| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 17, 2006,10:10 AM

Mari Belajar Berani Bermimpi

Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin

Dulu, Soekarno membangun negeri ini dengan mengajak rakyat bermimpi menjadi salah satu bangsa yang disegani dunia. Soeharto pun memimpikan Indonesia menjadi bangsa makmur.

Membaca sinyal atau tanda-tanda zaman itu penting. Jika salah memahami, bisa keblinger. Gunung mau meletus atau bakal ada tsunami, juga memberi sinyal tersendiri. Saat itu, konon, hewan akan berlarian seperti kesetanan menjauhi marabahaya menuju tempat aman, mengikuti naluri kebinatangan.

Tanda-tanda zaman edan juga telah diramalkan Jayabaya. Siapa yang tidak ngedan tak akan kebagian. Disebutkan antara lain: orang kecil selalu disalahkan kendati tidak bersalah; Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri; Banyak orang lupa pada asal usul; Orang jahat malah dinaikkan pangkat.

Sinyalemen menyebutkan, orang kita paling jago menjaga gengsi. Tampilan yang penting harus oke, yang lain urusan nanti. Rumah kecil dan sumpek, tapi memiliki layar kaca yang setipe TV-nya sak gede gajah. Ketidaknyamanan mata yang pedih akibat menonton terlalu dekat, dipatahkan oleh ke-’wah’-an diri memiliki layar kaca yang setipe orang gedongan.

Padahal dulu --ketika bangsa ini belum seingar bingar sekarang- banyak cara baik yang diajarkan. Orangtua selalu punya banyak waktu untuk mengajarkan cara yang baik kepada anak-anaknya. "Kalau minum harus duduk, bertemu orang tua harus menghormat dan cium tangan, kalau makan jangan sambil bicara, berbicara rendahkan nada suaranya, jika orang lain berbicara harus didengarkan dengan penuh perhatian."

Ajaran tentang cara baik itu terus diulang-ulang hingga terpatri dalam otak. Terkadang cara baik itu melebur menjadi bagian dari tradisi kita. Suatu hal yang disyukuri kalau itu terjadi pada diri kita. Sayangnya, kini banyak orangtua tak lagi punya banyak waktu. Selain itu, kehidupan semakin rumit. Kini, yang harus diperbuat seseorang kini bukan hanya makan minum, atau bertemu dan berbincang dengan yang lain.

Yang juga harus diperbuat orang adalah meniti karir. Bahkan juga merebut kekuasaan, menumpuk harta, membangun popularitas, berpolitik dan lain-lain. Kegiatan itu tak diketahui orang tua dulu. Maka, mereka pun tak menyusunkan cara baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Kita pun lalu berpolitik dengan menghalalkan cara. Kita main sikut untuk merebut kekuasaan. Kita gunakan segala siasat untuk meniti karir. Kita tak ragu mengemplang untuk menumpuk harta.

Hasilnya Indonesia sekarang: tempat politisi tak tahu cara baik berpolitik; tempat pengusaha tak tahu cara baik berusaha: tempat penguasa tak tahu cara baik untuk menjalankan kekuasaannya.

Andai politisi tahu dan melaksanakan cara baik berpolitik; jika pengusaha paham dan mempraktikkan cara baik berusaha; bila penguasa meresapi makna dan menjalankan cara baik dalam memegang kekuasaan, insyaallah Indonesia tidak akan terjerembab oleh krisis ekonomi berkepanjangan. Tak terjerat oleh utang yang begitu mencekik, serta tak digerogoti oleh virus moralitas seperti sekarang.

Jadi tidak usah heran, walau telah delapan tahun usia reformasi, negeri ini masih babak belur. Korupsi tengah digebrak, walau penyidiknya masih tumpang tindih. Selain itu, ‘PR’ pemerintah masih menumpuk akibat Tsunami Aceh dan Nias, Banjir Jember, Gempa Jogja, Banjir Sinjai, balita kurang gizi di NTB, 37 juta jiwa (17,5 persen) orang miskin dan terbanyak di Jawa.

