| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, August 18, 2006,9:33 PM

Melawan Penjajah Bernama Kebodohan

Tamsil Linrung
Anggota Panitia Anggaran DPR RI dari FPKS

Tiada lagi di antara anak bangsa ini yang terkungkung kebodohan. Itulah idealitas sekaligus konsekuensi logis dari sebuah negeri merdeka. Idealitas itu --dalam konteks Indonesia yang sudah mengarungi 61 tahun merdeka-- masih harus diperjuangkan dengan penuh komitmen dan pengorbanan. Jika kita jalan-jalan ke berbagai sudut kota ataupun daerah, kita jumpai fakta sosioloigis tak sedikit di antara anak bangsa ini rela menjauhkan diri dari dunia pendidikan yang membuat dirinya tetap bodoh. Sementara, atas nama keterbatasan keuangan negara, gerakan pembebasan dari alam kebodohan pun masih tampak setengah hati. Sebuah renungan, apakah kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan ini tidak mampu melepaskan gurita sang penjajah abadi yang bernama kebodohan?

Dana pendidikan
Realitas kebodohan masyarakat kita memang layak kita catat sebagai kondisi yang memprihatinkan. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM), angka melek aksara penduduk Indonesia sampai usia 15 tahun hanya 87,9 persen dan angka partisipasi kasar pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas baru 65 persen. Kondisi ini mengantar peringkat SDI kita pada posisi ke-111 dari 177 negara. Sebuah tangga yang bukan hanya mempermalukan, tapi memang harus diperbaiki.

Sejauh ini, harapan utama untuk perbaikan dunia pendidikan (sebagai proses pengikisan kebodohan) sudah tertopang dengan keputusan politik yang cukup kuat. Amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 menegaskan, "Negara memprioritaskan anggaran pendidilan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional". Sedangkan Pasal 49 Ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi, "Dana pendidikan --selain gaji dan biaya pendidikan kedinasan-- dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD".

Komitmen untuk pembebasan diri dari alam kebodohan sejatinya cukup kuat. Tapi, rincian alokasi anggaran pendidikan per tahunnya masih tetap jauh dari persentase yang diamanatkan konstitusi. Seperti APBN 2006 ini alokasi anggaran pendidikan hanya Rp 39,7 triliun (9,3 persen dari total APBN yang bernilai Rp 427,5 triliun). Sebesar Rp 33,2 triliun untuk Depdiknas dan sebesar Rp 6,5 trilyun untuk Depag.

Dalih keterbatasan bahkan defisit keuangan negara dari tahun ke tahun menggerakkan kebijakan bahwa pencicilan itulah yang harus dilakukan, sekalipun TAP MPR tak sedikitpun bicara tentang pencicilan. Inilah kebijakan yang dinilai realistis dan rasional.

Yang menarik untuk dicatat, pencicilan anggaran pendidikan sudah dirancang sampai 2009. Dalam hal ini pemerintah mencatat persentase pencicilan itu: 6,6 persen atau Rp 46 triliun untuk anggaran 2004; 9,3 persen atau Rp 24,90 triliun (2005); 12 persen atau Rp 33,80 triliun (2006); 14,7 persen atau Rp 43,40 triliun (2007); 17,4 persen atau Rp 54 triliun (2008); dan 20,1 persen atau Rp 65,50 triliun (2009).

Dalam faktanya, skenario pencicilan meleset. Terlepas dari masalah ketepatan dan ketidaktepatan itu, skenario tersebut --barangkali-- dapat kita toleransi jika landasannya defisit riil per satu tahun anggaran ke depan, yang memang sudah dapat dibaca sebelumnya. Namun, terlalu pesimistik jika rentang waktunya sampai dua tahun apalagi lebih panjang lagi. Hal ini menggambarkan bahwa skenario pencicilan merefleksikan kurang penuhnya komitmen untuk merealisasikan angaran pendididikan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.

Cukup debatable memang dan sangat boleh jadi pemerintah keberatan terhadap penilaian miris itu. Meski demikian, terdapat sektor yang perlu kita kritik lebih jauh: apakah posting anggaran --dengan cicilan atau besaran persentase itu-- sudah merefleksikan angka riil? Untuk menjawabnya, kita bisa mencermati perilaku atau kebiasaan membuat anggaran di setiap lembaga pemerintahan.

Mengutip catatan Fuad Bawazir, mantan menteri keuangan, mark up antara 20-30 persen dalam menyusun anggaran untuk setiap program adalah hal biasa. Juga, terdapat program yang terlihat dipaksakan. Inilah praktik yang tidak pernah di-review lebih tajam dan penuh kesadaran oleh penyusun/pengusul anggaran (pemerintah).

Efisiensi
Sementara, lembaga legislatif --karena keterbatasan informasi ataupun pengetahuan teknis-- tidak maksimal dalam me-review. Akibatnya, postur anggaran tetap besar, tapi terdapat rancangan tentang kandungan defisit. Untuk itu efisiensi anggaran menjadi hal yang sangat krusial yang harus direalisasikan.

Tampaknya, untuk memangkas praktik mark up yang eksis di lembaga pemerintahan masih diperlukan waktu karena semua itu sangat tergantung dari terkikisnya perilaku koruptif dan nepotis. Namun demikian, terdapat sektor yang bisa dipereteli dengan jelas, yaitu sektor pendidikan yang ada di setiap lembaga pemerintah. Urgensi pemeretelannya karena posisinya memang terlihat overlapping dalam anggaran dengan peran yang menempel pada Departemen Pendidikan.

Melihat posting anggaran pendidikan di lembaga-lembaga pemerintah dan ditambahkan anggaran pendidikan untuk 2006 yang sudah disetujui, yakni 9,3 persen dan 10,2 persen untuk anggaran 2007, ada beberapa hal yang dapat kita garisbawahi. Pertama untuk memenuhi bahkan melampaui amanat konstitusi secara langsung, dana tidak bisa lagi dicicil seperti yang telah terjadi selama ini dan menjadi skenario ke depan.

Kedua, harus dibangun efisiensi dalam pembangunan dunia pendidikan, di mana pengelolaan teknis dunia pendidikan yang ada di setiap lembaga pemerintah sudah saatnya diserahkan sepenuhnya pada Departemen Pendidikan (sentralisasi). Pemikiran sentralisasi menjadi krusial sejalan dengan masih eksisnya lembaga-lembaga pendidikan di bawah 'lindungan' lembaga pemerintah yang lain.

Yang perlu kita garis-bawahi soal efisiensi --sebagai hal ketiga yang cukup mendasar--, adalah munculnya harapan pencapaian tingkat distribusi kesempatan menikmati hak pendidikan yang lebih luas. Realisasi ini berandil besar terhadap semangat membebaskan kebodohan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home