| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 03, 2006,3:34 PM

Polisi Ideal Masa Depan

Bambang Abimanyu
Pengamat Kamtibmas

Seringnya terjadi tindakan kriminal di berbagai wilayah yang cenderung meningkat belakangan ini, menunjukkan bahwa realitas sosial yang tengah berkembang di masyarakat harus diwaspadai. Terlebih, kini masyarakat kian mengeluhkan minimnya ruang gerak yang aman untuk beraktivitas di berbagai bidang kehidupan.

Terlepas dari faktor penyebab munculnya, seperti diskrepansi kesejahteraan sosial, realitas tindakan kriminalitas tersebut telah berkembang menjadi faktor destabilitas sosial masyarakat. Kondisi ini bukan hanya mengakibatkan dampak psikososial bagi masyarakat, melainkan juga menjadi ancaman bagi harmonisasi kehidupan bersama.

Pada gilirannya, masyarakat dengan gampang mengklaim kondisi ini merupakan cerminan ketidakberdayaan institusi penjamin keamanan dan ketenangan masyarakat: Polisi. Kewibawaan aparat penegak hukum terdepan di masyarakat ini pun dinilai kian tanpa arti. Di sisi lain, jika dicermati lebih jauh, hal ini juga menandakan kian rapuhnya pertahanan komunitas dari serangan kejahatan yang disebabkan oleh minimnya upaya memproteksi diri melalui agenda aksi keamanan sipil. Bahkan, hal ini juga ditengarai menunjukkan gejala disfungsi public security: Masyarakat cenderung tak acuh dan tidak lagi solid bekerja sama membangun pertahanan secara kolektif.

Harapan masyarakat
Selama ini, berkembang kesan negatif masyarakat terhadap polisi. Berhubungan dengan polisi selalu diasosiasikan dengan 'pemerasan'. Polisi tidak hanya dianggap sebagai 'momok', tetapi juga lekat dengan praktik represif dan militeristik. Sedangkan bagi polisi, masyarakat khususnya yang kritis dianggap sebagai biang kerok destabilitas sosial.

Mengadopsi analisa sejumlah ahli, hal ini akibat dari adanya doktrin yang salah. Doktrin polisi di Indonesia agak berbeda dengan di Jepang. Polisi Jepang sejak awal didoktrin untuk melakukan tugas secara tulus dan sukarela. Sementara di Indonesia, kebanyakan karena dorongan pekerjaan. Belum lagi persoalan kesejahteraan polisi Indonesia yang dinilai masih tidak sepadan dengan tanggung jawabnya.

Meski demikian, pembaruan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ditandai dengan pemisahan diri dari ABRI (TNI) sejak 1 April 1999, menegaskan pembedaan yang jelas antara fungsi pertahanan dan kemamanan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Perubahan kebijakan ini mengandung konsekuensi signifikan di tubuh Polri dalam rangka menuju institusi sipil (public servant).

Polisi sipil menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, pada dasarnya polisi dibentuk dan diisi oleh warga masyarakat yang sama. Hal itulah yang mendasari adanya hubungan bersifat korelatif yang sangat erat antara polisi dan masyarakat. Semestinya mereka dapat saling membantu, mendukung, dan membutuhkan.

Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada polisi hanya untuk melindungi, mengamankan, dan mengayomi masyarakat. Pada saat yang sama, polisi juga dituntut menindak para pelanggar norma dan hukum yang berlaku. Dengan demikian, hubungan kemitraan antara masyarakat dan polisi berdampak positif dalam kerangka demokrasi guna menjawab harapan masyarakat terhadap Polri.

Pemolisian masyarakat
Memasuki usianya yang ke-60 pada 1 Juli 2006 ini, tantangan yang dihadapi Polri memang bukan semakin ringan. Berbagai tindak kriminal tersebut di atas, hanyalah merupakan salah satu dari sekian banyak pekerjaan rumah yang mesti diantisipasi dan diselesaikan Polri dengan serius. Belum lagi masalah persepsi negatif masyarakat terhadap polisi yang juga telanjur melekat dan tidak mudah dihapuskan.

