| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, August 11, 2006,9:41 PM

Papan Catur Timur Tengah

Broto Wardoyo

Kebuntuan proses gencatan senjata dalam konflik Israel-Hezbollah membuat Amerika Serikat dan Israel menjadi tertuduh utama dan sasaran kecaman.

Namun, jika AS bersikap keras dalam menekan Israel, akankah gencatan senjata mudah dilaksanakan? Belum tentu.

Proses resolusi konflik dalam kasus Israel-Hezbollah membutuhkan banyak langkah, gencatan senjata hanyalah awal. Hingga kini, ada empat syarat yang diajukan Israel untuk gencatan senjata, yaitu perlucutan persenjataan milik Hezbollah, Hezbollah keluar dari Lebanon selatan, pembebasan dua tentara Israel yang ditahan Hezbollah, dan pemutusan mata rantai Hezbollah-Damascus-Teheran.

Adapun Hezbollah menghendaki penarikan mundur Israel dari Lebanon selatan dan pertanian Shebaa sebagai syarat utama gencatan senjata. Israel juga harus ditarik mundur dari seluruh wilayah pendudukan. Berbagai permintaan itu membuat gencatan senjata deadlock bahkan sebelum usaha gencatan senjata dimulai.

Konstelasi politik kawasan

Kompleksitas konflik tidak dapat dilepaskan dari konstelasi politik dan pengaturan keamanan Timur Tengah. Konflik ini bukan hanya antara Israel versus Hezbollah, tetapi juga melibatkan berbagai kekuatan utama di kawasan.

Untuk bisa melakukan gencatan senjata, dibutuhkan peran aktif berbagai kekuatan utama kawasan itu. Dengan demikian, gambaran mengenai konstelasi politik kawasan dan pengaturan keamanan regional Timur Tengah mutlak dibutuhkan. Untuk menghentikan konflik, atau gencatan senjata, ada banyak kartu yang harus diperhatikan dan bisa saling dipertukarkan.

Ada dua hal utama untuk konstelasi politik kawasan. Pertama, konstelasi intra- Arab. Pada pertengahan 1940-an, ide dasar hubungan intra-Arab adalah pan-Arabisme. Kesatupaduan negara-negara Arab melawan Israel dalam perang 1948-1973 dianggap sebagai tanda kesolidan Arab, meski kohesi pan-Arabisme itu kian menurun, ditandai kian sedikitnya negara yang terlibat perang.

Rusaknya pan-Arabisme bukan hanya disebabkan faktor AS. Benar, AS melakukan lobi terhadap negara-negara Arab tertentu seperti Mesir, Arab Saudi, atau negara-negara Teluk. Namun fakta sejarah menunjukkan, dari awal, pan-Arabisme hanya isapan jempol. Arsip-arsip perang 1948 yang sudah mulai dibuka menunjukkan, masing-masing negara Arab yang terlibat perang memiliki niat berbeda-beda. Dasar keterlibatan mereka terhadap perang bukan hanya membela saudara Arab mereka, Palestina, atau mengusir Israel. Kalangan neo-historian banyak menjelaskan hal ini (Avi Shlaim dalam Collusion Across Jordan atau Benny Morris dalam Righteous Victims).

Belum lagi masalah kesetiaan publik Arab yang lebih terbatas pada tribe, kelompok, atau keluarga. Konflik Hamas-Fatah memberi gambaran betapa sulitnya usaha membangun kesatuan Palestina, apalagi kesatuan Arab. Contoh lain, perbedaan, bahkan permusuhan, antara Baath Suriah dan Baath Irak pada 1990-an.

Hal penting kedua adalah perpecahan Islam. Dalam kasus Timur Tengah, secara spesifik, Islam tidak bisa dilihat sebagai unit tunggal. Kuatnya perbedaan Syiah-Sunni menciptakan gap dalam realitas politik. Ketika terjadi revolusi Islam di Iran tahun 1979, persepsi ancaman rezim-rezim di Timur Tengah, terutama Teluk, bergeser dari Israel ke Iran. Ketakutan akan gelombang Syiah membuat negara-negara Teluk bersatu padu mendukung Irak untuk berperang melawan Iran.

Ketakutan serupa ditengarai muncul dalam kasus Israel-Hamas dan Hezbollah. Munculnya poros Hezbollah-Suriah-Iran memperburuk peta intra-Arab (meski Suriah didominasi oleh Alawite tetapi secara politis memiliki aliansi dengan Iran).

Pengaturan keamanan kawasan

Selain konstelasi politik kawasan, juga ada dua hal penting dalam pengaturan keamanan regional: pola pertemanan-permusuhan dan perimbangan kekuatan.

Pola permusuhan-pertemanan di Timur Tengah amat fluktuatif. Misalnya, perubahan radikal Mesir dari memusuhi Israel lalu berdamai pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Atau sikap Presiden Irak Saddam Hussein yang sebelumnya berkoalisi dengan tetangga-tetangga Sunni Teluk dalam perang Iran-Irak, berperang dengan mereka.

Persepsi masing-masing negara akan ancaman beragam. Israel bukan lagi dilihat sebagai musuh bersama. Beberapa negara yang masih melihat Israel sebagai persepsi ancaman antara lain Suriah dan Iran (Hezbollah). Namun, bagi Arab Saudi, Iran lebih merupakan ancaman, bukan Israel. Berbagai perubahan atas persepsi ancaman ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika pertemanan-permusuhan.

Bangunan pola pertemanan-permusuhan itu akan dibakukan dalam perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Kini, pola utama yang terbentuk adalah poros Saudi-Mesir-Jordan yang pro-AS dan Iran-Suriah-Hezbollah yang anti-AS. Meski secara langsung tidak ada garis hubungan imajiner antara kelompok Arab Saudi dan Israel, tetapi saat dihadapkan pada realitas, Arab Saudi akan lebih memerhatikan tingkah Iran dibanding Israel.

Dua kaki

Peta-peta semacam itulah yang tergambar dalam konflik Palestina dan penyelesaiannya. Solusinya, kini ada dua kartu utama yang bisa saling dipertukarkan, yaitu gencatan senjata Lebanon dan krisis nuklir Iran. Upaya penyelesaian bisa dilakukan di antara dua kaki ini.

Tuntutan Israel dan Hezbollah yang saling mematikan satu sama lain bisa disiasati dengan membuka kartu kedua. Tekanan terhadap Israel akan lebih efektif jika dibarengi tekanan terhadap rencana pengembangan teknologi nuklir Iran. Ketakutan utama Israel adalah manakala ada suplai persenjataan nuklir Iran ke Hezbollah, itu sebabnya mengapa syarat penghentian mata rantai Suriah muncul.

Dalam teori diplomasi, jika terjadi deadlock salah satu pilihan yang bisa diambil adalah mengangkat masalah secara lebih luas atau menggunakan prinsip-prinsip umum yang lebih bisa disepakati. Keterlibatan aktor-aktor kuat di kawasan dibutuhkan secara aktif guna menyelesaikan konflik di Lebanon. Kehadiran AS dan Iran, yang kini menjadi raja masing-masing kubu, mutlak dibutuhkan.

Apa pun pilihannya, dunia internasional harus satu suara: katakan tidak untuk perang! Apa pun alasannya, perang adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Broto Wardoyo
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia; (Pendapat Pribadi)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home