| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 04, 2006,1:50 PM

Paradoks Politik dan "Frustrasi Intelektual"

Boni Hargens

Kita baru saja merayakan Hari Kemerdekaan Ke-61 RI. Merah Putih berkibar di mana-mana. "Maling" pun ikut upacara bendera.

Maka, kritik dalam pertunjukan Merdeka secara Jenaka oleh Orkes Sinten Remen pimpinan Djadoek Ferianto di TIM Jakarta, 18-19 Agustus 2006, sungguh tepat, "Sekali merdeka tetap maling!" (Kompas, 20/8). Ungkapan ini menunjukkan paradoks politik kebangsaan yang selalu tampil dalam oposisi biner, yakni baik/buruk, beradab/biadab, tulus/dusta, manusia/leviatan, sehingga pada situasi tertentu, seperti dalam perayaan kemerdekaan, kita bingung memilah antara "iblis" dan "malaikat", "gandum" dan "ilalang", atau "pemimpin" dan "maling". Semua satu, bernama "Indonesia Merdeka!"

Paradoks

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (16 Agustus 2006) agak mempertegas "paradoks" itu. Yang muluk-muluk disebut lantang, padahal kenyataan hidup amat getir. Disebutkan angka pengangguran menyusut dari 11,2 persen tahun 2005 menjadi 10,4 persen awal 2006. Laju inflasi berubah dari 5,09 persen menjadi 3,3 persen. Sederet prestasi dipaparkan, padahal rakyat masih berkubang dalam keadaan "sebaliknya". Sebuah paradoks.

Mengutip Jurgen Habermas (1957), paradoks menandai kegagalan pembangunan politik demokrasi yang mengandaikan suatu konsensus dalam rangka menciptakan ekuilibrium sosial-politik. Sebab, bagi Habermas, tidak ada demokrasi tanpa konsensus.

Jika mau jujur, proses penyelenggaraan politik di Indonesia yang ditandai aneka paradoks tidak cuma mensinyalir tidak adanya konsensus, tetapi juga menunjukkan kesukaran mewujudkan prinsip pemerintahan demokratis yang benar-benar substansial. Mengapa? Ada dua alasan.

Pertama, integritas penyelenggara kekuasaan (elite politik) masih rapuh. Di dalamnya dalil-dalil pokok demokrasi hanya dipahami, tetapi tidak dihayati dan dijalankan. Alhasil, politik demokrasi kita menjadi bentuk "penindasan baru" oleh penguasa atas rakyatnya.

Kedua, lemahnya kekuatan pengontrol kekuasaan seperti kelas menengah, terutama kaum intelektual, yang memainkan fungsi kontrol dari luar sistem. Hal ini disebabkan kaum intelektual tidak solid, bahkan terjebak dalam paradoks. Contoh, ada yang menilai pemerintah berhasil, tetapi ada yang mengatakan sebaliknya. Ada intelektual yang bangga dengan internasionalisme SBY-JK dalam konflik Israel-Lebanon, tetapi ada yang menuduh itu "internasionalisme strategis" untuk kekuasaan karena di dalam negeri sendiri banyak masalah yang luput dari perhatian pemerintah.

Intelektual tukang

Pada saat kaum intelektual tidak bersekutu dan jatuh dalam pertentangan, muncul tanggapan miring, ada "kaum intelektual tukang" yang setiap analisisnya ditentukan kepentingan-kekuasaan dan ditakar dalam rupiah. Intelektual tipe ini tidak masuk kategori "intelektual organik"-nya kaum Gramcian dan tidak bekerja untuk perubahan sosial-politik. Mereka bekerja untuk politik-kekuasaan. Pertanyaannya, mengapa terjadi?

Berbagai alasan mungkin melatarinya, tetapi munculnya fenomena "kaum intelektual tukang" tidak lepas dari kondisi politik yang paradoksal.

Secara normatif, politik dibangun untuk memperjuangkan teleologi "kebaikan umum" (bonum commune). Namun, dalam kenyataan, politik memperkaya segelintir orang, menjadikan yang lain "tumbal pembangunan"; politik dicitrakan sebagai "yang jahat" ketika pada saat bersamaan elite politik berbicara tentang "kepentingan umum" dan merampok harta negara melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Politik direduksi sebagai alat untuk mengafani berbagai kebusukan di balik layar. Antara das Sollen dan das Sein tidak bisa dibedakan lagi. Pada gilirannya, kaum intelektual pun bingung, bahkan mengalami "frustrasi intelektual".

Pada titik ini, Hanah Arendt (1948) sulit dipercaya lagi bahwa hakikatnya politik itu bermoral. Tak sedikit intelektual tidak lagi mampu memercayai tesis Arendt bahwa pada dirinya politik itu baik sehingga meski pragmatisme menjiwai praktik penyelenggaraan kekuasaan dan betapa pun busuknya korupsi politik, politik harus tetap diarahkan pada teleologi "kebaikan umum".

Bahkan terang-terangan ada intelektual mendukung pemerintahan yang korup. Hal ini serentak mencerminkan "frustrasi intelektual" yang mengandung ciri ganda: (1) ketidakmampuan memperjuangkan prinsip politik yang beradab sekaligus; (2) suatu bentuk kepasrahan pada kenyataan politik yang ada.

"Frustrasi intelektual" dengan mudah mendorong cendekiawan tersudut pada dua ekstrem-negatif: (1) "apatisme" alias masa bodoh terhadap proses politik atau (2) oportunisme alias "bersetubuh dengan kekuasaan".

Dari dua ekstrem ini, yang paling buruk adalah oportunisme karena secara proaktif ikut memproduksi politik yang busuk. Maka tidak aneh jika dalam satu isu, intelektual tampak "saling berperang". Terkait eksekusi mati Tibo dan kawan-kawan, misalnya, ada yang menolak keras hukuman mati, tetapi ada intelektual yang mendukung eksekusi mati. Mungkinkah konsepsi "kemanusiaan" memiliki dasar teori yang bertentangan sehingga analisis cendekiawan saling menegasi?

Hal ini melukiskan, "frustrasi intelektual" menjadi jenis patologi baru di kekinian Indonesia yang berusia 61 tahun yang ikut merunyamkan keadaan bangsa dan negara. Orang tidak lagi memiliki standar yang sama dalam menilai keadaan, bahkan definisi "kemanusiaan" dan "moralitas" tidak lagi dibangun atas parameter yang sama dan universal.

"Kemanusiaan" dan "moralitas" perlahan-lahan ditakar menurut kepentingan kelompok atau pamrih politik yang sifatnya parsial. Dalam perpanjangannya, "keindonesiaan" ditafsir menurut paradigma kelompok sehingga kehadiran intelektual yang seharusnya mencerahkan justru memperkeruh keadaan.

Boni Hargens Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI; Direktur Bidang Riset Institute for Nation-State Building

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home