| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 15, 2006,10:08 AM

Panduan Memimpin Republik

Yudi Latif

Memimpin demokrasi dengan kepemimpinan yang kuat menjadi simpul kesadaran baru yang terpancar dari suara Wakil Presiden Jusuf Kalla (Kompas, 8/6/2006). Keinsafan ini merupakan pertanda baik jika disertai pemahaman yang baik.

Pemimpin yang baik tidak cukup hanya berbudi baik dan menarik. Terlampau lama negeri ini dipimpin orang "lemah", yang menegakkan wibawa dengan personalisasi kekuasaan dan kekuatan pemaksa (might), bukan dengan menjalankan prinsip negara hukum (right) yang bersifat impersonal dan imparsial. Tipe kepemimpinan seperti itu tidak selaras dengan tantangan demokratisasi.

Demokrasi yang memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang "kuat"; yang berbasis hukum dengan menjalankan amanat konstitusi. Di sini, pemimpin negara harus sadar, demokrasi tak bisa dipisahkan dari konstitusi, tercermin dalam istilah "demokrasi konstitusional" (constitutional democracy). Istilah itu mengandung makna, demokrasi merupakan fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

Dalam menjalankan demokrasi konstitusional, kepresidenan merupakan institusi yang amat krusial. Sebagai satu-satunya pejabat negara yang dipilih langsung oleh rakyat, Presiden melambangkan harapan masyarakat, bahwa amanat konstitusi akan diterjemahkan dalam kerangka kebijakan dan dijalankan oleh administrasi pemerintahan secara rasional.

Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya mengamankan dan mencari keseimbangan pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods), berkisar pada masalah legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi, institusi-institusi itu merepresentasikan kepentingan dan aspirasi rakyat secara imparsial. Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip, terbuka bagi proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) tanpa ragu (strong).

Kenyataannya, keputusan Presiden/ Wakil Presiden sering tak sejalan dengan legitimasi demokratis. Keputusan sering diambil tanpa mempertimbangkan public deliberation, seperti kasus revisi UU Perburuhan dan Pencabutan SP3 Soeharto. Sering, tak menjalankan kebijakan yang diamanatkan public deliberation, seperti penetapan anggaran pendidikan dan membiarkan aksi-aksi kekerasan terhadap kebebasan sipil dan politik.

Kesejahteraan ekonomi

Setelah basis legitimasi, kemaslahatan berikut adalah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi bidang ekonomi. Pancasila mengisyaratkan, ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Negara kesejahteraan menjadi taruhan kesaktian Pancasila.

Dalam delapan tahun terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang politik.

Namun, capaian-capaian ini sering dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Joseph E Stiglitz (2005) punya pandangan menarik. "Di Indonesia orang kerap merasakan adanya konflik yang intens: antara kewajiban untuk bersikap adil dan tidak pilih kasih dalam sistem yang didasarkan aturan, dengan kewajiban moral untuk membantu kerabat dan anggota komunitas di sebuah negara yang ditandai tingginya angka pengangguran, kemiskinan akut, dan ketimpangan mencolok. Ekonomi pasar hanya berjalan baik dalam sistem yang dipijakkan pada aturan. Dalam sistem yang berjalan mulus dengan kesempatan kerja penuh dan keadilan sosial yang luas, kebutuhan untuk ’membantu’ kerabat amat bisa dikurangi. Masalahnya, mereka yang ada di negara berkembang diminta meninggalkan ’jaring pengaman’ dalam ikatan kekeluargaan dan komunal ini, padahal jaring pengaman sosial (dari rezim kesejahteraan) itu sendiri belum tercipta."

Menciptakan kesejahteraan ekonomi di negara ini, Stiglitz merekomendasikan perlunya keseimbangan peran pemerintah dan pasar. Negara-negara berkembang harus lebih bebas menentukan pilihan kebijakan ekonominya. Tidak ada cara tunggal dan sempurna, seperti sering dikhotbahkan para arsitek ekonomi di Bank Dunia dan IMF. Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam.

Identifikasi kolektif

Semua itu merupakan prakondisi terpeliharanya kebajikan ketiga, identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai civic nationalism (berbasis demokrasi konstitusional), dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektif, mulai mendapat ancaman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangat partikularistik.

Fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapapun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok, sekali mereka terpilih, anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.

Presiden/Wakil Presiden terkesan sering sengaja atau tidak melakukan endorsement terhadap keberadaan kelompok- kelompok tertentu yang membahayakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlalu mahal harganya jika demi mobilisasi dukungan bagi pemilihan mendatang, hal-hal mendasar dari prinsip demokrasi konstitusional dikorbankan.

Menjadi pemimpin negara memang tak sekadar berbekal mau, tetapi harus dengan pemahaman mendalam.

Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute, Deputi Rektor Universitas Paramadina

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home