| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 13, 2006,3:03 PM

Perwakilan Politik, antara Angka dan Relasi

Kacung Marijan

"Virtually everywhere today, democracy is taken to be synonymous with some kind of representative system’"

(Anthony Arblaster, 1994:79).

Pandangan Arblaster itu terkesan berseberangan dengan keinginan untuk mendaur ulang diskursus tentang direct democracy sebagaimana terjadi pada masa Yunani Kuno.

Atau, pandangan itu juga kurang sejalan dengan diskursus tentang deliberative democracy yang menekankan pentingnya interaksi lebih intensif dan produktif di antara anggota komunitas saat hendak memutus aneka kebijakan publik.

Namun, apa yang dikemukakan Arblaster itu merupakan suatu bentuk amatan realistis, bahwa saat berbicara tentang demokrasi dalam perpolitikan modern mau tidak mau harus berbicara tentang sistem perwakilan.

Demikian halnya saat hendak memperbaiki sistem dan kualitas demokrasi di Indonesia, kita tidak akan lepas dari perbincangan tentang sistem perwakilan (po litik) yang kita miliki.

Paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam sistem perwakilan politik kita. Pertama, sejauh mana para wakil di lembaga perwakilan kita memiliki tingkat keterwakilan (representativeness)? Jawabannya, tidak akan terlepas dari masalah sistem pemilu (electoral system).

Kedua, sejauh mana para wakil itu mampu membangun relasi lebih baik dengan mereka yang diwakili atau rakyat umumnya? Jawabannya, terkait substansi sistem perwakilan.

Masalah angka

Dua kali sebelum pelaksanaan pemilu pascapemerintahan Orde Baru, ada diskusi serius antara akademisi dan politisi tentang sistem pemilu yang harus kita anut. Yang diperbincangkan selalu bermuara pada dua pilihan besar sistem pemilu, sistem distrik dan sistem proporsional.

Dua kali perbincangan itu sama-sama menghasilkan satu keputusan politik, Indonesia tetap menganut sistem proporsional meski antara Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 ada varian yang sedikit berbeda. Pada Pemilu 1999, district magnitude-nya cukup besar, yaitu di tingkat provinsi. Sementara pada Pemilu 2004, district magnitude-nya lebih kecil, yaitu gabungan dari sejumlah kabupaten/kota atau satu provinsi berpenduduk kecil.

Sementara itu, dalam hal mentransfer suara ke dalam kursi, yang menjadi pertimbangan adalah daerah (kabupaten/kota) dengan jumlah penduduk. Dasar pertimbangan ini berbeda dengan asumsi demokrasi liberal bahwa nilai suara setiap orang pada dasarnya sama.

Melalui pertimbangan seperti itu, nilai suara penduduk di daerah-daerah yang berpenduduk sedikit (sebagian besar di luar Jawa) jauh lebih berharga daripada daerah yang berpenduduk besar.

Dalam situasi seperti itu, jika mengikuti alur pemikiran demokrasi liberal, tingkat keterwakilan antara anggota DPR yang satu dan yang lain pada dasarnya berbeda. Perbedaan ini lebih mengemuka jika dikaitkan dengan alokasi jumlah kursi, ada yang murni berdasarkan bilangan pembagi pemilih (BPP) dan ada yang berdasarkan sisa suara.

Pada Pemilu 2004, misalnya, dari 550 anggota DPR, yang murni terpilih berdasarkan BPP hanya 216 orang. Mereka terdiri dari Golkar 88, PDI-P 63, PKB 29, PKS 13, PD 9, PPP 8, PAN 5, dan PBB 1. Ketika sisa perolehan suara dihitung, masing-masing partai mendapat tambahan: Golkar 39, PDI-P 46, PKB 23, PKS 32, PD 47, PPP 50, PAN 48, dan PBB 10. Partai-partai lain yang memperoleh kursi semuanya dari sisa suara.

Jika pertimbangan representativeness murni didasarkan popular vote, Golkar, PDI-P, dan PKB jauh lebih representatif daripada partai-partai lain. Sementara itu, partai-partai yang memperoleh kursi di Jawa memiliki tingkat representasi lebih tinggi karena angka BPP-nya lebih besar, rata- rata di atas 200.000. Sementara di luar Jawa, rata-rata di bawah itu, bahkan ada yang di bawah 100.000.

Pertimbangan daerah wajar dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan keterwakilan luar Jawa. Tetapi, argumentasi demikian lemah jika ditilik dari kacamata demokrasi liberal serta mempertimbangkan fakta bahwa kita sudah memiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masing- masing provinsi, entah besar atau kecil, sama-sama memiliki jatah empat kursi.

Manakala DPD memiliki otoritas yang besar dan berjalan secara baik, adalah cukup fair jika alokasi kursi untuk DPR lebih didasarkan pada jumlah penduduk daripada daerah.

Masalah substansi

Hanya saja, memperbincangkan keterwakilan politik tentu tidak sekadar berbicara masalah angka. Lebih dari itu adalah bagaimana membangun relasi yang lebih baik antara para wakil dan yang terwakili.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar trustee, di mana para wakil berjalan sendiri seolah-olah telah memperoleh kepercayaan dari rakyat.

Pascapemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar politico karena para politisi bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, berdasarkan situasi yang berkembang.

Dalam kerangka lebih substansial, relasi itu harus diarahkan pada dasar pertimbangan delegate, di mana para wakil lebih bertindak atas kemauan para wakil, bukan atas kemauan sendiri.

Kacung Marijan Dosen FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home