| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, September 12, 2006,1:06 PM

Kebebasan dan Kebenaran

Catatan untuk Azyumardi Azra

Henri Shalahuddin
Alumnus PP Modern Gontor Ponorogo, Dosen STID Moh Natsir

Dalam kolom resonansi di Republika, 31 Agustus 2006, Prof Dr Azyumardi Azra memberikan pujian yang sangat tinggi terhadap buku karya Khaled Abou Fadl yang berjudul The Search for Beauty In Islam: A Conference of the Books. Khaled Abou Fadl adalah guru besar asal Mesir yang saat ini mengajar hukum Islam dan Timur Tengah di Universitas California, Los Angeles.

Azra mendukung gagasan Abou Fadl tentang 'kebebasan mutlak' terhadap peredaran dan penyebaran buku, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang sok bersikap menjadi 'pelindung agama' atau 'pelindung pemikiran Islam'. Dia juga mengecam apa yang dia sebut dengan melarang peredaran atau bahkan pembacaan buku-buku yang dianggap 'menyesatkan'.

Wacana relativisme
Cara berpikir seperti Abou Fadl dan Azra itu lazim ditemukan di kalangan akademisi Muslim dewasa ini. Pola pikir itu berangkat dari konsep 'relativisme akal' yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada kebenaran sejati; tidak boleh menjadi hakim kebenaran; dan tidak boleh merasa pemikirannya yang benar sendiri. Ujung-ujungnya adalah sikap skeptik --bahkan bisa agnostik (tidak mau tahu)-- terhadap kebenaran.

Pola pikir 'relativisme kebenaran' seperti itu sebenarnya adalah satu bentuk self defeating argument (menyalahkan argumen sendiri). Ketika Azra mengecam orang yang berposisi sebagai `pelindung agama' atau `pelindung pemikiran Muslim', pada saat yang sama, dia juga memposisikan dirinya sebagai `polisi kebenaran tertentu'. Baginya, kebebasan adalah benar dan harus dibela, sehingga `kebenaran' (al haq) dan kebatilan tidaklah lebih penting dari kebebasan.

Padahal, kebebasan pemikiran dan kebebasan buku secara mutlak, bukanlah hal yang bijak. Di pesantren-pesantren, biasa ada kebijakan pimpinan pesantren untuk tidak mengajarkan Kitab Hikam, misalnya, kepada para santri baru, sebelum mereka mendalami kitab-kitab bidang fiqih. Adalah tugas pemerintah, ulama, juga rektor, untuk menata kurikulum pendidikan dan peredaran buku-buku atau media massa, sehingga murid, mahasiswa, atau masyarakat mendapatkan pemikiran yang konstruktif dan bermanfaat.

Tidak ada kebebasan mutlak sama sekali. Jerman melarang peredaran secara bebas buku-buku yang mengajarkan paham Nazi. MPR RI melarang peradaran buku-buku komunisme. Banyak ulama pernah meminta agar buku Ahmad Wahib --`Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya'-- ditarik dari peredaran. Sederet cendekiawan meminta pemerintah melarang penerbitan dan peredaran majalah-majalah porno. MUI menyatakan bahwa Ahmadiyah dan agama Salamullah-nya Lia Eden adalah paham sesat. Dengan begitu, bukan berarti MUI telah `menjadi Tuhan', sebab manusia memang dikaruniai akal dan wahyu untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.

Jadi, tidak mesti pelarangan peredaran satu buku atau majalah secara bebas sama dengan 'pembantaian buku'. Azra pasti akan melarang anak-anaknya untuk menerbitkan dan menyebarkan buku-buku atau majalah porno, sebab berpendapat bahwa buku-buku atau majalah porno tidak baik dan merusak moral. Ketika itu, bukan berarti Azra telah mengambil alih wewenang Tuhan.

Wakil Amerika
Untuk melengkapi kolom Azra yang memberikan pujian setinggi langit kepada Abou Fadhl, perlu kiranya pembaca mendapatkan data tambahan tentang Abou Fadl. Di berbagai situs dan media Barat, Abou Fadl digambarkan sebagai figur yang toleran, moderat dan sosok teladan yang tercerahkan (enlightened paragon).

Di samping itu, Abou Fadl adalah pakar hukum Islam dan pengacara Amerika ternama, pendekar HAM, dan bekerja sebagai dewan penasihat untuk pengawas Timur Tengah. Dia pernah ditunjuk oleh Presiden George W Bush sebagai komisaris dari Pansus Amerika untuk Kebebasan Beragama Internasional.

