| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 13, 2006,2:59 PM

Maaf dan Etika Komunikasi Politik

Alois A Nugroho

Wacana tentang permintaan maaf sebagai komunikasi politik marak lagi. Wacana itu tak dapat dilepaskan dari berbagai pernyataan sebagian politisi, birokrat, dan tokoh masyarakat.

Intinya ialah meminta publik untuk berhenti menyalahkan Pak Harto, yang notabene kondisi kesehatannya memburuk. Maka, ketika di Magelang, salah seorang putri Pak Harto meminta maaf atas nama sang bapak, seakan keping terakhir dari sebuah puzzle besar telah terpasang. Tak ada "ruang kosong" lagi. Para "pemain" boleh bernapas lega.

Budaya politik baru

Nicolaus Mills menyebut permintaan maaf sebagai unsur yang relatif baru dalam budaya politik (Dissent, 2001). Permintaan maaf sebagai komunikasi politik kian lazim dilakukan dalam era pasca-Perang Dingin. Paus Yohanes Paulus II pernah meminta maaf atas kesalahan-kesalahan Gereja Katolik selama dua milenia. Presiden Jerman pernah meminta maaf kepada bangsa Yahudi. Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf kepada bangsa Irlandia.

Diskursus publik kian banyak belajar dari etika serta sifat informal diskursus privat. Dalam kehidupan pribadi, sudah lama kita terbiasa meminta dan memberi maaf. Dalam kehidupan publik, permintaan maaf biasanya hanya diucapkan oleh mereka yang lemah kepada yang berkuasa. Selama dua dasawarsa, budaya komunikasi politik telah diperkaya oleh permintaan maaf yang mengalir dari pihak yang dipandang lebih kuat.

Padahal dalam sejarah, permintaan maaf oleh penguasa dalam diskursus publik sering dianggap "tabu". Politisi dan petinggi militer biasanya menghindari permintaan maaf. Tindakan itu dianggap menandakan kelemahan dan membuka peluang bagi tuntutan kompensasi selanjutnya.

Kini disadari, persepsi dan perilaku publik akan dipengaruhi oleh tindak komunikasi politik berupa permohonan maaf. Penguasa atau bekas penguasa yang memohon maaf akan dimanusiakan. Mereka tidak lagi dipersepsikan dan diperlakukan sebagai "monster". Berbeda dengan penguasa atau bekas penguasa yang tidak memohon maaf secara publik. Mereka tak hanya gagal mengguratkan "kenangan yang terindah". Lebih dari itu, sepanjang sejarah mereka akan dipersepsikan sebagai "monster".

Tak hanya penguasa sebagai tokoh sejarah akan diubah oleh permintaan maaf yang diucapkan. Tindakan yang terkait dan orang-orang yang menjadi korban juga berubah status. Tindakan yang semula dianggap tak relevan menjadi relevan. Dengan demikian, dampaknya pada masa kini juga harus diperhitungkan meski tindakan itu sudah terjadi pada masa lalu yang jauh. Dengan demikian, kompensasi atau kebijakan afirmatif dapat merupakan konsekuensi yang perlu dilaksanakan.

Dengan permintaan maaf, penderitaan dan pengorbanan para "korban" juga menjadi relevan. Dari pihak domestik, kita masih menunggu permintaan maaf menyangkut nasib Wiji Thukul dan kawan- kawan, kasus 27 Juli 1996, kasus Trisakti, kasus Semanggi I dan Semanggi II, kasus Munir, untuk hanya menyebut beberapa di antaranya. Bagi mereka ini, rehabilitasi merupakan konsekuensi yang juga perlu dilaksanakan.

Ketulusan dan kedangkalan

Mills juga membedakan permintaan maaf yang tulus (genuine apology) dengan permintaan maaf yang palsu (phony apology). Permintaan yang palsu hanya merupakan lip service, tidak diikuti ikhtiar sungguh-sungguh untuk mengubah makna, peran, tindakan historis, dan aneka dampaknya pada masa kini dan masa depan. Menurut Mills, permintaan maaf Pemerintah Jepang terkait dengan iugun ianfu termasuk permintaan maaf yang kalaupun bukan palsu, ya dangkal. Apalagi permintaan maaf Kieu Samphan (Khmer Merah) bagi pembantaian di Kamboja.

Adalah hal lumrah bila dalam kehidupan sehari-hari pada ranah privat begitu mudah kita mengucapkan permintaan maaf yang dangkal. Permintaan maaf seperti ini merupakan bagian dari basa-basi atau etiket kehidupan. Kita juga siap memberi maaf tanpa perlu mempersoalkan apakah permintaan maaf itu diucapkan secara tulus atau tidak.

Masalahnya amat berbeda bila yang dipertaruhkan adalah urusan dan dampak yang signifikan. Permintaan maaf seorang suami yang selingkuh kepada istri tak dapat diucapkan secara dangkal dan mekanistis. Dampak tindakan itu dapat amat serius, berupa hilangnya rasa saling percaya, memburuknya suasana hidup kekeluargaan secara umum, sampai pada pecahnya rumah tangga. Baru bila dibarengi dengan ikhtiar nyata untuk memperbaiki tingkah laku, permintaan maaf dapat dikatakan tulus. Tanpa itu, permintaan maaf tak banyak beda dengan kepalsuan dan kemunafikan.

Apologi publik

Juga dalam kehidupan publik ada formula-formula di mana permintaan maaf diucapkan secara serta-merta tanpa ada dampak yang signifikan. Seorang pejabat yang kebetulan berusia muda meminta maaf lebih dahulu kepada para "senior"- nya sebelum mengucapkan kata sambutan. Permintaan maaf seperti ini berada dalam kategori etiket, belum etika. Tidak ada masalah keadilan ataupun hak-hak asasi manusia (HAM) yang terlibat.

Namun, kebijakan yang mencederai rasa keadilan publik, yang melecehkan martabat manusia, yang menelikung HAM, apalagi hak dasar untuk hidup, bukan hal- hal yang cukup dimintakan maaf secara mekanistis. Rasa-rasanya, tak semua kita akan rela jika diam-diam republik tercinta ini berubah menjadi republik opera sabun.

Alois A Nugroho Bekerja di Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya Jakarta, Dosen Etika Komunikasi Politik di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home