| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, July 16, 2006,9:09 AM

Gaza Mirip Penjara Besar

Budi Suwarna

Hari itu, Kamis (6/7), seharusnya menjadi hari bahagia bagi keluarga Mohammed Hader Rajib yang sedang merayakan pernikahan anak laki-lakinya, Iman (17). Namun, kebahagiaan itu terampas secara tiba-tiba ketika tank-tank pasukan Israel menyerbu kota tempat tinggal Rajib di Beit Lahiya, di utara Jalur Gaza.

Tawa ceria berubah menjadi ketakutan. Tentara Israel segera mengambil alih rumahnya dan menjadikannya sebagai tempat berlindung dari serangan balasan pejuang Palestina. Rajib dan keluarganya dimasukkan ke sebuah ruang sempit di rumahnya dan dikunci. Selama dua hari, Keluarga Rajib tinggal berimpitan di dalam ruang itu.

"Selama dua hari kami bahkan tidak mandi. Sementara itu, para tentara tinggal di dalam rumah kami dan mengambil segala yang ada. Siapa yang sebenarnya teroris," kata Rajib seperti dikutip AFP, Minggu (9/7).

Istri Rajib, Latifa, kepada AFP menambahkan, anak-anak menangis, tetapi tentara tidak peduli. Mereka takut karena suasana ruang yang gelap dan ancaman moncong senapan tentara Israel.

Pengalaman serupa dirasakan Ali Khatar (71) dan keluarga, seperti ditulis BBC. Ketika pasukan Israel menyerbu Beit Lahiya, Khatar dan keluarga memilih bersembunyi di sebuah ruangan rumahnya. Mereka tiarap di lantai untuk menghindari peluru nyasar yang menembus celah- celah dinding rumahnya.

"Kami seperti tahanan. Anak-anak hidup di tengah ketakutan," kata Khatar, seperti dikutip BBC.

Khatar baru bisa keluar dari persembunyiannya dua hari kemudian, Sabtu, 8 Juli, setelah tentara Israel pergi. Saat itu, dia hanya bisa menatap sedih dapurnya yang hancur berantakan dan mesin minibusnya yang berkeping-keping dilindas tank Israel.

Penderitaan berlanjut

Pengalaman Khatar dan Rajib hanyalah sepenggal kisah sedih yang muncul akibat operasi militer besar-besaran tentara Israel sejak akhir Juni lalu untuk membebaskan seorang tentaranya. Keluarga lainnya, bahkan, kehilangan anggotanya.

Penderitaan warga Gaza dipastikan akan terus berlanjut setelah Israel menghancurkan pembangkit listrik satu-satunya di Jalur Gaza pada 28 Juni lalu. Saat ini, sekitar 700.000 warga Gaza terpaksa hidup tanpa listrik. Perusahaan pendistribusi listrik Gaza mengatakan, untuk memperbaiki pembangkit listrik itu dibutuhkan waktu sembilan bulan dan dana sebesar 15 juta dollar AS.

Tentara Israel juga merusak pipa air di Gaza. Akibatnya, sekitar 155.000 warga Palestina di Nuseirat, Bureij, Maghazi, dan Suweida terancam kekurangan air. Selain itu, Israel menutup sejumlah titik penyeberangan yang merupakan pintu keluar- masuk pasokan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan ke Gaza.

Kelangkaan bahan bakar di Gaza pada akhirnya akan merembet ke ketersediaan listrik, air, dan pelayanan rumah sakit. Tanpa pasokan 15.000 liter bahan bakar per hari, generator untuk memompa air ke rumah-rumah warga praktis terhenti. Tanpa bahan bakar, mesin penggiling gandum tidak bisa bekerja. Itu artinya, tidak lama lagi roti yang merupakan makanan utama warga Gaza akan menghilang.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporannya 30 Juni lalu mengkhawatirkan terjadinya krisis kemanusiaan di Gaza akibat "hukuman kolektif" Israel terhadap Palestina. Jan Egeland, Koordinator Bantuan Darurat PBB, dalam laporan PBB mengatakan, "Kami sangat khawatir dengan situasi di Jalur Gaza, khususnya berkaitan dengan minimnya listrik dan air, dampak pembuangan kotoran ke sumber air, dan akses kemanusiaan. Warga sipil terperangkap di tengah-tengah lingkaran setan aksi dan reaksi (Israel dan Palestina). Ini adalah contoh betapa harga yang mereka bayar tidak seimbang."

"Penjara Gaza"

Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya krisis kemanusiaan telah terjadi sejak lama di Gaza dan—dalam skala lebih luas—seluruh Palestina. Sejak Januari lalu, misalnya, Israel dan sekutunya mengisolasi Palestina menyusul kemenangan Hamas dalam pemilu. Akibat isolasi tersebut, Palestina mengalami kebangkrutan.