Hingga saat ini, ia telah menulis 7 buku dan lebih dari 50 artikel berkenaan tentang hukum Islam dan wacana keislaman. Di antara sisi kontroversi Abou Fadl dapat kita simak dari pandangannya mengenai jihad. Dia mengatakan bahwa dalam tradisi Islam tidak dikenal gagasan tentang jihad. Makna Jihad tidak lain hanyalah berusaha dan bekerja keras atau perjuangan dalam mencari suatu perkara yang adil. Jihad (holy war) bukanlah sebuah ekspresi yang digunakan oleh nash Alquran maupun teolog Muslim. (The Place of Tolerance in Islam)

Pemaknaan jihad sebatas `bekerja keras' adalah corak penafsiran bahasa, di mana pemaknaan ini hanya mengacu kepada salah satu makna dari sisi bahasa, dan mengabaikan makna termonologis. Pada akhirnya hal ini cenderung merancukan makna jihad secara epistemologis. Penafsirannya tentang jihad jelas tidak sejalan bila diaplikasikan dalam memaknai surat At Taubah ayat 41 dan 81, juga Al Anfal ayat 17 dan 65-66.

Dalam sebuah muktamar yang digelar di Qatar, 19-21 Oktober 2002 atas prakarsa Amerika untuk membahas hubungan politik, kebudayaan, ekonomi, sosial dan masalah keagamaan dengan dunia Islam, dihadirkan sekitar 60 ulama dan cerdik pandai dari dunia Arab dan Islam. Amerika sendiri mengutus cendekiawan lintasagama; Islam, Kristen dan Yahudi. Di antara isu yang dibahas adalah masalah terorisme (irhab) dan bom bunuh syahid. Tampil sebagai pembicara mewakili Amerika adalah Abou Fadl yang dipanel dengan Syeikh Dr Yusuf Qaradhawi.

Paham relativisme kebenaran dan skeptisisme yang dikenalkan Abou Fadl dan kaum liberal lainnya memang cenderung menolak adanya otoritas dalam ilmu pengetahuan. Tabiat seperti ini juga tercermin jelas dalam pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, --pemikir modernis Mesir. Dia sangat menyayangkan peran para ulama abad 4 dan 5H yang yang telah membuat kriteria bagi diterima atau tidaknya sebuah penafsiran, dan mengklaim bahwa kriteria tersebut dibuat atas motif fanatisme golongan.

Klaim seperti ini dapat dipahami sebagai konsekuensi langsung dari paham relativisme radikal yang menentang ilmu pengetahuan. Bahkan di penghujung karyanya, Al Imam Al Syafi'i wa Ta'sis Al Aidulujiyyah al-Wasatiyyah, secara jelas Nasr menyeru Muslimin untuk meninggalkan semua teks agama yang dianggap suci, karena hanya akan memonopoli kebenaran pada satu pihak. Jadi, bagaimana mungkin ada orang yang menafikan adanya kebenaran yang mutlak dan mensejajarkan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu? Arogansi apa yang membuat seseorang berani menyamakan status ilmu dan kebodohan?

Paham relativisme kebenaran sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Kalimat syahadat yang merupakan kesaksian seorang Mukmin, didahului dengan kata fa'lam yang berakar kata dari ilmu. Dalam Islam, tabiat ilmu senantiasa mengenalkan batasan yang jelas antara cahaya dan kegelapan; ilmu dan kebodohan; keadilan dan kezaliman; kebajikan dan kemungkaran; dan sebagainya.

Relativisme dan segala pandangan yang berusaha mengaburkan kebenaran sejatinya adalah warisan paham sophisme yang selalu dikritik para ulama. Dengan paham itu, Muslimin tidak dapat menjalankan aktivitas dakwah, karena tidak lagi meyakini adanya kebenaran hakiki. Jika seseorang sudah berpendapat, bahwa manusia tidak tahu kebenaran sejati, maka dia sudah masuk `golongan bingung' dan berusaha menyebarkan kebingungannya kepada orang lain.

Ikhtisar
- Kalangan akademisi Muslim saat ini banyak termakan diskursus 'relativisme akal' yang mempersulit diyakininya kebenaran hakiki.
- Wacana relativisme itu kerap menempatkan kebebasan menjadi lebih penting dibanding kebenaran.
- Pada tingkat tertentu, relativisme bisa menghalangi jalan dakwah.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home