| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 01, 2006,11:20 AM

Ideologi dan Madzhab dalam Krisis Timteng

Ahmad Syakirin Asmu'i
Penyiar Radio Kairo Seksi Indonesia

Krisis di Timur Tengah kembali terjadi. Dua pekan sudah adu senjata berkecamuk antara Israel sebagai penjajah di satu pihak, dan para pejuang muqawamah (perlawanan) Hizbullah Lebanon di pihak lain. Situasi serupa juga terjadi antara Israel dan Hamas Palestina. Krisis ini mengunduh reaksi yang beraneka ragam dari berbagai negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Namun yang menarik perhatian penulis adalah reaksi dari negara-negara di Timur Tengah itu sendiri. Kerajaan Arab Saudi adalah yang pertama kali mengeluarkan sikap dengan menyatakan 'harus dibedakan antara perlawanan legal dan petualangan tanpa perhitungan'. Pernyataan ini secara tidak langsung menohok perjuangan yang dilakukan Hamas dan Hizbullah saat ini.

Menyusul sikap Kerajaan Arab Saudi, adalah pernyataan bersama Presiden Mesir Husni Mubarak dan Raja Yordania Abdullah II yang menganggap perbuatan kedua kelompok pejuang itu memberi peluang bagi Israel untuk melakukan hal-hal yang mengganggu kemashlatan bangsa Arab. Sementara sikap yang jelas-jelas mendukung para pejuang itu ditunjukkan oleh Suriah dan dari luar Arab namun masih di lingkungan negar-negara Timur Tengah adalah Iran. Negara ini memang mempunyai jaringan tersendiri dengan Hizbullah.

Di tingkat rakyat, perjuangan Hamas dan Hizbullah mendapat sokongan rakyat Arab tanpa terkecuali baik yang Sunni maupun Syiah. Sering kali penulis mendengar teriakan takbir tatkala pejuang-pejuang Hizbullah berhasil mencatat kemenangan. Teriakan takbir itu misalnya terdengar saat Hizbullah mengumumkan keberhasilannya meluluhlantakkan kapal Israel yang dibekali perlengkapan perang paling canggih. Hal serupa juga terjadi saat Hizbullah berhasil membombardir kota Haifa dengan serangan-serangan rudal yang tidak mampu ditangkis rudal patriot milik Israel.

Seruan takbis dengan tangan dikepalkan menghiasi rakyat Arab yang dengan antusias mengikuti berita penyerangan dari stasiun TV Al Jazirah atau TV Al Arabia di kafe-kafe tradisional Arab. Mereka tak peduli bahwa yang berjuang melawan Israel itu penganut ideologi yang berbeda. Bagi mereka, sudah cukup apa yang dilakukan oleh kelompok pejuang itu dengan menunjukkan sikap jantan dan harga diri mereka sebagai bangsa Arab.

Syiah-Sunni
Ada yang menarik di balik reaksi-reaksi atas krisis yang terjadi saat ini, yaitu kenyataan bahwa sikap resmi pemerintahan negara-negara Arab secara umum justru minor terhadap perlawanan Hamas dan Hizbullah. Negara-negara Arab yang bersikap minor ini kalau ditinjau dari ideologi, mereka adalah negara-negara berplat Sunni. Sedangkan negara-negara yang secara tegas mendukung dan menyokong para pejuang itu ternyata berplatkan Syiah, sebagaimana rezim Al Asad di Suriah yang Syiah namun berpenduduk mayoritas Sunni, dan tentu saja sikap negeri Syiah, Iran.

Dalam tulisan sederhana ini, penulis tidak ingin mengupas jauh krisis Timur Tengah kali ini dengan tinjauan-tinjaun politis, diplomatis, ataupun militer. Yang lebih menggelitik di benak penulis justru sisi ideologisnya. Sejauh krisis dan reaksi negara-negara Timur Tengah yang ada, timbul pertanyaan, adakah peran ideologi madzhab reaksi-reaksi bangsa Arab tersebut terhadap krisis yang ada di Timur Tengah? Benarkah kesamaan sikap di antara kelompok pemerintahan negara-negara pertama (yang minor) dan kelompok kedua (yang mendukung perjuangan) karena ikatan sebuah ideologi yang bernama Sunni dan Syiah?

Pertanyaan ini pada akhirnya akan saya giring kepada sebuah tujuan: sudah tepatkah kita orang Sunni untuk terus mengembangkan budaya mencurigai dan membuntuti Syiah. Sementara terbukti merekalah yang kini survive dengan segala resiko yang ditanggungnya mempertahankan harga diri dan keberanian mereka sebagai bangsa dan penganut agama yang bernama Islam. Pertanyaan tersebut beberapa hari kemudian terjawab dengan keluarnya fatwa lembaga agama di Arab Saudi yang melarang membantu donasi kepada Hizbullah (28/7). Mereka menganggap Hizbullah telah melakukan tindakan-tindakan teroris yang diharamkan. Kental sekali fatwa haram ini keluar dari kelompok yang selama ini menyatakan dirinya sebagai pembela dan benteng bagi kaum Sunni, yakni kelompok yang dikenal dengan nama Wahabi. Sebuah ideologi yang semula menyeru purifikasi akidah namun bersembunyi di balik jubah kekuasaan negara.

Secara politik, kelompok ini tidak jelas konsep politiknya, sehingga sering kali kita melihat Wahabi mengikuti alur politik sang pemilik jubah. Terkadang terlihat amat radikal dan kadang terlihat begitu moderat, seperti fatwa haram mendukung Hizbullah tersebut.

Ide progresif
Ideologi Islam yang lebih progressif dalam krisis terakhir justru di kedepankan oleh kelompok semacam Ikhwanul Muslimin (IM). Tanpa tedeng aling-aling IM mendukung perjuangan Hizbullah Lebanon. Di kantor-kantor sekretariat anggota legislatif Mesir dari kelompok IM ini spanduk-spanduk dukungan terhadap Hizbullah dengan gambar foto Hasan Nasrullah pemimpin Hizbullah terpampang jelas. Poster mereka berdampingan dengan mendiang pemimpin spiritual Hamas, Syekh Ahmad Yasin.

Sikap kelompok islam progressif ini, banyak didukung oleh mayoritas ulama Sunni di dunia Islam. Fatwa Syekh Yusuf Qaradhawi, ulama Mesir yang menjadi Mufti di Qatar, juga fatwa Dr Ali Jum'ah, mufti Mesir menunjukkan dukungan kuat terhadap Hizbullah dan Hamas. Mereka secara tegas menolak fatwa haram yang digulirkan oleh ulama Arab Saudi yang Wahabi. Bagi Islam progressif, tiada penting lagi memandang perbedaan madzhab Sunni-Syiah ketika melihat masalah-masalah umat dalam menghadapi ancaman musuh luar. Semua adalah sama: ummat Islam, yang laksana bangunan yang satu harus saling menyangga satu dengan yang lain.

Menurut hemat penulis, adalah bagian dari mashlahat Islam untuk melupakan perbedaan Sunni-Syiah, dan sudah selayaknya budaya persatuan dikedepankan dalam mengahdapi ancaman musuh dari luar. Yang menyedihkan, fenomena saling curiga ini, ternyata sudah terbawa ke iklim Indonesia yang notabene tak punya cukup banyak catatan sejarah mengenai Syiah.

Untuk Indonesia, seluruh kalangan Islam harus mencari format hubungan yang mensinergikan antara kedua madzhab besar Islam ini. Tidak ada mashlahatnya mengusung permusuhan Sunni-Syiah yang turun-temurun di Timur Tengah ke bumi nusantara.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home