Belum lagi beban utang luar negeri. Totalnya 190 miliar dolar AS. Walhasil, makin kita pelototi angka itu, terasa lebih nyut-nyutan. Harap dipahami, membayar utang berarti merampas masa depan anak cucu bangsa.

Celakanya pula, kesadaran sebagian penyelenggara negara untuk menyelamatkan republik ini justru tipis. Mereka lebih doyan me-mark up proyek. Padahal, dampak kurang gizi yang menakutkan ini adalah gagal tumbuh (fisik) dan terganggunya otak anak. Fase perkembangan janin malah lebih menentukan lagi. Data Badan Pusat Statistik menemukan, sebanyak 50 - 60 persen ibu hamil terutama kaum miskin terkena anemia (kekurangan sel darah merah). Air susu ibu yang anemia, bisa berakibat otak bayi kosong alias bebal. Tak percaya? Hasil foto CT scan kepala bisa dipakai acuan.

Lebih dari itu, ternyata telinga janin adalah organ pengindra pertama yang berkembang. Di rahim, janin disebut-sebut mampu nguping sepanjang waktu. Suara yang menjalar melalui kulit, otot dan cairan ditubuh ibu ditangkap oleh telinga janin.

Kesimpulannya sederhana: jika otak kosong dan kuping tak berfungsi sempurna maka kemampuan untuk nguping bisa bias. Apalagi di negeri ini, banyak hal tidak jelas. Fakta, isu, kasak-kusuk, lelucon, sering campur aduk hingga mudah dipelintir ke kiri maupun kekanan oleh narasumber dan sulit dipilah. Ketidakmampuan memilah -- khususnya yang punya mulut asal omong-- bisa menjebloskan Anda ke bui, disomasi, digugat miliaran rupiah atau dihajar popor aparat.

Akhirnya senjata pamungkasnya lebih pas begini: "Maaf, otak kami kosong akibat kurang gizi di masa lalu." Selanjutnya dapat ditebak, kelak generasi penerus kita adalah generasi bermasalah. Amit-amit!

Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila kita mulai percaya pada kekuatan mimpi. Saya seorang yang sangat percaya pada kekuatan mimpi. Maksud saya, bukan mimpi tak berdasar. Namun mimpi yang menurut istilah Alquran adalah azam. Menurut pakar manajemen lain adalah visi dan pendidik terdahulu menyebutnya sebagai ‘cita-cita setinggi langit’.

Coba tengok, negara tetangga Korea Selatan --mereka dapat bangkit menjadi negara maju juga bermodalkan mimpi. Bangsa itu bermimpi dapat bersaing dengan mantan penjajahnya, Jepang. Hyundai dibangun dengan semangat mengimbangi atau malah menaklukkan Mitsubishi.

Mungkin Anda masih ingat nama Park Chung Hee? Ia yang membalik Korea Selatan dari negara ‘kelas tiga’ seperti kita menjadi negara ‘kelas satu’ dunia. Hanya dalam 10 tahun, ia berhasil melahirkan Hyundai, Samsung dan banyak lagi lainnya lewat industrialisasi serta mengahiri kemiskinan perdesaan melalui program Saemaul Undong nya.

Dulu, Soekarno membangun negeri ini dengan mengajak rakyat bermimpi menjadi salah satu bangsa yang disegani dunia. Soeharto pun memimpikan Indonesia menjadi bangsa makmur. Maka, mari belajar berani bermimpi. Berani berazam, berani bervisi , berani bercita-cita setinggi langit karena akan lebih mudah keluar dari kesulitan. Lebih mudah pula menggapai sukses. Tak ada sukses tanpa mimpi, begitu kata orang bijak.

Jadi, sudah saatnya keluarga perlu membangun mimpi keluarga. Institusi perlu membangun mimpi bersama sebagai institusi. Bangsa pun mutlak punya mimpi bersama sebagai bangsa. Selebihnya, tendanglah keras mimpi itu sebagaimana Him Damsyik ‘Datuk Maringgih’ (dalam iklan obat kuat) menendang bola sekerasnya. Dan ..., Gooolll!!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home