| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 12, 2006,1:39 PM

Kekerasan Fisik dan Verbal

Bustanuddin Agus
Dosen Universitas Andalas Padang

Tindak kekerasan, baik atas nama agama ataupun atas nama hak asasi, makin marak akhir-akhir ini. Kekerasan tersebut marak terjadi di Republik Indonesia yang berdasar Pancasila ini, yang salah satu silanya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.

Aksi massa terhadap kantor redaksi Playboy, penutupan rumah dan ruko yang digunakan untuk upacara kebaktian, dan perusakan terhadap tempat-tempat hiburan, jelas kekerasan dalam bentuk fisik. Melempar gedung dengan batu, memecahkan kaca-kaca jendela, pintu atau peralatan yang ada di dalam gedung tempat sasaran aksi, adalah tindak kekerasan material.

Kekerasan begini biasa dilakukan sekolompok massa berjubah dan berpeci haji. Tujuannya supaya kegiatan yang diprotes, kegiatan keagamaan yang tidak legal, perjudian, atau penerbitan majalah porno dihentikan. Kekerasan fisik dalam rangka amar makruf nahi munkar ini sudah lama berlangsung, dan akhir-akhir ini makin marak dengan kasus Ahmadiyah, Playboy, serta kasus gereja ilegal.

Di pihak lain, tampil pula aksi kekerasan verbal atas nama hak berekspresi dan berpendapat. Kata-kata sinis, menghina, dan bahkan melecehkan agama juga bermunculan. Antara lain kritik 'preman berjubah'. Ada pula pelecehan terhadap agama dengan ucapan ''Alquran kitab yang paling porno'', ''Anjinghu Akbar''.

Pelecehan ini dibalas pula dengan julukan ''Komunis berjubah Islam'' seperti yang diungkap Irfan S Awwas (Republika 2/6). Kekerasan verbal ''preman berjubah'' dijustifikasi kembali oleh Fajar Riza Ul Haq dari Maarif Institute karena Irfan S Awwas membawa-bawa nama Ahmad Syafii Maarif (Republika 9/6). Julukan, penamaan, karikatur sinis terhadap agama yang sering kita saksikan menimbulkan protes besar-besaran dari penganut agama yang bersangkutan. Seperti kasus Karikatur Nabi Muhammad oleh koran Jyllands-Posten di Denmark akhir tahun lalu.

SARA


Dewasa ini, kita sering menyaksikan bahwa lontaran kata-kata menghina pribadi atau individu saja sering dibawa ke meja hijau. Rakyat kelas bawah yang tidak tahu atau tidak percaya penyelesaian meja hijau, biasa menyelesaikannya dengan adu jotos. Penghinaan terhadap kelompok juga sering mengakibatkan tawuran massal yang menelan nyawa dan harta benda.

Karena itu, di zaman Orde Baru, isu yang memancing kemarahan suku, ras, agama, antargolongan (SARA) dijadikan alat untuk memperkokoh proyek asas tunggal. Tapi karena kewaspadaan terhadap bahaya yang bisa meledak ini digunakan secara tidak ikhlas, dia bangkit secara berlebihan dan kebablasan sesudah Orde Baru jatuh. Tindak kekerasan, bukan saja terjadi dalam mempertahankan SARA, tapi juga untuk mempertahankan kebutuhan manusia seperti rumah dan tempat meraih rezeki.

Dalam menghadapi kelompok yang lebih pintar dan menguasai sekali seluk beluk jalur hukum, tindak kekerasan fisik biasa timbul dari kelompok marjinal. Itu karena mereka kehabisan daya upaya untuk mempertahankan kehidupan mereka. Kekerasan fisik ini biasa sekali kita saksikan pada kasus penggusuran atau pembebasan tanah tempat tinggal atau sumber kehidupan mereka.

Kalau untuk mempertahankan SARA, rumah, dan mata pencaharian sudah demikian halnya, pada kelompok agama tentu akan lebih serius. Itu terjadi kalau apa yang haram dalam pandangan mereka telah dilaksanakan secara terbuka, kalau sesuatu yang mereka sakralkan telah dihina, dan sesuatu yang selama ini mereka yakini mutlak benar telah diputarbalikkan.

Keyakinan, haram, sakral, dan mutlak benar adalah ciri khas kehidupan beragama. Keyakinan-keyakinan tersebut mengalahkan alasan-alasan rasional pihak lain. Kehidupan beragama apapun agamanya disertai ciri fanatik. Umat beragama meyakini agamanyalah yang benar kecuali di kalangan penganut paham pluralisme agama yang marak akhir-akhir ini.

Penganut Islam yang yakin akan kebenaran Alquran biasa membaca ayat Innaddina 'indallahiil Islamu (''Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam'') di surat Ali Imran 19. Selanjutnya, ayat 85 yang menyatakan: ''Siapa yang menginginkan agama lain dari Islam tidak akan diterima dari padanya. Di akhirat ia termasuk orang yang merugi''.

