| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, July 16, 2006,9:06 AM

Dari Metropolitan Menuju Megapolitan

Khairul Mahadi
Mahasiswa Program Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik FISIP UI

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah penduduk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) pada tahun 2005 mencapai 23.249.114 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebesar ini, sesuai definisi Lang dan Dhavale, pakar perkotaan dari Metropolitan Institute, Virginia Tech, AS, Jabodetabekjur dapat dikategorikan sebagai kawasan megapolitan.

Pada 2006, Institut ini telah mengidentifikasi 10 kawasan megapolitan di AS, dengan populasi total 208,8 juta. Di Eropa pun megapolitan bahkan dapat terbentuk menembus batasan negara seperti Global Integration Zone (GIZ) yang menghubungkan London, Hamburg, Munich, Milan, dan Paris. Tujuannya untuk mensikronkan rencana transportasi kereta api cepat antarnegara yang tentu dapat berlanjut ke bidang pelayanan lainnya.

Penelitian di AS menunjukkan bahwa koordinasi antarkawasan di dalam megapolitan memberi manfaat dan keuntungan bagi pengembangan perencanaan transportasi, lingkungan, dan ekonomi regional. Contoh paling gamblang adalah terbentuknya Uni Eropa yang dengan segera mengangkat perekonomian negara-negara anggota seperti Irlandia, Spanyol, Portugal, dan Yunani.

Di Indonesia, masalah bagi pembentukan megapolitan adalah adanya kekhawatiran daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur akan kehilangan kewenangan mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Ini tak beralasan. Sebab kerja sama megapolitan bertujuan mensinergikan penanganan berbagai aspek pembangunan kota dan wilayah. Seperti kerja sama pembangunan tata ruang dan lingkungan, pengendalian pertambahan penduduk, sarana prasarana pelayanan publik, dan pengelolaan sarana dan prasarana transportasi makro. Kerjasama tidak bertujuan mencaplok daerah penyangga ke dalam wilayah DKI Jakarta.

Konsep awal
Konsep megapolitan pertama sekali disampaikan oleh Jean Gottman, geographer berkebangsaan Perancis lewat buku Megalopolis (1961). Buku ini mengeksplorasi konsep kota besar yang disebutnya sebagai megalopolis. Kata ini kemudian berubah menjadi megapolitan. Gottman mencontohkan koridor dari Boston sampai Washington sebagai area superregional yang berkarakter sama dan disatukan jalur transportasi dan komunikasi. Koridor ini berkembang menjadi sebuah megapolitan.

Robert E Lang dari Virginia Tech yang banyak meriset bidang ini, menentukan beberapa kriteria terbentuknya kawasan megapolitan. Yaitu terdiri dari dua atau lebih area metropolitan yang dihubungkan secara spasial dan fungsional, serta memiliki arus barang dan jasa. Faktor penentu lainnya adalah adanya jalan raya utama, kepadatan, serta hubungan perekonomian kawasan, kesamaan kultural, dan pola migrasi penduduk.

Penyatuan kawasan metropolitan dan daerah penyangga (mikropolitan) sangat menentukan daya saing kawasan tersebut pada era globalisasi. Sebab kota besar dan kecil, daerah penyangga dan mikropolitan, membutuhkan interaksi kohesif dan kerja sama untuk meningkatkan daya saing global kawasan. Perkembangan metropolitan Jakarta dan daerah penyangga secara alamiah akan membentuk sebuah kawasan megapolitan. Hubungan kota inti dan daerah penyangga semakin kuat dengan lahirnya kawasan pemukiman di sekeliling Jakarta seperti Bintaro Jaya, Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Lippo Cikarang, Bukit Sentul, Kota Wisata Cibubur, Kota Legenda, dan sebagainya, memunculkan kota-kota satelit.

Tanpa batas
Kenichi Ohmae dalam bukunya, The Next Global Stage (2005), mengatakan ekonomi global telah menghidupkan kawasan-kawasan regional baru di dunia yang semakin kuat peranannya dalam perekonomian dunia. Beberapa negara diuntungkan oleh ukurannya yang kecil, sehingga dapat berperan sebagai negara regional atau region states. Contohnya Irlandia, Finlandia, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Singapura.

Kawasan regional bukanlah sebuah tataran politik melainkan unit ekonomi. Tapi ada kawasan regional yang unit ekonomi dan politiknya berimpitan, contohnya Singapura. Menurut Ohmae, kawasan regional memainkan peranan penting dalam perekonomian dunia karena ukurannya yang tidak terlalu besar (sizable economic players).

Cina memiliki enam region states yang dikembangkan menjadi kawasan khusus ekonomi (special economic zones) yaitu Zhongguancun, Shandong, Delta Zhu Jiang, Liaoning, Delta Chang Jiang, dan Xiamen/Fuzhou. Kawasan ini dapat dikatakan sebagai megapolitan menurut definisi Robert E Lang. Walaupun resminya Cina adalah negara komunis yang sangat sentralistis, tapi Beijing memberikan otonomi seluas-luasnya kepada megapolitan ini untuk berkembang dan berkerja sama.

Dalam 10 tahun, megapolitan ini berkembang secara mengejutkan meninggalkan daerah lainnya. Pendapatan per kapita penduduk di Dalian, Zhejiang, Beijing, dan Shanghai telah mencapai 5.000 dolar AS per tahun. Sedangkan daerah lainnya hanya mencapai 1.000-2.000 dolar AS.

Banyak pekerja di megapolitan ini berasal dari daerah minus di sekitarnya. Penghasilan mereka sebagian besar dikirim kembali ke daerah asalnya, menghidupkan perekonomian daerah asal mereka. Secara tidak langsung, kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, dan antara megapolitan dan daerah lainnya dapat diperkecil.

Sementara itu, selain GIZ di Eropa, fenomena serupa juga ditemukan di AS, di kawasan megapolitan pantai barat yang meliputi megapolitan Southland di California Selatan, NorCal di California Utara dan Cascadia yang menembus batas negara Amerika-Canada pada koridor Portland, Seattle di Amerika sampai Vancouver di Canada.

Di Eropa, isu-isu menyangkut perencanaan Polycentric Metropolitan-Megapolitan-GIZ ini dikoordinasikan dalam wadah kerja sama antarnegara yang dinamakan the European Spatial Planning Observation Network (ESPON). Untuk Jabodetabekjur, fungsi kelembagaan seperti ini sangat penting, karena kompleksnya fungsi kawasan megapolitan. Baik sebagai ibu kota, pusat bisnis dan perekonomian, serta tujuan urbanisasi.

Pengelolaan megapolitan Jabodetabekjur tidak sederhana. Koordinasi perencanaan dan pengelolaan kawasan yang meliputi luas wilayah 8.746,97 km2, dengan jumlah penduduk sebanyak 23.249.114 juta jiwa, dan meliputi sembilan pemda (provinsi, kabupaten, dan kota) bukanlah pekerjaan gampang. Berbagai opsi sudah dilontarkan. Tapi untuk mendapatkan hasil pemikiran yang kreatif dan inovatif perlu pendekatan lebih berani, strategis, thinking out of the box, berpikir di luar pakem, dan berani keluar dari kungkungan birokrasi.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home