| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, July 27, 2006,12:10 PM

Darimana Datangnya Senjata Israel?

Farid M Ibrahim
Alumnus Orebro University Swedia, mukim di Tokyo

Deru mesin perang Israel di Lebanon dan Palestina kembali membuktikan bangsa dengan anggota 6,2 juta jiwa ini sebagai salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Data World Policy Institute (2006) menunjukkan, 20 persen anggaran militer Israel disediakan oleh Washington setiap tahun, dan sekitar 70 persen di antaranya ternyata kembali ke perusahaan-perusahaan pembuat senjata dan pesawat tempur Amerika Serikat (AS).

Frida Berrigan, peneliti senior World Policy Institute dalam wawancara dengan jaringan media independen Democracy Now yang disiarkan Jumat (21/7) mengungkapkan bantuan militer AS mencapai 3 miliar dolar AS per tahun. Sejak George W Bush berkuasa, penjualan senjata ke Israel meningkat menjadi 6,3 miliar dolar AS per tahun. Ia pun menyayangkan fokus yang diberikan media-media dalam liputan tentang agresi Israel. Kebanyakan media hanya mengkritik bantuan persenjataan Suriah dan Iran kepada Hizbullah tanpa diimbangi dengan pemberitaan mengenai bantuan persenjataan AS ke Israel.

Hubungan unik
Menurut Berrigan, hampir semua senjata Israel dipasok oleh AS seperti pesawat-pesawat F-16, helikopter Apache, dan pelbagai jenis rudal canggih. Dalam kaitan ini, tidak ada hubungan bilateral dimana pun di dunia ini yang seunik hubungan AS-Israel. Uang cash rakyat AS yang diberikan untuk militer Israel setiap tahun, kemudian dibelanjakan kembali ke perusahaan-perusahaan pembuat peralatan militer seperti Lockheed Martin, Boeing, dan Raytheon. Singkatnya, Israel menggunakan uang bantuan rakyat AS untuk kemudian membeli persenjataan di AS, yang kini digunakan untuk menghancurkan infrastruktur di Lebanon dan membunuh rakyat tidak berdosa. Di sinilah signifikansi posisi Washington dalam upaya menghentikan serangan sistematis Israel atas Lebanon, Palestina, dan mungkin negara-negara lain di sekitarnya. AS bisa menghentikan perang itu hari ini juga jika memang ada kemauan politik Gedung Putih. Ini sekaligus membantah asumsi bahwa tidak ada pihak yang bisa menghentikan Israel dalam agresi kali ini, tidak PBB, Uni Eropa, Liga Arab, atau AS.

Sebab, sudah ada preseden di zaman pemerintahan Reagan di tahun 1981. Saat itu, Isreal menjajah Lebanon. Reagan menghentikan bantuan militer dan membekukan penjualan senjata sembari menyelidiki apakah bantuan uang dan senjata-senjata dari AS itu digunakan semata-mata untuk membela diri dan menjaga ketahanan nasional.

Menurut UU Arms Export Control AS, bantuan militer hanya bisa diberikan kepada suatu negara dengan pertimbangan hanya digunakan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk menginvasi negara lain. Bagi Berrigan, kini saatnya rakyat AS mendesak pemerintahnya untuk mengambil kebijakan serupa dalam menghentikan reaksi mesin perang Israel yang berlebih-lebihan atas penculikan dua prajuritnya.

Ditilik dari aspek teknologi militer, roket-roket Hizbullah tidaklah sebanding dengan rudal yang dimiliki Israel. Situasi yang terjadi di Lebanon saat ini dapat digambarkan sebagai perang tidak seimbang antara kecanggihan mesin perang modern dan sepasukan pejuang yang pantang menyerah meski memiliki persenjataan yang jauh lebih sederhana.

Menurut laporan, hingga pekan ketiga perang ini berlangsung, Hizbullah telah menembakkan lebih 1.000 roket ke sasaran-sasaran di utara Israel. Jumlah korban tewas di pihak Israel tercatat kurang dari 50 orang, umumnya tentara. Dengan mudah bisa disimpulkan, senjata-senjata tersebut tidak efektif sama sekali karena dibutuhkan sekitar 20 roket untuk satu korban jiwa. Sebaliknya, puluhan rudal canggih Israel telah memakan korban hampir 400 jiwa di pihak Lebanon, umumnya warga sipil. Belum lagi kalau kerusakan infrastruktur ikut diperhitungkan.

