| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 14, 2006,12:19 PM

Menyoal Utang Luar Negeri dan CGI

Wahyu Susilo

Menjelang Pertemuan Tahunan Consultative Group on Indonesia atau CGI, 14 Juni 2006, tim ekonomi Pemerintah Indonesia selalu mengintroduksi wacana mengenai posisi utang luar negeri di Indonesia.

Introduksi bukan untuk menyadarkan rakyat bahwa Indonesia dalam jebakan utang, tetapi untuk meyakinkan, utang luar negeri telah berkontribusi dan bermanfaat bagi pembangunan.

Posisi utang luar negeri selalu dikatakan aman sehingga tanpa merasa malu pemerintah selalu mengambil kesimpulan, Indonesia bisa mengajukan utang baru.

Utang berkurang

Dalam rapat konsultasi DPR-Gubernur BI-Menteri Keuangan pada 5-6 Juni 2006 dinyatakan, posisi utang Indonesia berkurang dari 134 miliar dollar AS menjadi 131 miliar dollar AS. Penurunan itu menjadi tak berarti ketika terungkap, pemerintah telah menyiapkan proposal utang baru senilai 4 miliar dollar AS.

Demikian juga lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara donor secara serempak memuji-muji Indonesia sebagai the good boy dan tetap pantas selalu dikucuri utang.

Akhir April 2006 Bank Dunia menyatakan Indonesia pada track yang tepat untuk pencapaian MDGs, sementara Asian Development Bank (ADB) terus memuji kebijakan makro-ekonomi Indonesia dengan angka pertumbuhan selalu di atas 5 persen.

Buntutnya, pujian disertai persyaratan, diperkuat di-launchingnya peringkat kinerja ekonomi dan pemanfaatan utang luar negeri yang dikeluarkan lembaga-lembaga pemeringkat ekonomi seperti Standard & Poor’s, Stanley Morgan, atau Merryl Lynch. Suara mereka sama, masa depan ekonomi Indonesia cerah dan utang luar negeri Indonesia masih bisa dikelola dengan baik.

Karena itu, baru-baru ini Pemerintah Indonesia gelisah dan gerah saat lembaga pemeringkat ekonomi Fitch tidak seirama dengan suara lembaga-lembaga sejenis. Fitch meragukan kinerja perekonomian Indonesia dan menurunkan peringkat pengelolaan utang dari nilai "positif" ke "stabil" (penilaian yang sebenarnya masih konservatif).

Dalam real politik ekonomi di Indonesia, CGI, sebagai konsorsium pengucur utang untuk Indonesia, lebih punya pengaruh signifikan untuk menentukan cetak biru pembiayaan pembangunan Indonesia ketimbang DPR yang secara konstitusional memiliki hak budget. Ironis. Inilah risiko pembangunan yang dibiayai utang luar negeri.

Menurut Human Rights Watch, dalam laporan 2005 mengenai Indonesia dinyatakan, faktor internasional yang paling berpengaruh adalah CGI. Ini tidak mengherankan karena dalam CGI berkumpul lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan Islamic Development Bank. Tidak ketinggalan semua negara maju, utamanya anggota G-8 (kecuali Rusia), terlibat.

Siklus pembiayaan pembangunan Indonesia diatur dan ditentukan oleh CGI. Secara formal konstitusional draf RAPBN diajukan eksekutif menyertai Pidato Kenegaraan Presiden, 16 Agustus, dalam Sidang Paripurna DPR, dibahas melalui mekanisme legislasi untuk disetujui sebagai UU pada Oktober-November. Namun, yang juga tak terbantahkan adalah pihak legislatif selalu ditinggalkan oleh pihak eksekutif dalam setiap pembicaraan mengenai besaran utang baru dengan negara donor dan lembaga keuangan multilateral.

Padahal, menurut Konstitusi UUD 1945 dan UU No 37 Tahun 1999 ihwal Hubungan Luar Negeri, pembicaraan tentang utang dengan negara lain/lembaga multilateral termasuk kategori perjanjian internasional dan mutlak disyaratkan adanya konsultasi dengan parlemen dan wajib mendapat persetujuan parlemen. Dalam sudut pandang governance of state financial, kebijakan utang luar negeri belum sepenuhnya mengacu pada UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Jika mengikut siklus pembahasan RAPBN yang difinalisasi Oktober-November, seharusnya kebijakan tentang utang diselaraskan siklus itu. Yang terjadi adalah komitmen mengenai besar utang baru ditentukan dalam sidang CGI, bukan didasarkan proses konsultasi eksekutif-legislatif dalam pembahasan RAPBN.

Dalam forum CGI, penentuan jumlah utang Indonesia ditentukan negara donor dan lembaga keuangan multilateral yang menilai kinerja ekonomi Indonesia. Dasar penilaian dari sudut pandang dan selera mereka. Bank Dunia mendasarkan pada Country Assistance Strategies, IMF mengacu pada Post Program Monitoring, negara donor memiliki conditionality sebagai ukuran penilaian.

Penghapusan utang

Dalam forum CGI, Indonesia tak pernah berinisiatif mendesak CGI merumuskan proposal pengurangan/penghapusan utang bagi Indonesia. Padahal, dalam beberapa kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (misalnya di UN Millennium+5 Summit pada September 2005 di New York dan KTT D-8 pada Mei 2006 di Bali) melontarkan inisiatif pengurangan/penghapusan utang untuk negara-negara miskin dan berkembang. Bencana alam yang menelan korban dan kerusakan infrastruktur sejak tsunami hingga gempa di Yogyakarta-Jawa Tengah dapat memperkuat argumen perlunya pengurangan/penghapusan utang.

Kepemimpinan CGI sejak tahun 2005 secara formal dipegang Pemerintah RI setelah sebelumnya diketuai Bank Dunia dan Belanda (semasa bernama IGGI). Namun, bukan berarti Pemerintah RI memegang kendali penuh konsorsium pendanaan. Kepemimpinan yang "simbolik" bukan merupakan solusi tuntutan reformasi hubungan Indonesia dan donor bilateral-multilateral yang selama ini timpang. Harus ada upaya lebih mendasar guna menilai relasi yang donor driven itu.

Hal yang bisa dilakukan adalah melakukan audit politik secara independen terhadap kebijakan utang luar negeri (termasuk dalam governance CGI) dengan menggunakan indikator konstitusi yang selama ini menjadi pedoman interaksi politik Pemerintahan Indonesia. Audit dimaksudkan untuk menilai apakah kebijakan tentang utang luar negeri konstitusional atau inkonstitusional. Audit utang adalah sebuah metode gerakan sosial di negara selatan untuk menuntut penghapusan utang najis (odious debt/illegitimate debt).

Upaya lain yang bisa dilakukan adalah menilai kebijakan utang luar negeri dan dampaknya dalam perspektif hak asasi manusia. Apakah kebijakan utang luar negeri berdampak terhadap pelanggaran HAM di ranah sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Upaya ini bisa dilakukan, apalagi Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Wahyu Susilo Project Officer Poverty & MDGs di INFID; Mengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home