| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, September 09, 2006,7:32 PM

OKP sebagai Intelektual Organis

Oleh Adlil Umarat

Suatu ketika saya sedang berada di angkutan umum pada siang hari dalam perjalanan menuju pusat Kota Jakarta. Keadaan jalan saat itu seperti biasa, macet luar biasa.

Tba-tiba di tengah suasana panas, gerah, dan penuh sesak itu, saya melihat segerombolan pemuda bersepeda motor, beratribut serbaputih, memakai baju koko, serban, dan peci, serta membawa bendera organisasinya. Mereka mengendarai motor secara ugal-ugalan sembari mengeluarkan suara mesin yang menderu-deru.

Para pemakai jalan yang tadinya berdesak-desakan pun minggir dengan sendirinya. Mereka takut terserempet rombongan yang saya sebutkan tadi.

Kurang Arif

Ada dua poin yang membuat saya terheran-heran atas kejadian itu. Pertama, rombongan "pasukan putih" tersebut tidak memakai helm yang notabene alat pengaman dalam berkendaraan.

Hal yang lebih menggelikan, saat mereka melewati perempatan jalan yang dijaga polisi, ternyata mereka nyelonong tanpa ditegur.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Saya terus bertanya-tanya dalam hati. Apakah Pak Polisi takut dengan rombongan tersebut? Ataukah Pak Polisi sedang sibuk menjaga lalu lintas? Cuma Tuhan yang tahu jawabannya. Kedua, rombongan yang saya perkirakan adalah salah satu anggota organisasi kepemudaan berbasis agama itu bersikap tidak menyenangkan di jalan raya yang merupakan milik publik. Deru mesin yang begitu memekikkan telinga membuat teror tersendiri bagi pengendara lain.

Saya melihat sikap mereka sama halnya dengan sikap-sikap beraroma premanisme, seenak jidatnya saja. Efek rombongan itu sama persis ketika rombongan presiden atau motor Harley lewat di jalan raya, selalu membuat pengendara lain mengerutkan kening.

Pertanyaan saya, bukankah mereka itu seorang muslim yang sejatinya selalu taat pada peraturan, baik dari segi agama maupun peraturan pemerintah, karena ada konsep ulil amri di dalam Islam? Mengapa mereka bersikap kontradiktif dengan simbol identitasnya sebagai muslim yang merupakan penyejuk bagi masyarakat sekitarnya?

Pengalaman saya di atas merupakan salah satu bukti nyata bahwa organisasi kepemudaan yang berbasis agama di Indonesia belum bisa memberikan teladan bagi organisasi pemuda lain. Di dalam organisasinya, masih terkandung budaya premanisme, kurang bijak, dan tidak taat peraturan.

Bukti lain yang lebih menohok adalah diusirnya Gus Dur dalam sebuah acara diskusi lintas agama di Jawa Barat beberapa bulan lalu. Saat itu ada sebuah organisasi kepemudaan berbasis agama yang kesal dengan Gus Dur. Mereka menganggap Gus Dur berbeda aliran. Secara tidak langsung, mereka menekan agar acara diskusi tersebut dihentikan. Itulah satu bukti bahwa organisasi kepemudaan berbasis agama masih belum dewasa dalam berpikir dan bertindak.

Sebagai Intelektual Organis

Bagaimana seharusnya peran OKP dalam konteks kekinian Indonesia? Bagaimana idealnya? Menurut saya, kita perlu mengarahkan pembentukan karakter OKP menjadi organisasi intelektual yang organis. Hal itu harus diutamakan bagi OKP yang berbasis agama.

Mengapa? Sebab, OKP yang berbasis agama, selain paling banyak jumlahnya, penanaman nilai-nilai intelektual di dalamnya masih lemah. Mereka cenderung terikat dengan budaya primordialisme dan terkungkung dalam alam dogmatik yang statis. Batu karang pemikiran yang masih belum terbuka itu perlu kita perbaiki.

Kembali ke masalah intelektual organis, menurut saya, kita (pemerintah, rakyat, LSM, civil society organization) perlu menggalakkan budaya intelektual yang sistematis.

Hal itu diperlukan agar kerangka berpikir para anggota OKP dapat dibentuk secara lebih ilmiah. Dengan begitu, budaya premanisme yang dilandasi ego darah mudanya tadi tidak muncul ke permukaan. Diharapkan, mereka bisa lebih wise dalam menyikapi berbagai permasalahan.

Selama ini, setiap ada permasalahan yang berhubungan dengan perbedaan dalam pemahaman agama (khususnya Islam) selalu diselesaikan dengan gertakan, baik langsung maupun tidak langsung di media massa. Seharusnya, hal itu bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan dilandasi cara berpikir yang lebih argumentatif serta ilmiah.

Untuk itu, saya berharap Menpora mampu melaksanakan tugasnya dalam urusan pembenahan metodologi berpikir para OKP itu. Berbagai pelatihan, pendidikan, training motivasi bisa disisipi subtema cara berpikir kritis dan ilmiah.

Kata organis yang saya usulkan tadi lebih mengarah pada tindakan konkret yang dilakukan OKP sebagai salah satu pilar kekuatan civil society organization di negara ini. OKP yang berbasis agama jangan hanya sibuk membahas kitab-kitab kuning di markasnya, tapi juga harus berpikir untuk memberikan kontribusi positifnya bagi pemberdayaan masyarakat.

Di sinilah letak kelemahan OKP kita secara umum. Mereka masih terkonsentrasi pada urusan internal. Kepedulian mereka terhadap penanganan bencana di negara ini belum begitu terasa. Hal itu berbeda dengan pemuda di Amerika Serikat. Sesibuk apa pun mereka dan berasal dari kota yang berbeda, ketika terjadi bencana seperti angin topan Tornado di wilayah sekitarnya, mereka secara spontan menggerakkan kekuatan untuk menolong dan membantu korban bencana alam tersebut.

Adlil Umarat, mahasiswa Berprestasi II FISIP UI 2006

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home