| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, September 09, 2006,7:02 PM

Dilema Sifat Melawan Hukum (2-Habis)

Kepastian Hukum Tabrak Keadilan

Oleh Moh. Mahfud M.D.

Pada masa lalu, manipulasi dengan menggunakan bukti-bukti formal atas alasan kepastian hukum sangat banyak digunakan dalam berbagai kasus sehingga formalitas-formalitas sering dijadikan alat pemutihan bagi tindak pidana, terutama kasus-kasus korupsi.

Alasan yang digunakan untuk itu adalah konsep negara hukum rechtstaat sebagaimana tertuang dalam penjelasan UUD 1945. Karena itu, kata rechtstaat yang ditempatkan dalam kurung (kunci pokok pertama sistem pemerintahan negara) penjelasan UUD 1945 dipersoalkan. Sebab, dengan adanya istilah rechtstaat, sering dilakukan manipulasi dengan mengatakan bahwa UUD 1945 (hanya) menghendaki kepastian hukum (rechtstaat) dan tidak menghendaki keadilan yang sulit diukur secara formal (the rule of law).

Kemudian, diperjuangkan agar negara hukum Indonesia dikonsepkan secara tegas sebagai negara hukum yang prismatis, menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaat dengan kepastian hukumnya dan the rule of law dengan rasa keadilannya secara integratif, bukan hanya rechtstaat dan bukan hanya the rule of law.

Melalui amandemen UUD 1945 yang meniadakan penjelasan, konsepsi negara hukum Indonesia kemudian dicantumkan pada pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tanpa embel-embel (rechtstaat maupun the rule of law).

Perumusan tanpa embel-embel itu sebenarnya dilakukan dengan sengaja (bukan sekadar penyederhanaan semantik) dengan maksud untuk memberi tempat yang lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law) tanpa dominasi kepastian hukum dan formalitas (rechtstaat).

Dalam konsteks "negara hukum" ini, sebenarnya kriminalisasi terhadap perbuatan melawan hukum secara materiil tidak dapat disalahkan. Artinya, demi tegaknya keadilan, seharusnya perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan, dan sebagainya dapat dipidanakan, meski secara formal tidak ada UU yang melarangnya.

Tetap Dilematis

Meski begitu, pada tataran implementasi (bukan pada level konsep), persoalan dilematis tetap muncul. Pada saat ini, banyak kasus korupsi yang didugakan dan didakwakan kepada ratusan anggota DPRD karena melanggar asas kepatutan atau batas kewajaran.

Mereka, misalnya, dibidik dengan ancaman pidana korupsi karena membuat tunjangan tertentu untuk diri sendiri yang sangat tidak wajar. Ada yang membuat tunjangan kesehatan atau asuransi untuk DPRD (yang jumlahnya hanya puluhan orang) dalam jumlah yang lebih besar daripada anggaran untuk kesejahteraan masyarakat, yang berjumlah ratusan ribu bahkan jutaan orang.

Itu pun dalam pelaksanaannya diambil dalam bentuk uang tunai, bukan diwujudkan dalam polis asuransi atau butir kegiatan yang sebenarnya dituju. Ada juga yang membuat anggaran tidak wajar untuk berbagai tunjangan dan fasilitas dalam jumlah yang melampaui ketentuan pemerintah pusat (misalnya SE Mendagri dan Menkeu) dengan alasan bahwa UU menyerahkan pengaturan anggaran kepada daerah (DPRD dan kepda).

Jadi, menurut mereka, kebijakan pusat (Mendagri dan Menkeu) tidak harus dipatuhi karena tidak sesuai dengan isi UU yang hierarkinya jauh lebih tinggi daripada sekadar SE seorang menteri. Melihat kenyataan seperti itu, pemberlakuan sifat melawan hukum secara materiil menjadi sangat perlu untuk melawan manipulasi-manipulasi formalitas. Seperti kita ketahui, Kejaksaan Agung dalam menghadapi kasus korupsi yang diduga banyak dilakukan DPRD menganut konsep sifat melawan hukum secara materiil.

Namun, persoalan konseptual itu bukan berarti selesai. Sebab, dengan pemberlakuan sifat melawan hukum secara materiil, banyak aparat penegak hukum yang menjadikannya sebagai alat pemerasan tanpa bukti.

Banyak anggota DPRD yang secara diam-diam diperas aparat penegak hukum (jaksa dan polisi) untuk membayar sejumlah uang tertentu agar kasus dugaan korupsinya "yang melanggar SE menteri atau PP" tidak diproses secara hukum.

Tentu saja, pemerasan tersebut dilakukan melalui tangan ketiga atau cara-cara tertentu. Kalau ketahuan, hal itu segera dibantah si pemeras dengan teriakan "mana buktinya" disertai ancaman baru bahwa kalau yang diperas tidak diam, dugaan korupsinya akan diproses dengan ditambah ancaman pidana baru karena mencemarkan nama baik si pemeras.

Akibatnya, orang yang diperas takut untuk mengungkap secara terbuka karena bukti formal dan saksinya memang tak mungkin ada. Celakanya lagi, seseorang yang telah membayar secara diam-diam kepada aparat penegak hukum sehingga merasa aman dengan janji yang diperolehnya tiba-tiba dibidik lagi ketika pejabat penegak hukum di daerah itu diganti pejabat baru.

Pejabat lama memang tidak lagi membidik setelah dibayar, namun pejabat baru membidiknya kembali. Akibatnya, anggota-anggota DPRD itu menjadi ATM (automatic teller machine) yang uangnya terus disedot tanpa daya.

Banyak juga aparat penegak hukum yang ceroboh dalam menerapkan proses hukum dalam kasus dugaan korupsi di berbagai DPRD melalui proses pukul rata. Ada ketua DPRD yang sedang cuti haji, tidak ikut sidang, dan tidak ikut bertanda tangan ketika penetapan anggaran yang "dianggap korup" itu disahkan tetap saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Ada juga anggota DPRD penggati antarwaktu (PAW) yang ditetapkan sebagai tersangka untuk anggaran yang ditetapkan DPRD sebelum dia menjadi anggota DPRD melalui PAW itu. Dalam implementasinya, pemberlakuan konsep sifat melawan hukum secara materiil tersebut memang tetap dilemmatis. Pada satu pihak, itu perlu diberlakukan untuk menghadang kejahatan yang nyata ada, tetapi tidak dapat diselesaikan karena berlakunya asas legalitas atau sifat melawan hukum secara formal.

Tetapi, pada pihak lain, pemberlakuan sifat melawan hukum secara materiil justru dapat digunakan aparat penegak hukum untuk lebih mudah memeras.

Tetapi, dilema itu sebenarnya muncul untuk tataran implementasi yang dapat diatasi dengan reformasi pada birokrasi aparat penegak hukum secara sungguh-sungguh.

Moh. Mahfud M.D., pengajar pascasarjana ilmu hukum di UII, UGM, dan beberapa universitas lain

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home