| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 04, 2006,1:40 PM

Hanya Kaya Wacana

Oleh Denny Ardiansyah

Salah satu dampak nyata gerakan reformasi 1998 adalah makin terbukanya republik ini pada kebebasan berserikat. Berbagai bentuk organisasi mulai berani menunjukkan jati diri melalui organisasi yang tidak lagi berideologi tunggal -Pancasila- seperti era Orde Baru.

Beberapa organisasi yang eksis sejak era Orba sampai mengganti (baca: kembali) ideologi sebelum terkena aturan asas tunggal, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Di antara sekian banyak organisasi di Indonesia saat ini, kelompok berbasis ideologi Islam adalah yang terbanyak. Hal itu bisa kita maklumi karena negeri ini mayoritas dihuni penduduk yang beragama Islam. Perpecahan seolah benar-benar menjadi sunatullah. Islam sebagai mayoritas agama yang dipeluk penduduk negeri ini tidak membuat hadirnya satu organisasi sebagai tempat bernaung.

Akar pemahaman keislaman kemudian menjadi hasbab ’ul nuzul beragamnya kelompok Islam di negeri kita. Sebagian kelompok menganggap bahwa Islam tidak perlu dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian dan keindonesiaan. Sebab, Islam adalah agama yang baku dan segala peraturan dalam Alquran dan hadis harus dijalankan dengan sempurna oleh manusia.

Kondisi sebaliknya dipahami beberapa kelompok Islam. Realitas Indonesia dan dunia kontemporer adalah pijakan yang harus diperhatikan umat Islam dalam menjalani hidup. Jadi, agama (Islam) hanya merupakan satu varian pandangan bagi manusia semata, bukan keutuhan yang mengatur hidup manusia.

Perbedaan pandangan itu membuat kelompok Islam terpecah dalam aksi nyata. Jalur moderat dan radikal sering ditempelkan pada beberapa tindakan yang dilakukan kelompok Islam.

Terlebih lagi, kelompok-kelompok Islam yang disebut moderat dan radikal tersebut sering "berkelahi" mengenai banyak hal, terutama mengenai pandangan keislaman.

Kita tentu sangat berharap, kondisi kelompok Islam yang terpecah mampu memberikan faedah bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, yang diperlukan saat ini adalah sosialisasi nilai-nilai yang berasal dari ajaran Islam dalam perilaku berbagai kelompok Islam yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Banyak pemeluk agama Islam yang bukan muslim. Tetapi, banyak juga pemeluk agama selain Islam yang sikapnya seperti muslim. Pada titik itulah, pembumian ajaran Islam pada sikap sehari-hari pemeluk Islam harus dilakukan.

Dengan begitu, kondisi order (keteraturan) yang termaktub dalam ajaran Islam dapat terwujud tanpa harus menggunakan segala "sesuatu" yang berbau Islam saja. Gus Dur adalah tokoh yang selalu menekankan bahwa pemahaman keislaman kita jangan sekadar "baju". Misalnya, beliau pernah mengkritik penggunaan pengeras suara ketika seseorang sedang membaca Alquran di masjid.

Pembumian nilai-nilai bernapas ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat kita bisa melalui jalur pendidikan. Selama ini, pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan formal masih sekadar pelengkap.

Padahal, agama mampu membawa manusia dalam sikap-sikap yang cenderung duniawi (materialistik). Di sinilah kondisi pendidikan agama Islam perlu diubah. Anak didik harus ditekankan untuk bersikap sesuai dengan ajaran Islam dalam pergaulan di masyarakat.

Selain itu, beban waktu pelajaran harus ditambah agar anak didik dan pengajar bisa leluasa menggali nilai-nilai Islam dalam sikap hidup sehari-hari.

Dengan begitu, ketika anak didik terjun ke masyarakat -setelah lulus dari lembaga pendidikan formal-, mereka bisa menerapkan ajaran Islam walau tidak bergabung dalam kelompok Islam. Pada titik itulah, dominasi wacana tidak lagi hanya dimiliki kelompok Islam.

Dengan begitu, pertarungan antarkelompok Islam yang selama ini sering terjadi bisa dianggap selesai. Maka, kelompok-kelompok Islam bisa lebih konsentrasi pada aksi yang lebih bermanfaat bagi khalayak.

Persoalan mewujudkan kesejahteraan rakyat, memberantas korupsi, dan mencerdaskan kehidupan rakyat sering luput dari titik tekan berbagai aksi kelompok Islam selama ini. Hal tersebut, sekali lagi, terjadi karena kelompok-kelompok Islam lebih senang memperkaya diri dengan pergulatan wacana.

Peran pemerintah kemudian menjadi faktor pendukung diterapkannya sikap hidup berdasar nilai-nilai dalam ajaran Islam. Pemerintah harus lebih tegas dalam bersikap dan menegakkan hukum di negara ini. Pemerintah yang terlalu lemah lembut dan elastis dalam menerapkan aturan menyebabkan terpecahnya kelompok-kelompok Islam selama ini.

Berdasar paparan saya tadi, untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, diperlukan kerja sama aktif dan kreatif dari berbagai kelompok Islam untuk bersatu padu membentuk masyarakat yang makmur dan diridai Allah SWT. Semoga.

Denny Ardiansyah, mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fisip, Universitas Jember

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home