Karena itu Berrigan menuding pabrik senjata Lockheed Martin di Texas, Raytheon di Massachsetts, dan Boeing adalah perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari aksi-aksi yang dilakukan militer Israel. Produk-produk mereka, mulai dari F-16, C-130, rudal Tomahawk, F-18 dan F-14, semuanya merupakan kunci keunggulan Israel atas negara dengan pertahanan lemah seperti Lebanon. Yang unik adalah bahwa Israel tidak perlu sepenuhnya membiayai semua petualangan perangnya, karena uang bantuan dari pajak orang AS yang diperoleh Israel setiap tahun, yang kemudian dibelanjakan ke perusahaan-perusahaan bersangkutan.

Kenyataan politik di Washington menunjukkan, Kongres kelihatannya mendukung aksi militer Israel kali ini. Sikap Gedung Putih, apalagi. Presiden Bush mengulang-ulang frasa klise yang bisa menyesatkan, 'Israel punya hak membela diri'. Frasa ini mengesampingkan latar belakang penculikan tentara Israel, baik yang dilakukan pejuang di Gaza maupun oleh Hizbullah di perbatasan Israel-Lebanon. Jika tidak diberi konteks, kalimat diplomatis Presiden Bush ini seolah-olah benar sebagaimana adanya. Faktanya, jauh panggang dari api.

Hukuman massal
Menurut Noam Chomsky, semuanya bermula di awal tahun ini ketika Hamas meraih kemenangan dalam proses demokrasi di Palestina. AS dan Israel secara serempak memutuskan untuk 'menghukum rakyat Palestina karena pilihannya yang salah'. Hukuman itu meliputi aspek finansial pemerintahan Hamas, menarik pasukan dan pemukim Israel dari wilayah Gaza dan menjadikannya sebagai penjara besar untuk orang Palestina. Israel juga menganeksasi tanah-tanah yang lebih subur dan kaya sumber air seperti Tepi Barat dan Lembah Yordan.

Dalam wawancara dengan Democracy Now yang disiarkan 14 Juli 2006, Chomsky mengungkapkan, pada 24 Juni lalu, seorang dokter Palestina dan saudaranya diculik oleh tentara Israel. Tidak ada yang mengetahui bagaimana nasib mereka selanjutnya. Nama korban tidak diketahui, beritanya pun tidak terdengar sama sekali. Padahal, tindakan militer Israel itu merupakan pelanggaran hukum internasional yang sangat serius.

Berikutnya, seorang tentara Israel, namanya diumumkan ke seluruh dunia, Kopral Gilad Shalit, diculik orang di Gaza. Hamas dituding bertanggung jawab, dan mesin perang Israel pun bergerak kembali ke Gaza.

Dalam analisis Chomsky, ada dua motivasi di balik tindakan Hizbullah menculik dua tentara Israel lainnya di perbatasan Israel-Lebanon. Pertama, secara resmi disebutkan bahwa partai yang gigih melawan pendudukan Israel atas tanah-tanah Lebanon ini ingin melakukan pertukaran tawanan. Kedua, dan ini lebih masuk akal, Hizbullah ingin mengurangi tekanan atas Gaza dengan memaksa Israel berperang di dua front sekaligus.

Menurut penulis, tindakan Hizbullah harus dilihat dari konteks perjuangannya melawan agresi Israel. Masih banyak wilayah di utara Israel yang dalam pandangan Hizbullah, harus dikembalikan ke dalam kedaulatan Lebanon. Sikap Hizbullah seperti ini, mendapat tempat di hati rakyat Lebanon, sebagaimana tergambar dalam hasil pemilu di negara itu.

Sangat jelas fakta yang tergambar dari absennya tentara nasional Lebanon dalam mempertahankan diri dari gempuran Israel. Hizbullah lah kekuatan nyata pertahanan negara itu. Perdana Menteri Lebanon, Fuad Saniora, boleh marah-marah kepada Hizbullah sebagaimana tergambar dalam pelbagai wawancaranya dengan CNN, BBC, dan media lainnya. Tapi mengorbankan seluruh negara demi membiarkan Israel menghukum Hizbullah, adalah tindakan yang tidak mungkin diambil seorang kepala pemerintahan.

Sulit untuk menyimpulkan bahwa Perdana Menteri Saniora sengaja menahan tentaranya tidak membalas serangan Israel sebagai bentuk hukuman atas Hizbullah. Fakta sebenarnya adalah, kemampuan mempertahankan diri apalagi membalas serangan Israel jauh lebih banyak dimiliki oleh Hizbullah daripada tentara nasional Lebanon.

Fakta inilah yang harus disadari semua pihak, terutama kita di Indonesia, agar tidak turut dalam kampanye global mendiskreditkan kelompok yang berjuang melawan penjajahan Israel dengan sebutan teroris. Dalam konteks Hamas dan Hizbullah melawan Israel, kalimat Reuters "one man's terrorist is another man's freedom fighter" tampaknya tidak dapat dipungkiri.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home