| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, August 12, 2006,1:15 PM

NU, "Infotainment", dan Sikap Moderat

Zuhairi Misrawi

Lembaga Survei Indonesia beberapa hari lalu mengeluarkan hasil survei program ormas yang paling diterima publik.

Sebanyak 71,7 persen respon- den memilih Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa (ormas) yang paling diminati program-programnya.

Awal tahun ini, Lembaga Survei Indonesia juga mengeluarkan hasil survei tentang pandangan dan sikap keberagamaan radikal. Hasilnya, warga NU tidak tertarik dengan isu-isu radikalisme dan terorisme.

Di tengah kekhawatiran banyak pihak perihal pergeseran paradigma gerakan NU, yang belakangan dianggap sedang bergeser ke kanan, telah terjawab dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Surabaya.

NU tegas menolak formalisasi syariat. Yang harus diamalkan adalah substansinya dalam konteks keragaman dan kebangsaan. Secara khusus, NU menolak peraturan daerah yang eksplisit disebut perda syariat. Hal itu didasari asumsi, Pancasila adalah pilihan final, yang meniscayakan penghargaan atas kebhinnekaan.

KH Ahmad Sahal Mahfudh dalam khotbah iftitahiyyah menegaskan, tradisi keagamaan NU harus menghargai kebudayaan lokal. NU harus mengembangkan gagasan universalisme Islam. Karena itu, paham keagamaan yang harus dikembangkan adalah paham moderat, bukan ekstremistik.

Selain itu, NU merekomendasikan paham keagamaan yang kritis atas ketidakadilan global. Dalam konflik Israel-Hezbollah, NU ikut mengecam kebrutalan Israel.

"Infotainment"

Salah satu hasil forum kajian (bahtsul masail) para ulama NU yang mendapat perhatian banyak publik adalah perihal haramnya infotainment. Para ulama mencapai kata mufakat (ijma’), hukum infotainment adalah haram.

Bunyi teksnya, "Menayangkan, menyiarkan, menonton, atau mendengarkan acara yang mengungkap/membeberkan kejelekan seseorang melalui acara apa pun adalah haram, kecuali berdasar tujuan yang dibenarkan Syariat, seperti memberantas kemungkaran, memberi peringatan, menyampaikan pengaduan/laporan meminta bantuan atau meminta fatwa hukum. Pandangan ini didasari pada teks-teks primer (al-Quran dan Sunnah), teks sekunder (pandangan para ulama klasik)."

Masukan bagi kajian keagamaan hukum infotainment, bersumber dari daerah, baik pada tingkat wilayah, cabang, maupun anak cabang. Hal itu merupakan bukti kuat tentang munculnya kegelisahan yang bersifat masif di kalangan para ulama dan masyarakat perihal menjamurnya tayangan infotainment di televisi. Kegelisahan itu disimpulkan dalam beberapa poin penting.

Pertama, tayangan infotainment sudah masuk terlalu jauh ke ruang privat, yang bisa dikategorikan pergunjingan (ghibah) atau membuka aib orang lain di muka umum. Misalnya, perihal rumah tangga artis yang dikabarkan retak, padahal kabar itu hanya gosip. Model pemberitaan seperti ini bisa dikatakan sebagai pergunjingan atau membuka aib orang lain. Karena itu, tayangan itu dapat dihukumi haram menurut pandangan para ulama, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab klasik seperti Ihya’ Ulumuddin dan Riyadhusshalihin. Tidak semestinya hak privasi dan aib keluarga dibuka ke muka umum, apalagi dalam kapasitasnya sebagai gosip.

Kedua, tayangan infotainment merupakan salah satu acara yang pada durasinya sudah masuk kategori berlebihan karena hampir setiap saat, dari pagi hingga malam hari, penonton dijejali tayangan itu. Ada kesan kuat bahwa televisi dan produser hanya memerhatikan aspek komersial dan keuntungan.

Seperti ditulis Arswendo Atmowiloto di Tempo, dalam seminggu tercatat 29 judul acara infotainment dan 134 tayangan berdurasi masing-masing 30 menit. Karena itu, tayangan itu dalam kacamata agama sudah masuk kategori berlebih-lebihan (al-tabdzir), yang tentu dilarang. Rasulullah SAW pernah meminta para sahabatnya agar tidak berlebih-lebihan dalam beribadah. Jika berlebih-lebihan dalam beribadah pun harus dihindari, bagaimana dengan berlebih-lebihan dalam infotainment?

Ketiga, tayangan infotainment telah menimbulkan dampak negatif pada masyarakat. Dalam bahasa agama, menimbulkan marabahaya (madharrat). Karena saking banyaknya tayangan infotainment, masyarakat mudah terbius untuk terus-menerus menonton. Hal ini dapat menyuburkan budaya pergunjingan di tengah masyarakat.

Dengan demikian, NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan bangsa ini dari pelbagai hal yang dapat mengakibatkan meluasnya kemudaratan.

Sebaliknya, kemaslahatan bagi segenap warga harus diutamakan (dar’ al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih).

Sikap moderat

Selain itu, para ulama senantiasa mengingatkan kepada semua pihak, khususnya warga NU, agar mengembangkan paham dan sikap keagamaan yang moderat. Hal ini tertera dalam metodologi pemikiran (manhaj fikr), yang disahkan para ulama. Dalam keberagamaan, seluruh warga NU harus mengutamakan sikap moderat (al-tawasuth), keseimbangan (al-tawazun), toleransi (al-tasamuh), dinamis (al-tathawwur).

Dengan demikian, NU bukan organisasi yang mengedepankan radikalisme dan ekstremisme dalam melaksanakan misi dan program. Dalam pemikiran, NU senantiasa mengedepankan dialog dan penalaran keagamaan berdasar khazanah keislaman yang tersedia dalam tradisi Islam.

Dalam politik pun demikian, moderasi NU diletakkan tidak pada keterlibatan NU pada politik praktis, tetapi kepada politik etis yang mengedepankan kebajikan umum (al-mashlahah al-‘ammah) sebagai pilihannya.

Karena itu, moderasi NU dalam politik disepakati agar membuat Komisi Politik NU, yang khusus mengampanyekan pentingnya etika politik, pemberdayaan politik, dan pemecahan masalah yang terkait politik, khususnya konteks kebangsaan.

Dengan demikian, sikap moderat NU seperti di atas akan memberi nuansa baru bagi pendidikan bangsa. Sudah semestinya, bila pemerintah dan para pelaku bisnis media ikut serta dalam menciptakan kondisi yang positif bagi terwujudnya pencerdasan dan sikap keagamaan yang moderat.

Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda NU

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home