Penderitaan warga Palestina selama 56 tahun di bawah penjajahan Israel adalah tragedi yang lebih besar lagi. Akibat penjajahan Israel, jutaan warga Palestina dipaksa pindah dari wilayah yang sekarang diduduki Israel. Sekitar 3,3 juta jiwa memilih tetap tinggal di Palestina. Sebagian besar lainnya, yakni sekitar lima juta jiwa, terpaksa tinggal di luar negeri.

Penduduk Gaza yang berjumlah 1,4 juta jiwa sebagian besar adalah warga Palestina yang melarikan diri pada tahun 1948. Menurut catatan PBB, dari jumlah itu, sekitar 471.564 orang masih tinggal di kamp-kamp pengungsian di Jabaliya, Rafah, Shati, Nuseirat, Khan Younis, Bureij, Maghazi, dan Deir el-Balah. Ini adalah salah satu populasi pengungsi terbesar di dunia saat ini. Mereka hidup dalam kemiskinan.

Gaza yang dibatasi Israel di utara dan timur dan Mesir di selatan diduduki Israel sejak Perang Arab 1967. Sebelumnya, tanah sempit seluas 40 km x 10 km ini diduduki Mesir selama 19 tahun.

Sebagai penjajah, Israel mengontrol ketat hampir seluruh kehidupan warga Gaza. Israel amat membatasi warga Gaza untuk bepergian ke Tepi Barat. Israel juga menguasai perbatasan Gaza dengan Mesir yang dikenal dengan Rute Philadelphi, penyeberangan Kerem Shalom di selatan, Sufa di tenggara, dan Karni di timur. Titik-titik perbatasan ini merupakan jalur keluar masuk barang dari Mesir dan Israel. Namun, Israel kerap menutup perbatasan ini dengan alasan keamanan sehingga menimbulkan kelangkaan barang di Palestina.

Satu-satunya kontak Gaza dengan dunia luar hanya melalui penyeberangan Rafah di selatan yang berbatasan dengan Mesir. Penyeberangan ini boleh digunakan untuk ekspor barang dan lalu lintas manusia, namun Israel melarang impor barang.

Pada tahun 1990, warga Palestina diperbolehkan membuka bandar udara di dekat Kerem Shalom. Namun, bandara itu ditutup Israel tahun 2000 hingga sekarang setelah meletus gerakan intifada. Praktis warga Gaza terisolasi dari dunia luar. Tidak hanya itu, mereka hidup di bawah ancaman laras senjata tentara pendudukan Israel yang bertugas di pos-pos penjagaan.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Nafe Mehdawi menggambarkan Gaza sebagai "penjara besar" bagi rakyat Palestina. "Kami terkungkung dan tidak bisa ke mana-mana. Semua dikuasai Israel," katanya pekan lalu di Jakarta.

Perlawanan

Meski Gaza dikurung Israel, Gaza tetap menjadi basis perlawanan pejuang Palestina, terutama Hamas. Kelompok lain, seperti Brigade Martir Al-Aqsa yang berafiliasi ke Partai Fatah, Jihad Islam, dan Komite Perlawanan Rakyat Popular, juga mengakar kuat di tempat ini.

Kelompok-kelompok inilah yang selama ini mengobarkan perlawanan terhadap Israel. Mereka hanya memiliki roket rakitan yang jarak luncurnya hanya beberapa kilometer saja. Namun, sejak Israel menarik diri dari sebagian Gaza, mereka dapat lebih mendekat ke perbatasan dan menembakkan roket ke kota-kota terdekat di wilayah Israel, seperti Sderot di timur laut Gaza.

Serangan kelompok ini pada 25 Juni lalu dibalas dengan operasi militer besar-besaran tentara Israel yang bersenjatakan senapan otomatis, tank, dan pesawat tempur selama dua pekan terakhir. Akibat serangan tersebut, setidaknya 51 warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan, tewas. Komunitas internasional mengecam serangan ini karena dinilai tidak proporsional dan merusak infrastruktur Gaza yang minim.

Jika dilihat dari kekuatan militer, Israel memang bukan lawan yang berimbang bagi Palestina. Namun, rakyat Palestina memilih tetap melawan agar lepas dari penjajahan Israel. Dr Mohamad Akram Adlouni, warga Palestina yang menjabat Sekjen Al-Quds Institution, mengatakan, rakyat Palestina melawan karena mereka tidak ingin terus dihina Israel. "Kami bertekad lebih baik mati daripada dijajah," kata Adlouni ketika berkunjung ke Jakarta akhir Mei lalu.

Pernyataan Adlouni tentunya mengingatkan bangsa Indonesia yang pernah mengikrarkan tekad "Hidup atau Mati" ketika melawan penjajah. Karena itu, perjuangan Palestina cukup mengharukan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Nafe Mehdawi menambahkan, "Kami terinspirasi dengan perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Dukungan Indonesia amat penting bagi kami."

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home