme, sehingga pada akhirnya fundamentalisme disamakan dengan terorisme. Di sisi lain, politik kekerasan yang secara empiris memang ditemukan dalam praktik ideologis sebagian Muslimin, lebih sering ditafsirkan secara generalis tanpa memperhitungkan latar historis, konteks sosial dan politiknya.

Dengan kata lain, pencitraan media Barat masih dominan dibatasi kesan negatif yang merepresentasikan persepsi tidak seimbang tentang Islam sebagai Agama harmoni. Padahal secara historis Islam telah membuktikan diri sebagai agama toleran dan empatik, dengan senantiasa mengedepankan prinsip keberbedaan dalam hal keyakinan beragama.

Bashy Quraishy, seorang Jurnalis Muslim Denmark yang juga kepala editor Media Watch dan Presiden European Network Against Racism belum lama ini, melakukan survei liputan media tentang agama-agama di Denmark. Dia mengambil sampel 6 koran nasional dan 2 saluran televisi nasional. Hasil survei menunjukkan bahwa dari 75 persen liputan tentang Islam, 60 persen di antaranya menyajikan berita yang besifat negatif.

Dalam kaitan itu pula, wartawan senior asal Swedia, Goran Rosenberg berkomentar dengan nada menyesal atas fenomena jurnalisme yang saat ini melanda dunia barat. Dia menyatakan sangat sulit untuk membedakan antara kejadian yang dikonstruksi media yang disajikan sebagai kejadian, dan kejadian nyata yang disebut sebagai kejadian media.

Lima kesalahan
Satrio Arismunandar, wartawan yang secara khusus mengambil spesialisasi liputan kawasan Timur Tengah, membuat lima kategorisasi liputan media massa Barat dalam beberapa hal terhadap Islam. Pertama, generalisasi dan simplikasi. Kata 'Islam' oleh media Barat terlalu sering diungkap secara general dan kurang cermat dengan sudut pandang yang senantiasa amat disederhanakan.

Sebuah kejadian tentang Islam, dianggap sudah mewakili secara menyeluruh dari keanekaragaman geografis, negara, etnik, budaya, dan sejarah yang membentang dari Afrika sampai Asia.

Kedua, etniksitas dan rasialisme. Dalam banyak kasus, Islam bukan saja digambarkan secara tidak akurat, tetapi juga tercampur dengan ekspresi-ekspresi etnosentrisme dan kultural yang tak terkendali, bahkan kebencian rasial. Ketiga, keterbelakangan dan kemajuan. Di dunia poskolonial, Islam dalam konteks kehidupan negara berbangsa, tidak dipandang sebagai salah satu bentuk dari negara industri maju atau bagian dari model kemodernan yang ada di Eropa. Islam dipandang sebagai bagian dari keterbelakangan.

Keempat, kekerasan, ketiadaan toleransi, dan demokrasi. Islam digambarkan sebagai agama antidemokrasi. Kelima, Islam dianggap sebagai ancaman. Lihatlah laporan utama majalah Time No 24 yang berjudul, 'Islam, Haruskah Dunia Takut?' Di sampul depannya, bergambar siluet menara masjid dan sebuah tangan sedang mengacungkan senjata api.

Sehubungan dengan saratnya muatan prejudice dalam jurnalisme Barat tersebut, kiranya perlu disimak pernyatan Edward W. Said selaku intelektual kritis kaliber internasional. Semasa hidupnya, tercatat dia telah mengajar di sekitar 150 universitas di AS, Kanada, dan Eropa. Beliau menyatakan, "Saya belum mampu menemukan suatu periode dalam sejarah Eropa dan Amerika sejak Abad Pertengahan, di mana di dalamnya Islam didiskusikan atau direnungkan di luar kerangka yang diciptakan oleh nafsu, kecurigaan, dan kepentingan politis."

Dengan banyaknya prejudice, media Barat untuk saat ini, belum bisa diharapkan dapat bertindak objektif terhadap dunia Islam. Hal tersebut akan tetap berlangsung, sepanjang media Barat tidak menyadari untuk mematuhi setidaknya empat prinsip dasar etika jurnalisme sebagaimana dikemukakan ilmuwan dan jurnalis terkenal Edmun Lambeth. Keempat prinsip dasar etika tersebut, adalah pertama menuturkan kebenaran harus menjadi prioritas utama.

Kedua, Kebebasan bagi independensi jurnalistik harus tetap dijaga. Ketiga, keadilan mesti memadukan kejujuran dalam setiap pelaporan begitupun dalam mengekspos ketidakadilan. Keempat, para jurnalis, hendaknya senantiasa mengedepankan isu-isu kemanusiaan, dan sebisa mungkin mencegah adanya penderitaan umat manusia.

Ikhtisar
- Media Barat senantiasa membuat citra negatif terhadap Islam.
- Faktor prejudice menjadi penyebab utama buruknya pencitraan itu.
- Selain prejudice media Barat juga banyak meninggalkan prinsip dasar etika jurnalisme, sehingga Islam selalu dicitrakan negatif.
- Secara historis Islam telah membuktikan diri sebagai agama yang sangat toleran.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home