| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 22, 2006,11:58 AM

Sekali Lagi Utang dan Imperialisme

Kritik terhadap utang luar negeri belakangan ini cenderung semakin meningkat. Kritik tak hanya muncul sehubungan dengan efektivitas serta implikasi sosial dan politiknya, namun meluas hingga mencakup sisi kelembagaan dan ideologinya.

Pada sisi efektivitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang telah menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Ia juga diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi (Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1977; Todaro, 1987).

Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, arus masuk modal asing, dan terjadinya ketergantungan pada utang luar negeri secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).

Pada sisi implikasi sosial dan politik, utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman, untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung ia juga diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; Goerge, 1992; Hanlon, 2000).

Pada sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral yang berperan sebagai penyalur utang luar negeri, seperti Bank Dunia dan IMF, tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak akuntabel, keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama yang menjadi pemegang saham utama mereka (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winters, 2004).

Sedangkan pada sisi ideologi, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikat (AS), sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari seluruh penjuru dunia (Erler, 1989).

Menyimak berbagai kritik tersebut, mudah dimengerti bila berkembang pemikiran yang mencoba melusuri jejak utang luar negeri sebagai sarana imperialisme negara-negara Dunia Pertama. Studi pertama yang secara khusus melakukan hal itu adalah yang dilakukan oleh Teresa Hayter. Berangkat dari hasil penelitiannya yang dibiayai oleh Bank Dunia di empat negara Amerika Latin, Columbia, Chile, Brasil, dan Peru, tahun 1971, Hayter kemudian menerbitkan sebuah buku dengan judul Aid as Imperialism. Dalam buku setebal 222 halaman tersebut, Hayter secara tegas menyimpulkan bahwa, ''Uang luar negeri bukanlah transfer sumberdaya yang bebas persyaratan.''

Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya adalah: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi ''yang dikehendaki'' -- terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter, ''Aid is, in general, available to those countries whose internal political arrangements, foreign policy alignments, treatment of foreign private investment, debt-servicing record, export policies, and so on, are considered desirable, potentiallly desirable, or at least acceptable, by countries or institution providing aid, and which do not appear to threaten their interest.''

Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID, Hayter secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga tersebut dalam menetapkan kriteria dan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja kesejahteraan.

Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah posisi dominan AS pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman, ketiga lembaga tersebut tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan menerima pinjaman tersebut.

Kesimpulan Hayter yang mengkonfirmasikan keberadaan utang luar negeri sebagai sarana imperialisme itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson (2003), tujuan pemberian pinjaman oleh AS sejak 1960 bukanlah untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut. Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah AS untuk mensubsidi peningkatan ekspor berbagai produknya ke seluruh penjuru dunia.

Dalam rangka itu, sebagaimana diakui Perkins (2004), AS tidak hanya bekerja melalui mekanisme hubungan politik dan ekonomi biasa. AS secara terstruktur mengembangkan sebuah profesi yang dikenal sebagai preman ekonomi (economic hit man), yang bernaung di bawah Badan Keamanan Nasional (NSA), yaitu yang secara khusus bertugas membangkrutkan negara-negara Dunia Ketiga dengan sarana utang luar negeri.

Sebagai sebuah negara yang terpuruk di bawah himpitan utang luar negeri sebesar 80 miliar dolar AS, dengan angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri mencapai sepertiga APBN, Indonesia patut dicatat sebagai sebuah negara Dunia Ketiga yang menjadi korban para preman ekonomi seperti Perkins. Hal itu tidak hanya dikonfirmasikan oleh Perkins, tetapi diperkuat oleh berbagai fakta lain seperti keterlibatan lembaga-lembaga pemberi pinjaman dalam menyusun berbagai produk perundang-undangan di Indonesia.

Masalahnya, elit ekonomi dan politik Indonesia tampaknya telanjur dipenuhi oleh para kaki tangan kaum imperialis, sehingga penderitaan rakyat di bawah himpitan beban utang sama sekali tidak menjadi halangan bagi mereka untuk terus membuat utang luar negeri baru. Jangan-jangan selama 60 tahun ini penjajahan hanya sekedar berganti gaya, tetapi secara substansial masih terus berlanjut di Indonesia?

(Revrisond Baswir )

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home