| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, September 11, 2006,1:56 PM

Retorika Memacu Investasi

Faisal Basri

Indonesia pernah menjadi salah satu tujuan investasi terkemuka, khususnya di antara negara-negara berkembang. Daya pikat yang kita miliki kala itu ialah upah buruh murah, kekayaan sumber daya alam, perlindungan terhadap pasar domestik, dan kestabilan politik. Tak heran kalau bidang-bidang usaha yang paling banyak digeluti investor adalah yang padat karya, padat sumber daya alam, dan industri substitusi impor.

Hampir semua daya pikat itu kini sudah kian terkikis, sementara sumber pemikat yang baru belum mengedepan. Jika memang kenyataannya demikian, paling tidak perlu ada kemasan baru ataupun revitalisasi atas sumber-sumber pemikat yang pernah kita miliki. Kita tak bisa lagi bicara buruh murah, melainkan pekerja yang produktif dan berdisiplin tinggi. Kita tak mungkin lagi sekadar menggembar-gemborkan kemelimpahan sumber daya alam, melainkan bagaimana sumber daya alam tersebut bisa menjadi "feedstocks" bagi pengembangan industri-industri manufaktur di hilir sehingga mampu meningkatkan nilai tambah secara berarti. Kita tak boleh lagi merindukan otoritarianisme atau pendekatan "tangan besi" untuk menjamin stabilitas, melainkan pemerintahan yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi hakikinya.

Revitalisasi dan kemasan baru tak cukup dengan melakukan muhibah ke berbagai negara yang kelebihan modal sebagaimana kerap dilakukan presiden, wakil presiden, dan para menteri. Dalam lawatannya ke Timur Tengah, Presiden berjanji menggelar karpet merah bagi investor yang akan datang ke Indonesia. Segudang janji telah pula dilontarkan dalam lawatan-lawatan petinggi negara ke China, Jepang, dan Amerika Serikat. Dengan negara jiran Singapura dan Malaysia, tak terbilang jumlah saling kunjungan. Puluhan nota kesepahaman telah ditandatangani.

Minggu lalu di Singapura kembali Presiden merayu pebisnis untuk berinvestasi di Indonesia. Presiden meyakinkan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat untuk terus melakukan upaya maksimal memperbaiki iklim investasi yang selama ini dipandang tak kondusif dan banyak hambatan. Perbaikan yang dijanjikan sangat komprehensif, meliputi regulasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti aturan perpajakan dan kepabeanan, kepastian penegakan hukum, perbaikan infrastruktur, peningkatan stabilitas politik dan praktik demokrasi, sistem perburuhan, reformasi birokrasi, serta pemberantasan korupsi (Kompas, 5 September 2006, halaman 1).

Luar biasa janji Presiden kepada para pebisnis mancanegara peserta konferensi ekonomi internasional "Forbes Global CEO" hari Senin minggu lalu itu. Substansinya menyentuh masalah mendasar yang sudah lama tak tersentuh, serta tekad untuk menyelesaikannya secara sungguh-sungguh dan menyeluruh.

Namun, dengan kasatmata kita menyaksikan hal yang sebaliknya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanaman Modal tak jelas kapan akan dituntaskan. Nasib serupa dialami RUU Perpajakan. Petinggi negara tampaknya lebih sigap dalam berunding di kancah internasional ketimbang melakukan pendekatan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meyakinkan betapa pentingnya kedua RUU tersebut untuk mendongkrak investasi bagi percepatan pertumbuhan ekonomi, sehingga bisa lebih ampuh dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran. Bukankah Presiden dan Wakil Presiden bisa dengan mudah memerintahkan anggota DPR dari partainya masing-masing menjadi ujung tombak penyelesaian RUU tersebut?

Pemerintah lebih sigap mengurusi masalah internasional ketimbang menekuni persoalan domestik. Misalnya menyelesaikan masalah yang mengganjal terkait pelaksanaan Inpres No 3 Tahun 2006 tentang Iklim Investasi. Betapa cepatnya proses pembelian panser untuk pasukan kita yang dikirim untuk misi perdamaian ke Lebanon ketimbang merealisasikan bantuan bagi korban gempa di Yogyakarta yang sudah secara eksplisit dijanjikan pemerintah. Padahal, bantuan itu setidaknya secara moral niscaya akan sangat berarti untuk mempercepat pemulihan roda ekonomi nasional.

Masyarakat internasional juga tentu dengan mudah berkesimpulan bahwa pemerintah kerap lamban menyelesaikan masalah yang ada di depan mata, seperti penanggulangan lumpur panas Sidoarjo dan kebakaran hutan yang sudah menjadi ritual tahunan memalukan, terutama di mata negara tetangga yang jadi korbannya. Pemerintah juga terkesan mengambangkan penyelesaian masalah perburuhan.

Ada pula sejumlah tarik-menarik kepentingan yang kasatmata dalam sejumlah proyek pembangunan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal-hal demikian tak pelak lagi membuat investor tetap ragu untuk menanamkan modalnya di proyek-proyek berjangka panjang. Saratnya tarik-menarik kepentingan membuat beberapa keputusan atau kebijakan dengan mudah dianulir atau digantikan dengan keputusan atau kebijakan baru. Bahkan terkadang cuma sebatas keputusan lisan yang tak kunjung diperkuat keputusan formal tertulis. Keputusan seperti itu niscaya kurang dilandasi kajian yang bisa dipertanggungjawabkan dan niscaya pula prosesnya remang-remang atau tidak transparan. Juga berpotensi menabrak aturan lain yang sejajar ataupun di atasnya sehingga memperburuk iklim investasi itu sendiri.

Faktor-faktor itulah yang tampaknya membuat berbagai kebijakan—yang sudah cukup banyak dikeluarkan pemerintah—tak bisa diterapkan secara efektif. Benar adanya bahwa "the devil is in the detail".

Tak mengejutkan kalau hasil survei oleh Bank Dunia dan International Finance Corporation hanya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Jika dibandingkan posisi Indonesia 131 tahun lalu, berarti perbaikan yang dilakukan masih belum memadai dibandingkan pembenahan yang terjadi di negara lain, terutama pesaing dekat kita.

Hasil survei ini sejalan dengan persepsi perusahaan Jepang yang beroperasi di luar negeri sebagaimana laporan Jetro. Di mata perusahaan Jepang, berusaha di Indonesia kian tidak menjanjikan dalam jangka menengah (tiga tahun ke depan atau lebih). Dalam tiga tahun terakhir posisi Indonesia terus merosot, dari peringkat keempat pada tahun 2002 menjadi peringkat kedelapan pada tahun 2005. Padahal, pada tahun 1997 posisi kita masih cukup terhormat, peringkat ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Kini bahkan kita sudah tertinggal dibandingkan dengan India, Vietnam, Rusia, dan Thailand.

Janji-janji menggiurkan tak lagi mempan untuk mengundang mereka ke sini. Lebih celaka lagi kalau yang kita rayu tak datang, yang sudah berjibaku di sini satu demi satu bertumbangan atau hengkang ke luar negeri. Tampaknya kita masih harus lebih saksama berbenah diri sebelum berpromosi.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home