Penganut agama lain juga demikian, meyakini sekali bahwa ajaran agama merekalah yang benar. Namun keluar, mereka menghormati pluralitas. ''Tidak ada paksaan dalam bergama'' (Albaqarah 256). Alquran melarang umat Islam mencaci tuhan agama lain (QS 6:108). Rasulullah juga berkata: ''Siapa yang menyakiti seorang dzimmi (penganut agama lain yang menjadi anggota masyarakat Islam) berarti menyakiti aku''.


Kebutuhan dasar
Kehidupan beragama memang demikian ultima. Ia adalah prinsip dan jalan hidup yang diajarkan Khaliq Pencipta. Manusia hidup membutuhkan sesuatu yang diyakinya, dipedomani dalam perilaku sehari-hari, dapat mereka pahami dengan akal pikiran, sangat mereka cintai, dan mereka pun merasakan dicintai oleh Rahman dan Rahim, serta merasakan hidup berjamaah dan berukhuwah yang ikhlas.

Islam memberikan kebutuhan dasar kehidupan manusia ini. Selain juga mewajibkan kepada pemimpin dan masyarakat untuk mengisi kebutuhan kepada sandang, pangan, dan papan setiap anggota masyarakat.

Untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan dasar ini Islam mengajarkan manusia beragama dengan aqidah, syariah, ilmu, tasawuf dan berjamaah. Kalau masyarakat tidak mengenal Islam (ingat Islam adalah agama yang diturunkan Allah melalui rasul-rasulNya, dari Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW) untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan tersebut, mereka akan ciptakan agama sendiri. Karena itu kita menyaksikan berbagai macam agama dan pseudo-religious berkembang di dunia ini dari dahulu sampai sekarang (Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, 2006).

Banyak hal dipercayai sebagai yang sakral, suci. Tidak boleh diperlakukan semaunya. Ada kitab suci. Ada nabi yang menerima langsung wahyu Tuhan. Ada hari suci sehingga harus dilakukan puasa dan ritual lainnya. Ada benda suci seperti Ka'bah. Mempercayai kesucian sesuatu berarti tidak boleh diperlakukan sembarangan. Ada ritualnya. Apalagi menghina dengan menginjak, merobek, atau membakarnya.

Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa juga menjadikan penganutnya mementingkan seruan Tuhan itu dari pada keinginan pribadinya. Maka agama dan beragama adalah sesuatu yang prinsip, ultima, dan sakral bagi penganutnya. Karena itu kekerasan fisik dari penganut agama yang merasa tidak guna menempuh jalur hukum --kalau pantangan atau prinsip ajaran agama dilanggar dengan sewenang-sewenang seperti contoh di atas-- adalah sebab akibat yang logis dalam kehidupan. Solusinya adalah jangan terjadi lagi tindakan-tindakan sepihak yang melecehkan penganut agama apapun di Indonesia ini.

Saya juga tidak setuju dengan kekerasan fisik dalam mempertahankan dan menegakkan ajaran agama karena akan menimbulkan anarkisme. Tapi untuk menghilangkannya, secara ilmiah, kita juga harus dengan menghilangkan penyebabnya, yaitu penghinaan dan pelecehan terhadap agama.

Pelecehan itu bukan hanya dalam bentuk tindakan fisik, seperti membubarkan paksa demo dan penangkapan anggota, apalagi pimpinan agama mereka secara paksa tanpa alasan yang jelas. Pelecehan dalam bentuk ucapan, dari mana pun datangnya, lebih menusuk hati dari kekerasan fisik. Ucapan yang memutarbalikkan keyakinan keagamaan, karena sering diulang-ulang oleh media tokoh-tokoh tertentu dan di-blow up terus oleh media massa, lama-lama dianggap suatu kebenaran. Keduanya, baik yang fisikal maupun yang verbal, adalah sama-sama tindak kekerasan.

Kita prihatin kehidupan beragama di Indonesia dewasa ini dipenuhi dengan tindak-tindak kekerasan demikian. Massa sebagian umat melakukan kekerasan fisikal. Sebagian elite melakukan kekerasan verbal. Kalau tidak segera diatasi oleh semua pihak, kenyamanan dalam kehidupan beragama di Indonesia ini tentu akan sirna. Kalau elite dan pemimpin sudah demikian, apalagi massanya? Julukan julukan sinis dan mendiskreditkan itu, menurut saya tidak kurang pedih dan menyakitkannya dari kekerasan fisikal.

Pepatah Arab mengatakan kalmul lisan anka min kalmis sinan (dilukai lidah lebih pedih dari dilukai gigi). Pepatah kita tempo dulu mengatakan, ''mulutmu harimaumu, yang akan mengerkah kepalamu''. Tetapi pepatah ini mulai sirna dengan prinsip kebebasan berekspressi dan kebebasan pers. Wallahu a'lam.

Ikhtisar:

- Selain kekerasan fisik, akhir-akhir muncul kekerasan verbal. Massa melakukan kekerasan fisik, elite melakukan kekerasan verbal.
- Kalau kekerasan fisik dan verbal tidak segera diatasi, kenyamanan dalam kehidupan beragama di Indonesia bisa sirna.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home