| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 31, 2006,11:46 AM

Agresi Israel dan Islam Damai

AM Saefuddin
Cendekiawan Muslim

Kebrutalan Israel terhadap warga Palestina dan Lebanon Selatan kian tak terkendali. Zionis tidak hanya menghajar tentara dan aktivis Hamas dan Hizbullah, tapi juga penduduk sipil, di samping sarana-sarana pelayanan publik. Bahkan, sebagian organ PBB yang menjalankan misi kemanusiaan di Lebanon pun terkena sasaran. Kini, reaksi berbagai belahan dunia seperti Brazil, Filipina, Malaysia mulai muncul, tidak pandang perbedaan agama dan ras. Sebuah renungan, di mana suara para aktivis perdamaian asal Tanah Air kita?

Masih terngiang di ingatan kita, sekitar sebulan lalu ketika Zionis pertama membombardir wilayah Gaza (Palestina). Partai Keadilan Sejahtera menunjukkan sikap empatifnya terhadap nestapa bangsa Palestina. Dengan aksi damai, mereka mendatangi kedutaan besar Amerika Serikat (AS) untuk menyampaikan pesan agar negeri superpower menjalankan peran konstruktifnya (menghentikan brutalisme Israel) demi perdamaian dunia.

Jika kita buka kembali lembaran sejarah Isreal dan perilakunya yang tak pernah hirau terhadap siapapun yang menasihatinya, maka gerakan moral keluarga PKS tak ada artinya. Meski demikian, kita dapat mencatat partai ini telah menjalankan seruan Islam yang mendambakan perdamaian di muka bumi. Sikap politik ini seharusnya terlihat pada para praktisi dari partai-partai politik yang berasas Islam, atau berbasis massa Muslim. Juga, sikap politik yang diekspresikan PKS seharusnya terlihat pada para aktivis Muslim ataupun non-Muslim yang selama ini menggaungkan perdamaian sebagai refleksi mengamalkan konstitusi (UUD 45).

Diam yang aneh
Sampai detik ini, kita saksikan, mereka diam seribu bahasa. Boleh jadi, di antara mereka berpendirian, kebrutalan Israel adalah urusan bilateral dan urusan negeri orang, yang tidak sepatutnya ikut campur. Pendirian seperti ini tentulah naif, karena memperlihatkan sikap ketidakpekaan terhadap nasib sesama umat manusia, sekalipun merupakan anak-bangsa dunia.

Anehnya, ketika kekerasan dilakukan oleh Muslim --meski dalam kualitas sangat terbatas dan landasannya sangat asasi (mempertahankan hak)-- para aktivis yang diam seribu bahasa itu justru cukup vokal dalam mengkritiknya. Perbedaan sikap ini mengundang tanya: ada konspirasi apa dengan zionis, setidaknya, dengan sekutunya seperti AS?

Sekali lagi, jika para aktivis perdamaian itu committed dengan prinsipnya, mereka akan jauh lebih terpanggil untuk bersuara lantang. Sekalipun reaksi politiknya tetap santun (bukan anarkis), tapi terdapat gerakan yang konkret yang mengecam kebiadaban Israel. Juga, mengecam para pendukungnya, terutama AS yang --penggunaan hak vetonya-- kian membrutalkan aksi militer zionis.

Dapat dipahami ketidakmauan para aktivis perdamaian itu dalam memanfaatkan akses dan pengaruh. Setidaknya, terdapat dua variabel yang dapat kita garis-bawahi. Pertama, mereka dihadapkan situasi dilematis, karena AS khususnya cukup disiplin dalam menjalan politik stick and carrot. Jika mereka menjalankan misi perdamaian dan sikap politik ini secara langsung ataupun tak langsung berlawanan dengan kepentingan AS, maka para aktivis perdamaian ini akan mendapat hukuman tertentu dari negeri Paman Sam. Sebaliknya, jika tetap sejalan dengan kebijakan politik AS, hal ini akan membuat mereka tetap mendapat carrot (wortel): hadiah atau fasilitas yang tetap mengalir.

Hipokrit
Karena memahami format politik luar negeri AS itu, maka politik diam itulah yang dijadikan garis politiknya, meski hipokret terhadap prinsipnya sendiri (membiarkan kondisi kekacauan dan ketidakmanusiaan). Ironis memang sikap pragmatis itu. Tapi --sebagai variabel kedua- itulah sebuah ideologi yang mereka kembangkan. Ketika berhadapan dengan situasi di mana nilai perdamaian harus diusung dan kiprahnya akan menguntungkannya, maka di sanalah ia atau mereka akan bergerak intensif.

Slogan yang dipakai tak jauh dari 'Islam ramah', yang mengedepankan perdamaian dan mengutuk keras anarkisme. Inilah yang mereka gencarkan ketika menghadapi isu terorisme internasional atau anarkhisme lokal. Tapi, jika suara lantangnya praktis akan menabrak kepentingan zionis dan antek-anteknya, mereka tak akan pernah mengumandangkan prinsip Islam yang ramah itu.

Hipokrasi para aktivis perdamaian kita kian mencolok. Yang menjadi persoalan serius, mengapa masih terdapat umat yang mempercayai celoteh atau propagandanya, dalam hal apapun. Kita dapat memahami landasanya. Proporsinya lebih merupakan kultural dan terjauh dari sikap rasional. Proporsi ini dieksploitir sedemikian rupa.

Itulah 'wali' yang tak akan pernah salah. Hanya karena keterbatasan umat, maka tak bisa nyambung dalam menangkap substansi yang dilakukan sang 'wali' itu. Karena itu, publik yang sudah tersihir lama ini tak akan pernah bertanya lebih jauh atau mengkritik mengapa sang 'wali' diam dalam menyikapi barbarisme Israel. Juga, tak meminta pertanggungjawaban moral kepada sang 'wali' atas sikapnya yang masa bodoh terhadap sikap politik Paman Sam yang tetap mendukung agresi zionis.

Realitas kultur itu memang tidaklah mudah diubah. Namun, seluruh umat yang masih sehat haruslah mensyukuri karunia kesehatannya. Refleksinya, tidak boleh larut pada ketidakrasionalan kelompok yang 'dewaistis' itu. Sebagai umat yang sehat, haruslah tetap istiqamah dalam menyikapi fenomena ketidakdilan, di manapun. Konsistensi ini perlu dikembangkan lebih jauh dan menularkannya kepada para praktisi politik atau lainnya yang sering menggaungkan perdamaian selama ini. Juga, perlu dihembuskan kepada praktisi politik yang berasas Islam atau berbasis Muslim.

Ajakan atau imbauannya bisa langsung atau tidak. Di tengah ajakan atau himbauan, publik akan melihat antusiasme atau sebaliknya (keengganan). Bagi para penyeru, responsi enggan harus dilihat dengan wajar sebagai faktor ketidaksadaran tentang empati kemanusiaan. Meski demikian, sikap keengganan ini pun perlu diikuti publik. Publik itulah yang akan menentukan sikap politiknya.

Yang tidak peduli terhadap masalah kemanusiaan memang tak layak mendapat amanah, pada pos legislatif atau pemerintahan. Inilah sikap politik yang harus ditancapkan dalam sanubari masing-masing pemilih. Sikap politik yang tak ubahnya merupakan sanksi ini perlu disuarakan kepada para aktivis politik yang masa bodoh itu. Harapan kita, gerakan penyadaran bersama itu mampu menggugah nurani para elite.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home