| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 13, 2006,2:55 PM

Against All Odds

Oleh : Ir. H. Adiwarman A. Karim, SE., MBA., MAEP.

Aliran dana dari Timur Tengah tidak dapat dibendung lagi. Malaysia telah membuka industri perbankan syariahnya yang selama ini tertutup bagi pemodal asing. HSBC Amanah, Al Rajhi, Kuwait Finance House, dan konsorsium Qatar Islamic Bank resmi beroperasi di Malaysia. CIMB Malaysia baru menawarkan reksadana syariah dari saham-saham yang terdapat di 14 bursa saham Asia.

Global Investment House Kuwait baru saja menyelesaikan transaksi pembelian Jahangir Siddiqui (JS) Securities Pakistan senilai USD37,4 juta, dan pekan lalu bank sentral Pakistan mengeluarkan ijin JS Bank yang merupakan merger antara unit lokal American Express Pakistan dengan JS Investment Bank.

Singapura tidak ketinggalan. Pada semester pertama tahun ini Singapura mengeluarkan indeks saham syariah FTSE SGX Asia Shariah 100, hasil kerja sama antara otoritas bursa Singapura dengan perusahaan indeks dunia FTSE. Singapura juga menawarkan reksadana indeks syariah yang diberi nama NTUC Amanah Equity Fund. Reksadana ini mengacu pada Dow Jones Islamic Market Developed Market, dengan kelolaan asset USD15,56 juta.

Australia baru saja menawarkan portfolio saham yang sesuai syariah. Hal ini merupakan wujud kerjasama Intrinsic Investment Management dengan Muslim Community Cooperative of Australia. Bagaimana dengan Indonesia? Pertama, rencana penerbitan sukuk tampaknya masih harus bersabar mengunggu amandemen UU. Penerbitan sukuk dengan landasan hukum Perpu atau regulasi lainnya di bawah UU, dipandang riskan dan dapat membawa persoalan yang tidak perlu di masa mendatang. Dari sisi ini, masuknya dana-dana Timur Tengah melalui instrumen sukuk masih belum mendapatkan titik terang. Alternatif yang tersisa adalah penerbitan sukuk oleh BUMN di luar negeri, ini pun harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu manajemen utang luar negeri secara keseluruhan.

Kedua, masuknya investor Timur Tengah dalam bentuk saham di industri perbankan Indonesia memang masih terus terbuka peluangnya. Ketentuan modal minimum Rp 1 triliun untuk ijin bank syariah baru memang mirip dengan ketentuan di Malaysia yang mensyaratkan USD100 juta. Bedanya adalah di Malaysia pemerintah dengan aktif mengundang mereka masuk dan regulasinya dipandang lebih kondusif. Ambil contoh masalah perpajakan di Indonesia yang melihat transaksi murabahah sebagai objek pajak pertambahan nilai.

Ketiga, berita tentang perluasan kewenangan peradilan agama yang mencakup bidang ekonomi syariah telah menyebar luas ke dunia internasional. Tentu saja hal ini patut disyukuri dan merupakan langkah pionir yang akan diikuti oleh negara-negara lain. Cepatnya kabar ini meluas karena bank-bank asing mulai mengantisipasi apakah mereka perlu in-house lawyer dan mitra law firm yang memahami syariah dengan adanya UU baru ini. Minimnya regulasi perbankan syariah dan belum pahamnya mereka akan kinerja peradilan agama dalam menangani kasus-kasus ekonomi syariah ikut menambah kegamangan.

Keempat, survey terhadap investor Timur Tengah tentang selera risiko mereka, preferensi investasi mereka, alasan mereka belum memilih Indonesia, dan lainnya, belum pernah diketahui secara pasti. Jadi kita berusaha menarik investor Timur Tengah tanpa kita sendiri mau berusaha memahami mereka.

Kelima, upaya yang komprehensif untuk membangun citra Indonesia di mata investor asing khususnya Timur Tengah juga belum dilakukan dengan terstruktur. Bagi mereka yang akrab dengan dunia investment bank, seringkali kiita miris ketika melihat asset dan proyek Indonesia dijual ke investor Barat, yang ternyata dananya bersumber dari Timur Tengah juga.

Investor asing tahu persis berbagai masalah yang menimpa bangsa ini, merekapun tahu berbagai kendala ketika melakukan investasi disini. Yang mengejutkan adalah, dengan masalah dan kendala seperti itupun, mereka masih melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis untuk melakukan investasi. Jumlah populasi yang demikian besar telah menarik tidak kurang 34 perusahaan asuransi untuk membuka layanan syariahnya di Indonesia. Besarnya pasar perbankan ritel, juga telah mendorong lebih dari 20 bank menawarkan layanan syariah. Begitu pula dengan industri pasar modal syariah.

Investor asing tahu persis potensi besar bangsa ini, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya, yang tidak bisa tertutupi oleh masalah dan kendala yang ada saat ini. Terutama investor syariah yang memang memerlukan proyek riil untuk dibiayai, bukan sekedar jual beli asset-asset finansial. Banyaknya proyek-proyek infrastruktur menjadikan Indonesia mempunyai daya tarik luar biasa bagi investor syariah.

Industri energi (pertambangan, migas), industri berbasis sumberdaya alam (perkebunan), dan industri infrastruktur berpendapatan valas (airport, seaport) merupakan yang paling diminati. Perilaku investor syariah juga agak berbeda dalam hal jangka waktu investasi. Beberapa saat yang lalu kalangan pasar modal sempat optimistis dan menetapkan IHSG akan mencapai level 1700. Kenyataannya IHSG kembali pada level 1287 setelah mencapai level 1500. Ini tidak terlepas dari perilaku investor yang jangka waktu investasinya sangat pendek, didorong motif profit taking dari pergerakan harga saham harian. Bagi mereka return yang tinggi dalam masa yang singkat menjadi tujuan.

Investor syariah mempunyai horison investasi jangka panjang, biasanya 5-15 tahun. Perhatian utama mereka adalah pada keutuhan modal, bukan pada return jangka pendek. Tentu saja mereka ingin return yang tinggi, namun dengan horison investasi yang panjang.

Tampaknya kini saatnya kita berusaha memahami investor Timur Tengah luar-dalam (inside-out) dengan survey. Sekedar berasumsi ini dan itu tidak akan banyak membantu. Kini saatnya pula kita secara sistematis membangun citra Indonesia sebagai investment destination yang memberikan kenyamanan. Dilihat dari segi manapun, kita adalah bangsa besar. Sekali layar terkembang, surut kita berpantang.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home