| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, July 16, 2006,9:15 AM

Arti Interkoneksi bagi Pengguna Jasa Telekomunikasi

Bagaimana interkoneksi bermanfaat bagi pengguna jasa telekomunikasi? Benarkah dengan regulasi interkoneksi yang baru, layanan telekomunikasi—khususnya telepon—seharusnya menjadi lebih murah?

Dua pertanyaan yang sering dijumpai ketika penulis "terjebak" dalam diskusi tentang penyelenggaraan dan regulasi telekomunikasi. Di antara empat puluh juta pengguna telepon di Indonesia, kemungkinan besar kurang dari 1 persen yang memahami bagaimana suara orang lain bisa sampai ke pesawat teleponnya.

Angkanya bisa lebih kecil lagi bila pertanyaannya sudah lebih teknis dan detail, seperti bagaimana pelanggan operator A dapat menghubungi pelanggan operator B. Ketidaktahuan pengguna telepon tentang hal-hal teknis penyelenggaraan telekomunikasi tidak perlu dirisaukan. Yang perlu menjadi perhatian adalah apabila ketidaktahuan ini dimanfaatkan oleh oknum di lingkungan operator telekomunikasi yang tidak bertanggung jawab untuk menipu atau merugikan pengguna telepon.

Di era demokrasi, mengetahui hal-hal yang semula terbilang tabu oleh sebagian orang sudah menjadi tuntutan. Di masa lalu, urusan internal perusahaan milik negara tidak mudah diketahui oleh pihak luar, apalagi kalau perusahaan negara tersebut tergolong besar dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kesan tertutup dan protektif dirasakan oleh masyarakat.

Demikian halnya di sektor telekomunikasi. Di era Orde Baru kala monopoli penyelenggaraan telekomunikasi masih berlangsung, jangankan tanya soal interkoneksi, menanyakan soal apakah masih tersedia jaringan untuk sambungan baru pun tidak mudah memperoleh jawabnya. Untuk mendapat sambungan telepon baru, sering kali harus menunggu tanpa jelas waktunya kapan dapat dipenuhi. Sekarang suasananya berbeda, segala sesuatu dituntut kejelasan, transparansi, dan akuntabilitas.

Dalam konteks keterbukaan, masyarakat pengguna telekomunikasi perlu tahu proses yang terjadi dalam layanan telekomunikasi. Bukan dimaksudkan untuk membuat sulit operator, namun dengan pemahaman yang lebih baik diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan layanan telekomunikasi dengan lebih bijak.

Interkoneksi

Interkoneksi menghubungkan antaroperator sehingga pelanggan operator A dapat menghubungi pelanggan operator B dan sebaliknya. Bagi pelanggan jasa telekomunikasi, manfaat pertama yang dapat dipetik dari interkoneksi adalah bertambahnya peluang untuk menghubungi dan dihubungi.

Melalui interkoneksi, keterbatasan cakupan layanan yang melekat pada suatu operator dapat diatasi. Wilayah cakupan yang dapat dihubungi oleh pelanggannya menjadi lebih luas karena manfaat yang diperoleh dari operator lain. Terdapat proses memberi dan menerima, hubungan antar-operator bersifat mutual, sama-sama memperoleh untung. Praktisi telekomunikasi mengatakan tidak ada yang dirugikan dalam interkoneksi.

Pada tataran ideal, dengan dukungan pengelolaan sumber daya telekomunikasi yang efisien, interkoneksi pada gilirannya tidak menjadi beban tambahan bagi pelanggan telekomunikasi. Artinya, pengguna jasa telekomunikasi sebagai konsumen akhir akan diuntungkan bila penyelenggaraan interkoneksi dapat berlangsung setara, adil, efektif, dan efisien.

Persoalan interkoneksi

Dalam praktiknya, interkoneksi tidak selalu mulus sebagaimana gambaran ideal pada tataran normatif. Hambatan teknis dan non-teknis dapat muncul seiring upaya para operator membangun interkoneksi. Minimnya kapasitas jaringan, keterkaitan dengan layanan lain yang tidak membutuhkan interkoneksi, dan munculnya gangguan akibat pemasangan sarana interkoneksi merupakan sedikit contoh dari banyak persoalan teknis di lapangan.

