| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 15, 2006,10:15 AM

Utang sebagai Ancaman Peradaban

Imam Cahyono

"Must we starve our children to pay our debts?"

(Julius Nyerere, mantan Presiden Tanzania)

Mencermati relasi utang dan kemiskinan global yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia (2004), statistik kemiskinan global mencatat, lebih dari 1,1 miliar penduduk—satu dari enam di bumi—hidup dengan penghasilan di bawah 1 dollar AS per hari.

Setiap hari, 831 juta penduduk di negara berkembang—13 persen dari total populasi dunia—kelaparan, lebih dari separuhnya di Afrika dan Asia Selatan. Setiap tahun, 10 juta anak-anak mati—mendekati 30.000 per hari—karena penyakit yang semestinya dapat dicegah. Sebanyak 2,7 miliar penduduk tidak memiliki sanitasi lingkungan memadai. Setiap hari, 8.000 manusia mati karena HIV/AIDS, 35 juta telah terinfeksi, 70 persen di Afrika.

Pada saat sama, negara berkembang memiliki utang luar negeri dua triliun dollar AS. Lebih dari separuh negara Afrika mengalokasikan pembayaran utang empat kali lebih besar dari anggaran pendidikan dan kesehatan. Tahun 2002, Republik Kongo mengeluarkan 1,5 persen dari gross domestic product (GNP) untuk kesehatan dan 16,2 persen untuk membayar utang. Negara-negara Afrika menerima pinjaman 19 miliar dollar AS per tahun, tetapi harus membayar utang 13 miliar dollar AS.

Kapitalisme global

Kini, kondisi ekonomi global terbelah dalam polarisasi tajam. Saat jutaan orang hidup berkelimpahan, miliaran manusia hidup di bawah dua dollar AS per hari. Beban utang membuat negara miskin kian terpuruk karena terkurasnya sumber daya untuk menyicil utang. Ketika negara berkembang terjerat utang dan jatuh dalam jurang kemiskinan, anggaran sektor pendidikan, kesehatan, dan sanitasi justru dipangkas. Inilah wujud dehumanisasi, eksploitasi, dan pengisapan. Utang merupakan dosa sosial akibat ketidakadilan negara kaya.

Utang yang dianggap sebagai instrumen pembangunan menjadi kotak pandora bagi negara berkembang. Di satu sisi, mereka butuh suntikan dana. Di sisi lain, utang tidak pernah menguntungkan. Utang tidak menjadi aliran modal karena formatnya (proyek) lebih sering digunakan untuk belanja barang. Utang menyumbang instabilitas, konflik, dan mengikis kemampuan negara dalam menangani bencana alam.

Tak jarang, utang najis (odious and illegitimate debt) diberikan kepada para diktator untuk mendukung rezim opresif dan korup, seperti rezim apartheid di Afrika Selatan, Soeharto di Indonesia, dan Marcos di Filipina. Banyak pinjaman diberikan atas motif ideologi dan politik (Stiglitz, 2002) ketimbang pembangunan.

Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia selalu meminta Structural Adjustment Programs sebagai syarat pinjaman baru. Mantra menjunjung tinggi pasar bebas, menggenjot ekspor, dan privatisasi pelayanan publik mengorbankan standar hidup penduduk negara pengutang. Kreditor sering meminjamkan tanpa mempertimbangkan bagaimana uang digunakan dan apakah peminjam memiliki kemampuan untuk mengembalikan.

IMF dan Bank Dunia rajin berkhotbah soal pembangunan berkelanjutan. Tetapi, retorika itu digusur motif bisnis menarik investor. Sumber daya alam, seperti minyak, mineral, dan logam dieksploitasi habis-habisan. Akibatnya, gundulnya hutan, erosi, polusi, dan dislokasi jutaan manusia. Tak ada batasan penggunaan bahan kimia berbahaya seperti arsenik, amonia, dan sulfat. Mereka menekan negara debitor untuk memacu ekspor dengan mengabaikan standar keselamatan buruh dan kemanusiaan.

Policymakers negara kreditor yakin, utang dapat dibayar melalui pendapatan ekspor. Teorinya, dengan ikut pasar bebas, ekspor dapat menghasilkan devisa, termasuk untuk membayar utang. Tetapi, yang terjadi sebaliknya. Negara berkembang tidak pernah untung dalam berdagang, sementara akumulasi utang lama dan stok utang baru terus menumpuk.

Sistem perdagangan internasional yang tidak adil hanya menguntungkan negara kaya. WTO, dewa pengatur perdagangan global mengabaikan rendahnya harga komoditas ekspor negara berkembang sembari memaksa membuka keran impor selebar-lebarnya. Petani tak dapat lagi menghidupi keluarga dari penghasilan yang diterima.

Keserakahan kapitalisme global merampas nyawa jutaan manusia. PBB memperkirakan 10-15 miliar dollar AS per tahun dapat menghadang HIV/AIDS di Afrika. Tetapi, negara di kawasan itu harus membayar utang 13 miliar dollar AS. Pendidikan sebagian besar dari mereka yang terinfeksi AIDS tidak memadai, tidak tahu bagaimana virus itu berkembang. Mereka harus mati karena mahalnya biaya pengobatan.

Secara global, perempuan harus memikul tanggung jawab dan beban dalam urusan makanan, air bersih, dan pendidikan anak. Pemotongan anggaran pelayanan sosial dan privatisasi berdampak panjang. Desakan kebutuhan subsistem mengharuskan perempuan bekerja dalam zona perdagangan bebas. Mereka rentan kekerasan, intimidasi, dan eksploitasi. Dua pertiga anak perempuan di negara berkembang tak bisa mengenyam pendidikan karena mahal. Perempuan harus rela menyaksikan anaknya mati karena penyakit yang mestinya dapat dicegah, seperti busung lapar, diare, malaria, dan buruknya layanan persalinan.

Ancaman kemanusiaan

Utang luar negeri bukan sekadar masalah anggaran, bagaimana ekonom harus mengutak-atik neraca agar sesuai budget negara. Dari dampaknya yang amat masif, utang juga menyangkut dimensi kemanusiaan dan kehidupan secara luas. Utang merupakan tantangan keadilan dan kemanusiaan secara global. Di negara berkembang, ratusan juta penduduk hidup dalam kemiskinan karena beban utang pemerintah. Pembayaran utang tidak boleh mengorbankan basis dasar hidup manusia, merampas kehidupan dan harapan.

Lantas, sejauh mana kepekaan teologi agama merespons kemungkaran kapitalisme global yang merongrong masa depan peradaban? Terinspirasi doktrin Judeo-Kristiani, Jubilee Movement melakukan restorasi relasi antarmanusia dan bangsa secara holistik, menggunakan pendekatan multiisu untuk menghadapi kemiskinan dan ketidakadilan. Di mana pun mereka yang terpenjara utang harus dibebaskan, hilangnya tanah karena utang harus dikembalikan, hilangnya komunitas karena ketimpangan harus dipulihkan (Jubilee Congregations Handbook, Putting Faith into Practice, 2005).

Imam Cahyono Koordinator Riset al Maun Institute, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home