| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 14, 2006,12:12 PM

Tentang Kepastian Hukum

Sumber masalah ketidakpastian hukum yang dialami Indonesia secara perlahan-lahan mulai terungkap. Selama ini, masalah tersebut cenderung hanya dialamatkan kepada para pelaksana di lapangan. Artinya, sebagaimana sering dikemukakan oleh para pejabat pemerintah, sistemnya sebenarnya sudah baik, tetapi pelaksanaannyalah yang sering menyimpang. Namun belakangan, terutama sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), peran pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai aktor ketidakpastian hukum secara perlahan-lahan mulai muncul ke permukaan. Hal itu setidak-tidaknya dapat ditelusuri pada tiga produk perundang-undangan berikut.

Pertama, Undang Undang (UU) No. 20/2002 mengenai Ketenagalistrikan. Sebagaimana diketahui, tujuan utama UU ini adalah untuk membuka sektor ketenagalistrikan bagi beroperasinya perusahaan-perusahaan listrik swasta di Indonesia.

Dalam rangka itu, sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan 16 UU tersebut, secara vertikal PT PLN harus dipecah menjadi tujuh kelompok perusahaan. Bahkan, sebagaimana diatur dalam pasal 17 dan 21 UU itu, usaha pembangkit tenaga listrik dan agen penjualan tenaga listrik harus diselenggarakan berdasarkan kompetisi.

Tetapi sesuai dengan hasil uji yudisial yang dilakukan MK, UU yang rancangannya dibuatkan oleh Asian Development Bank (ADB) tersebut, secara resmi dinyatakan batal demi hukum. Menurut MK, UU No. 20/2002 secara jelas bertentangan dengan amanat Pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Kedua, UU No. 22/2001 mengenai Minyak dan Gas (Migas). Hampir sama dengan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, tujuan utama UU ini adalah untuk membuka sektor migas bagi beroperasinya perusahaan-perusahaan migas swasta dalam industri migas di Indonesia.

Dalam rangka itu, sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU tersebut, secara vertikal PT Pertamina harus dipecah menjadi enam kelompok perusahaan. Bahkan, sebagaimana diatur dalam pasal 28 UU itu, penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) harus diserahkan pada mekanisme persaingan usaha atau mekanisme pasar.

Tetapi sesuai dengan hasil uji yudisial yang dilakukan MK, tiga pasal yang terdapat dalam UU yang rancangannnya dibuatkan oleh United States Agency for International Development (USAID) tersebut, secara tegas dinyatakan wajib diamandemen. Menurut MK, antara lain, penetapan harga BBM tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar.

Ketiga, UU No. 13 Tahun 2005 mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2006. Pelanggaran konstitusi yang dilakukan UU No. 13/2005 agak berbeda dari UU No. 22/2001 dan UU No. 20/2002. Pelanggaran konstitusi yang dilakukan UU No. 22/2001 dan UU No. 20/2002 berkaitan dengan substansi kebijakan. Sedangkan pelanggaran konstitusi UU No. 13/2005 berkaitan dengan besaran alokasi anggaran.

Sesuai dengan amanat pasal 31 UUD 1945, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 20 persen dari belanja negara. Tetapi dalam APBN 2006, anggaran pendidikan ternyata hanya meliputi 9,1 persen dari belanja negara.

Akibatnya, ketika dilakukan uji yudisial terhadap UU tersebut, MK secara tegas menyatakan UU itu bertentangan dengan konstitusi. Walaupun demikian, untuk mencegah terjadinya kekacauan, MK tidak secara langsung menyatakan UU tersebut batal demi hukum.

Menyimak pelanggaran konstitusi ketiga produk perundang-undangan itu, dapat disaksikan betapa ketidakpastian hukum tidak hanya bersumber pada para pelaksana di lapangan. Tetapi dilakukan pula oleh pemerintah dan DPR selaku pembuat kebijakan.

Selain ketiga produk perundang-undangan tersebut, tentu terdapat banyak produk perundang-undangan lain yang dapat mengalami nasib serupa. Salah satu diantarnya adalah UU No. 19/2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang rancangannya dibuatkan oleh Price Waterhouse Coopers (PWC).

Bahkan, jika dikaitkan dengan Pasal 34 UUD 1945, jangankan pelaksanaannya, undang-undangnya pun hingga saat ini belum dimiliki oleh Indonesia. Artinya, sehubungan dengan Pasal 34 ini, yang terjadi tidak hanya ketidakserasian antara UU dengan amanat konstitusi, melainkan tidak adanya kemauan untuk melaksanakannya.

Terlepas dari kenyataan itu, yang menarik adalah untuk dicermati adalah kaitan antara kebijakan ekonomi dengan pelanggaran konstitusi. Berdasarkan pengalaman ketiga produk perundang-undangan tadi, secara jelas dapat disaksikan betapa pelanggaran konstitusi sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di Indonesia.

Dengan kecenderungan seperti itu, peran ekonom sebagai aktor utama pelanggaran konstitusi patut dipertanyakan. Para ekonom, selama ini, termasuk pihak yang paling sering mengeluh mengenai dampak buruk ketidakpastian hukum terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.

Namun bila dipelajari pengalaman ketiga produk perundang-undangan tadi, secara jelas dapat disaksikan betapa kebijakan ekonomi memiliki kontribusi cukup besar terhadap terjadinya pelanggaran konstitusi di negeri ini. Jangan-jangan memang para ekonom sendirilah yang menjadi aktor utama meningkatnya masalah ketidak pastian hukum di Indonesia?

(Revrisond Baswir )

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home