Pada aspek non-teknis, persoalan interkoneksi sering diawali dengan perbedaan proses manajerial di masing-masing operator, yang mengakibatkan perbedaan interpretasi maupun preferensi. Termasuk dalam persoalan non-teknis, adanya keengganan dari operator lama memberikan fasilitas interkoneksi karena bagaimanapun operator pencari akses akan menjadi pesaing.

Persoalan lain yang juga sering ditemui dalam proses interkoneksi adalah operator A mensyaratkan kondisi interkoneksi dengan operator B terkait dengan operator C. A hanya bersedia berinterkoneksi dengan B apabila yang terakhir terlebih dahulu sudah berinterkoneksi dengan operator C yang notabene masih bersaudara dengan A.

Bagi pelanggan telekomunikasi, apa pun persoalan yang dihadapi operator dalam interkoneksi bukan menjadi urusannya. Yang terpenting bagi pelanggan adalah apa pun konfigurasi interkoneksi yang disepakati antar-operator, baginya kesepakatan interkoneksi tersebut tidak berdampak pada kenaikan tarif telepon. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi pemerintah selaku regulator dan para operator telekomunikasi.

Pemerintah perlu menjaga agar pasca-diterbitkannya Peraturan Menteri Kominfo tentang interkoneksi tarif interkoneksi tidak naik. Hal ini tidak mudah karena posisi dominan operator telepon tetap masih dibebani dengan warisan teknologi lama yang tentu saja kalah efisien dibandingkan dengan teknologi yang dimiliki operator seluler. Kenaikan tarif interkoneksi dapat memicu kenaikan tarif ritel yang akhirnya harus ditanggung oleh pengguna telepon sebagai konsumen akhir dalam bentuk kenaikan tarif telepon.

Solusi

Untuk dan atas nama keadilan, membebankan ketidakefisienan satu pihak kepada pihak lain tidaklah adil. Namun, memaksa "saudara tua" untuk mengikuti teknologi efisien yang dimiliki "adik-adiknya" bukan pula tindakan yang bijaksana. Solusi optimal yang menggembirakan semua pihak mesti diambil. Sasaran utamanya adalah terselenggaranya interkoneksi secara adil, fair, transparan, efektif, dan efisien.

Di dalam peraturan menteri tentang interkoneksi termuat ketentuan mengenai formula penghitungan tarif interkoneksi. Persoalan utamanya bukan pada formula, namun lebih pada penentu biaya (cost drivers) yang merupakan unsur dari elemen jaringan atau variabel dalam formula tersebut. Sepanjang operator dapat menekan biaya aktivitas yang dihitung sebagai cost drivers, harapannya besaran tarif interkoneksi yang ditawarkan kepada operator lain menjadi semakin rendah. Jadi, dalam hal ini, manajemen operator harus mengarahkan perhatian lebih banyak ke hulu, bagaimana merekayasa ulang proses bisnis agar lebih ramping, lincah, dan ramah.

Menanggapi persoalan persyaratan interkoneksi yang dikaitkan dengan operator pihak ketiga, hal ini tidak diatur secara khusus dalam peraturan menteri tersebut. Artinya, tidak jelas apakah dilarang atau dibolehkan. Dalam banyak hal, persyaratan semacam ini memberatkan operator baru. Praktik semacam ini tergolong oligopoli yang dalam Undang-Undang tentang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli termasuk praktik bisnis yang harus diawasi.

Akhirnya, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, ketersambungan antar-operator dan menambah peluang berhubungan bagi pelanggan telekomunikasi merupakan manfaat interkoneksi pada level terendah. Manfaat akan lebih besar lagi manakala manajemen operator bersedia meninjau kembali proses bisnisnya sehingga elemen biaya interkoneksi dapat dijaga pada tingkat minimum. Interkoneksi yang berujung pada makin murahnya layanan telekomunikasi merupakan mukjizat bagi bangsa ini.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Mahasiswa S-3 Strategic Management, Sekolah Pascasarjana, PSIM FEUI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home