| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 04, 2006,1:45 PM

Mengapa Orang Miskin Naik?

Oleh Bagong Suyanto

Hasil survei nasional sosial ekonomi nasional (Susenas) BPS yang dilakukan Maret 2006 mencatat jumlah penduduk miskin naik 3,95 juta jiwa dibanding Februari 2005. Jumlah absolut penduduk miskin menjadi 39,05 juta atau 17,75% dari total penduduk Indonesia (Jawa Pos, 2 September 2006).

Di luar faktor-faktor internal yang membelenggu penduduk miskin, berbagai faktor eksternal, seperti situasi perekonomian nasional yang tak kunjung pulih dan kebijakan pemerintah pusat yang membebani rakyat, sering menyebabkan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengentas masyarakat miskin seolah tak banyak berarti.

Bahkan, terbukti jumlah penduduk miskin malah meningkat tajam setelah pemerintah memutuskan mencabut subsidi harga BBM. Diperkirakan jika pendataan BPS dilakukan pada September atau Oktober, jumlah penduduk miskin niscaya akan makin besar.

Kesulitan

Kesulitan utama yang dihadapi pemerintah untuk memberantas kemiskinan terutama terkait tingkat kedalaman dan perluasan kemiskinan yang boleh dikatakan telanjur kronis.

Studi yang dilakukan LPPKM Universitas Airlangga (2006) acap menemukan kecenderungan bahwa kian banyaknya kenaikan biaya hidup di masyarakat menyebabkan beban dan penderitaan yang ditanggung keluarga miskin menjadi makin berat. Kondisi ini diperparah oleh peluang kerja yang tak kunjung membaik pascakrisis dan terlebih pasca kenaikan harga BBM.

Selain itu, kemiskinan yang terjadi di berbagai daerah sering diperparah oleh faktor-faktor yang sifatnya struktural. Bagi masyarakat miskin, kemiskinan bukan sekadar persoalan kekurangan penghasilan dan terpaksa hidup serba kekurangan, tetapi juga menyangkut akses untuk meraih sumber-sumber produksi dan jaringan sosial-ekonomi yang memungkinkan mereka dapat survive di tengah iklim persaingan yang makin keras.

Keterbatasan modal usaha, jaringan pemasaran, serta lemahnya posisi bargaining menyebabkan penduduk miskin terpaksa kalah ketika bersaing dalam situasi pasar yang lebih berpihak kepada pemilik modal kuat.

Kenaikan harga BBM juga menyebabkan terjadinya pendalaman kemiskinan yang mengakibatkan keluarga miskin terperangkap dalam jerat utang yang kian berat akibat kebutuhan hidup yang bertambah.

Selama ini program penanggulangan kemiskinan dalam banyak hal hanya efektif dan berfungsi untuk memperpanjang daya tahan hidup menghadapi tekanan kebutuhan hidup pasca kenaikan harga BBM.

Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sifatnya karitatif, seperti pemberian BLT (bantuan lansung tunai) malah menimbulkan dan melahirkan ketergantungan di kalangan penduduk miskin kepada subsidi negara.

Strategi Penanggulangan

Upaya meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat miskin bukan hanya mencakup upaya pengembangan kegiatan produkif mereka, tetapi juga menyangkut upaya pemberdayaan yang dapat menjamin keluarga miskin memperoleh apa yang sebetulnya menjadi hak mereka, khususnya kesejahteraan dan taraf kehidupan yang layak.

Pengalaman di masa lalu mengajarkan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang hanya berdasarkan pertimbangan logika produksi atau mengejar peningkatan omzet produksi, terlebih program yang sifatnya karitatif, menyebabkan terjadinya overs stock dan berhadapan dengan keterbatasan pangsa pasar.

Program itu juga melahirkan proses marginalisasi dan ketergantungan penduduk miskin yang makin mencolok mata. Kelompok buruh, pekerja di sektor informal, pegawai rendahan, dan sejenisnya umumnya makin tersisih, rawan diperlakukan salah, dan sulit dapat melakukan mobilitas vertikal karena struktur yang ada makin hari terasa makin tidak ramah.

Studi yang dilakukan LPPKM Universitas Airlangga (2006) menemukan program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah -terutama dalam bentuk pemberian subsidi yang karitatif dan bantuan modal usaha atau pembinaan usaha produktif keluarga miskin- sering terkonsentrasi pada rekayasa yang sifatnya teknis produksi.

Selain itu, program tersebut cenderung beriorientasi kuantitas, sehingga dalam banyak hal lebih menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki modal dan aset produksi yang berlebih.

Kebijakan pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan sering kurang memperhatikan karakteristik dan konteks lokal masyarakat miskin. Akibatnya, yang terjadi ialah paket-paket kebijakan dan program yang bersifat meritokratis.

Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika pemerintah mengucurkan sejumlah dana kepada masyarakat miskin tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan struktur sosial di masyarakat lokal yang terpolarisasi atau terstratifikasi atas dasar berbagai dimensi?

Mungkinkah pedagang kecil-kecilan dengan latar belakang pendidikan yang rendah dapat mengembangkan usaha dan menembus pasar yang lebih luas, sementara di saat yang sama supermarket mini dan sebagainya masuk ke kampung-kampung dan kompleks perumahan?

Mungkinkah kelompok buruh nelayan atau nelayan miskin bisa meningkatkan kesejahteraan jika paket bantuan teknologi perikanan lebih diprioritaskan kepada nelayan pemilik atau juragan kapal yang dinilai lebih bisa dipercaya bakal tidak menunggak cicilan pinjamannya?

Ke depan, untuk mencegah agar tidak lagi terperosok pada kekeliruan serupa, dan upaya pemberdayaan masyarakat miskin bisa efektif, yang dibutuhkan selain introspeksi, juga revitalisasi program pemberdayaan masyarakat miskin yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin. Setujukah Anda? (*)

Bagong Suyanto, pengajar masalah kemiskinan di FISIP Unair Surabaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home