Akibatnya, tak mengherankan jika selama ini kedua belah pihak senantiasa saling menebar rasa kekecewaan dan enggan mempercayai satu sama lain. Yang terjadi kemudian adalah terbangunnya sebuah bentuk komunikasi penuh kepura-puraan. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi. Demikian juga sebaliknya, polisi menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadannya.

Karena itu, konsep sosiologis ideal program pemolisian masyarakat (community policing, CP) --yang sebelum terjadi Bom Bali II dijadikan andalan oleh Kapolri guna menjalankan tugas menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri-- agaknya merupakan alternatif utama yang selayaknya terus digalakkan.

Meski bukan satu-satunya model yang bisa dipakai untuk membangun wajah Polri --seperti perubahan kurikulum, peningkatan kemampuan, dan lain-lain yang juga merupakan agenda besar-- CP merupakan model kerja polisi terbukti mampu mencairkan kekakuan hubungan antara polisi dan publik. Model ini juga mampu menyinergikan upaya kerja sama membangun sistem, mekanisme, strategi, hingga komunikasi dua arah yang hidup dalam mewujudkan keamanan lingkungan dan ketertiban sipil. CP juga merupakan wahana mengeksplorasi aspirasi, inisiatif, dukungan, kemitraan antara polisi dan masyarakat, guna mencegah tindak kejahatan sosial.

Lebih detil, dalam konsep CP, polisi bersama masyarakat berpartisipasi aktif mengamankan lingkungan serta menjaga ketertiban sipil. Masyarakat bukan lagi sebagai objek yang harus dilindungi oleh polisi, melainkan terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program penanggulangan kejahatan.

Pendek kata, melalui model CP, yang dikedepankan adalah perubahan paradigma model polisi. Yaitu, perubahan dari masyarakat sebagai objek, menjadi masyarakat sebagai mitra. Dari model sentralistis menjadi desentralistis. Dari polisi yang paling tahu, mampu, dan menentukan, menjadi model polisi yang bersedia duduk satu meja dengan masyarakat untuk sharing, mendengarkan, dan memberikan masukan.

Bahkan, mereka tak lagi merasa segan melibatkan diri dan berbaur dengan berbagai kalangan masyarakat. Mereka menjadi polisi yang bijak dalam melindungi, mengamankan, dan mengayomi yang jauh dari keangkuhan dan tidak menggunakan cara kasar. Mereka juga mampu menanggapi berbagai keluhan masyarakat, sekecil apapun, tanpa penilaian negatif, tetapi penuh penghargaan. Pimpinan dan seluruh jajaran di kepolisian sektor bukan lagi sebagai petugas negara, melainkan sesama warga yang mempunyai kepedulian bersama untuk penanganan keamanan.

Salah satu contoh urusan kecil yang tak segan-segan dilakukan, misalnya, ketika seorang polisi bersedia mengantar seorang ibu yang pulang kemalaman. Demikian juga sebaliknya, masyarakat bersedia membantu pengamanan yang seharusnya dilakukan oleh polisi, tidak serta-merta menyerahkan urusan itu kepadanya. Sebab, tak jarang kepercayaan mengemuka memang bermula dari hal-hal yang kecil dan sederhana.

Masyarakat juga kian kooperatif dalam membantu tugas polisi, seperti bersedia menjadi saksi atas tindakan kejahatan atau memberikan laporan ketika menjadi korban. Para personel polisi pun mesti senantiasa berupaya membersihkan diri dari berbagai tindakan yang akan merusak citranya. Yaitu polisi yang mampu menunjukkan kerja nyata dan bukan hanya janji. Tentu, secara perlahan bangunan kepercayaan di antara keduanya akan berdiri kokoh.

Dalam uji coba penerapan model CP di beberapa wilayah yang tergolong rawan gangguan krimilitas, terbukti bagaimana gangguan keamanan mulai menurun dan masyarakat kian aktif berhubungan dengan polisi, tanpa curiga. Singkat kata, kendala psikologis dan tersumbatnya komunikasi antara masyarakat dan polisi dapat diluruhkan.

Jika kemajuan yang bersifat kualitatif dalam bentuk makin eratnya hubungan antara masyarakat dengan polisi ini dapat digapai, agaknya minimnya ruang gerak yang aman untuk beraktivitas masyarakat tak bakal dikeluhkan lagi. Dirgahayu Bhayangkara!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home