| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 22, 2006,12:10 PM

Vonis 4,25

Anita Lie

Senin, 19 Juni 2006, hari bersejarah bagi siswa-siswa kelas III SMA/SMK. Sebagian bersorak merayakan kelulusan dan kesiapan melangkah ke tahapan lebih tinggi. Namun, sebagian lagi meratapi "kegagalan" menembus sistem ujian nasional.

Selama beberapa tahun ini, meski diprotes, dikritik, dan digugat, ujian nasional tetap dijalankan, seolah sistem ini sudah menjadi bagian inheren dari pendidikan. Berbagai argumen mengenai proses dan hasil belajar, prinsip-prinsip ujian, evaluasi dan standardisasi, psikologi belajar, dan banyak lainnya sudah diungkapkan. Ratusan kritik dan protes yang sudah diungkap melalui media massa cetak dan elektronik di tingkat nasional dan daerah—apalagi keluhan yang tidak tertampung di media—seolah hanya angin lalu.

Mengingat sudah tertutupnya mata hati dan telinga hati para pembuat kebijakan ujian nasional dan semua pihak yang terlibat (terutama yang diuntungkan) dalam proyek ini, artikel ini saya tulis sama sekali tanpa harapan akan ada perubahan pandangan di kalangan para pelaku dan pengambil keuntungan dari proyek/hajatan ujian nasional.

Biarlah kelompok manusia untouchable (yang tidak tersentuh) ini melanjutkan perjalanan mereka sendiri. Saya justru masih berharap bersama manusia-manusia—muda dan dewasa—yang selama ini telah berusaha untuk memahami dan ikut bermain dalam sistem ujian nasional namun toh tetap tidak bisa mendiamkan nurani yang terusik.

Angka 4,25

Ada anak-anak yang termasuk siswa cerdas dan berprestasi di sekolah. Bahkan sebagian siswa ini sudah diterima di perguruan tinggi ternama di dalam maupun di luar negeri. Tentu saja mereka terperangah saat Senin lalu nomor mereka tidak tercantum dalam daftar yang lulus.

Di antara yang terperangah ini, ada pula yang sulit menerima absurdnya kesewenang-wenangan kekuasaan sampai terdorong untuk mengakhiri hidup. Angka 4,25 memang telah menjadi vonis bagi anak- anak untuk tak dianggap lulus sekolah dan juga vonis untuk mengulang tahun depan atau menjadi bagian dari Paket yang semula ditujukan bagi kelompok buta aksara.

Namun, diharapkan, suatu saat kelak anak-anak muda ini (juga orang-orang dewasa yang mengenal mereka) tidak menganggapnya sebagai vonis bagi kehidupan itu sendiri. Tidak tercapainya angka 4,25 tidak berarti mereka telah gagal dalam hidup. Justru itu berarti kegagalan sekelompok orang yang kebetulan sedang berkuasa untuk memahami dan menilai anak-anak ini dengan seutuhnya. Juga kegagalan menggunakan amanah dan kekuasaan dengan bijak guna memberikan kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk berkembang sesuai potensinya.

Ujian yang sebenarnya sedang dihadapi anak-anak muda yang kini sedang meratap adalah hidup berdampingan (learn to live together) dengan kesewenang-wenangan, sekaligus menjadi saksi dan korban kegagalan kekuasaan tanpa harus ikut terperosok dalam keputusasaan atas hidup.

Selembar ijazah yang ditandatangani birokrat dari Departemen Pendidikan Nasional memang menjadi tiket masuk ke sejumlah institusi. Tetapi selembar ijazah ini bukan penentu bagaimana menjadi manusia sesungguhnya (learn to be).

Amat diharapkan, orang-orang dewasa yang mengenal anak-anak ini bisa memahami bahwa tidak diperolehnya ijazah kelulusan tahun ini mungkin mengoyak rasa keadilan mereka. Tetapi dampingilah anak-anak itu agar perkara ini jangan sampai mengoyak kemanusiaan mereka.

Industri bimbingan belajar

Ada pula guru-guru yang menyaksikan rekan-rekannya terperosok dalam berbagai jebakan. Ada jebakan bagi pembuat soal yang meski telah disumpah tetapi telah membocorkan soal-soal kepada siswa. Ada pula jebakan bagi guru pengawas ujian untuk memberikan contekan jawaban bagi siswa agar tidak dicela sebagai guru yang "gagal" mencetak lulusan.

Dan yang terlihat di banyak sekolah, jebakan untuk mengubah proses pendidikan di sekolah menjadi industri bimbingan belajar. Tindakan pendidik yang terperosok dalam jebakan ini tentu menimbulkan kerusakan mengerikan pada anak didik, terutama anak yang telah menerima belas kasihan dan contekan dari guru mereka sendiri.

Harapan besar ada pada guru yang bertahan untuk tidak ikut terperosok ke dalam jebakan absurd dalam sistem pendidikan nasional. Juga masih ada setitik harapan pada sebagian guru yang sempat terpeleset dalam absurditas sistem tetapi tetap merasakan keterusikan nurani.

Akhirnya, sekerlip cahaya harapan bagi bangsa ini tampak dalam terowongan panjang absurditas sistem pendidikan nasional pada sekelompok manusia yang dengan sayup-sayup menyuarakan ketelanjangan Sang Penguasa. Ketika Sang Penguasa bersikukuh dengan "jubah kebesarannya" dan ketika banyak orang tidak punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran tentang ketelanjangan Sang Penguasa, suara kecil namun jujur dan mantap ini tidak mengenal lelah dan terus berharap bisa membangunkan yang lain.

Dalam realita di Indonesia, perubahan yang diharapkan tentu tidak terjadi secepat dan semulus seperti dalam dongeng. Jika Anda ikut berharap perubahan bisa dipercepat, mari ikutlah bersuara.

Anita Lie Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya; Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home