| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, August 11, 2006,9:42 PM

Jakgung Memailitkan Lapindo

M. Hadi Shubhan

Luapan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, semakin mengganas dan belum ada indikasi segera teratasi oleh pihak-pihak yang terkait. Bahkan, jalur jalan tol nasional (Surabaya-Gempol) pun ditutup total kembali untuk waktu yang belum ditentukan (Jawa Pos, 8-8-06).

Tragedi akibat perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang dilakukan PT Lapindo Brantas Incorporated tersebut juga tidak kunjung bermakna dalam penanganan hukumnya.

Dalam ranah hukum kepidanaan, kepolisian tidak menghasilkan langkah yang progresif dalam pemberkasan untuk diajukan ke pihak kejaksaan. Pihak kepolisian hanya menetapkan ’krucuk-krucuk’ Lapindo sebagai tersangka. Dalam ranah hukum administrasi (negara) juga pihak pejabat yang berwenang tidak mengeluarkan satu sanksi administratif pun untuk ’menjewer’ Lapindo akibat pelanggaran hukum administrasi (negara).

Sementara jika menempuh jalur gugatan keperdataan akan dibutuhkan waktu cukup panjang yang bisa mencapai puluhan tahun sampai putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Belum lagi biaya moral maupun materiil yang dikeluarkan dalam kaitan gugatan perdata, yang pasti tidak dimiliki para korban lumpur panas Lapindo.

Sebenarnya, dalam kasus Lapindo ini, Jaksa Agung pun memiliki legal standing in judicio untuk bertindak mewakili masyarakat korban lumpur Lapindo. Legal standing yang dimiliki Jaksa Agung tersebut adalah dia berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap Lapindo di pengadilan niaga.

Pengajuan kepailitan terhadap Lapindo tersebut dalam hal ini dilakukan lembaga kejaksaan yang bertindak untuk dan atas nama negara yang berlandaskan kepentingan umum. Kewenangan institusi kejaksaan ini secara tegas diatribusikan oleh UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam pasal 2 Ayat 2 UU Kepailitan tersebut ditegaskan bahwa permohonan kepailitan dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas, misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum (kursif dari penulis).

Kepailitan adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim. Kepailitan ini bukan masuk dalam acara pidana, melainkan merupakan wilayah acara bidang keperdataan.

Karena masuk wilayah keperdataan, tujuan akhir proses ini adalah berkaitan dengan nilai finansial atau uang dan tidak berkaitan dengan kepidanaan seperti kurungan atau penjara.

Pada sisi lain, kepailitan juga bisa menjadi terapi kejut bagi Lapindo untuk tidak bermain-main dalam penanganan kasus lumpur tersebut. Mungkin shareholders Lapindo tidak akan ’nggandoli’ jika Lapindo dilikuidasi melalui kepailitan tersebut.

Tetapi, mereka akan berpikir berulang-ulang akibat multiplier effect dari kepailitan Lapindo ini. Misalnya, hancurnya reputasi internasional di bidang pertambangan serta hancurnya reputasi sosial dan bahkan reputasi politik para pembesar Lapindo di dalam negeri.

Beberapa hikmah menggunakan jalur kepailitan ini untuk mengembalikan kerugian para korban lumpur Lapindo. Pertama, prosedur kepailitan relatif lebih sederhana dan cepat. Dalam UU ditentukan bahwa proses kepailitan di tingkat pertama pengadilan niaga dibatasi waktunya maksimal 60 hari. Demikian pula di tingkat kasasi dibatasi maksimal 60 hari pula.

Dari pengalaman penelitian doktor saya, tidak pernah ditemukan kasus permohonan pailit yang berlarut-larut putusannya sampai melebihi lama dari batas waktu yang ditentukan itu.

Selain itu, proses kepailitan di pengadilan niaga merupakan proses yang sumir. Proses pailit ini dikatakan sederhana karena pemohon pailit (dalam hal kepentingan umum ini kejaksaan) hanya membuktikan secara sederhana (sumir).

Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar. Utang yang didialihkan oleh kejaksaan tentu utang yang timbul akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Lapindo.

Keuntungan kedua adalah proses yang lebih transparan. Hal ini karena seluruh pencairan harta pailit akan dilakukan kurator. Kurator yang bisa menangani kepailitan tidak hanya terbatas oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), tetapi kurator swasta yang kebanyakan dari para pengacara papan atas yang biasa menangani perkara hukum secara lebih profesional.

Kurator ini yang nanti bertugas mencairkan harta pailit melalui lelang umum serta hasil dari seluruh pencairan bundel pailit akan didistribusikan kepada kreditornya, termasuk para korban lumpur Lapindo tersebut.

Memang, kepailitan bagi Lapindo ini ini memiliki beberapa tantangan, seperti pihak kejaksaan yang harus benar-benar menguasai wilayah hukum keperdataan, khususnya hukum kepailitan ini. Terlebih, para jaksa hanya terbiasa dengan wilayah hukum kepidanaan serta belum pernah satu kasus pun menempuh jalur kepailitan ini. Tantangan lain adalah perlawanan dari pihak Lapindo yang nota bene di-backup oleh kapitalis perkasa serta ’penguasa raksasa’.

Sekarang tinggal Jaksa Agung yang terhormat, maukah Anda mencoba mencari terobosan baru untuk ikut merasakan penderitaan para korban lumpur Lapindo, yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya serta semakin mengenaskan kondisinya?

M. Hadi Shubhan, pengajar pada Fakultas Hukum Unair, doktor tentang hukum kepailitan (hadi_unair@yahoo.com).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home