| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 14, 2006,12:20 PM

Dosa Asal Utang Luar Negeri

A Prasetyantoko

Agenda utama sidang Consultative Group on Indonesia atau CGI, Rabu (14/6) di Jakarta bertumpu pada masalah penyediaan dana rekonstruksi Yogyakarta dan Jawa Tengah pascagempa. Sepertinya, tidak ada isu kontroversial yang muncul selain pertanyaan apakah mengandalkan dana hibah saja akan cukup.

Seperti diketahui, perkiraan dana rekonstruksi korban gempa melonjak dari Rp 1 triliun menjadi Rp 5 triliun.

Isu utang luar negeri pemerintah yang selama ini menjadi ajang kritik para aktivis anti-utang juga menunjukkan perbaikan. Niat pemerintah untuk segera melakukan percepatan pembayaran utang kepada IMF sebesar 7,51 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 69,7 triliun tampaknya tidak ada halangan berarti. Apalagi Bank Indonesia telah berhasil meningkatkan cadangan devisa hingga mencapai titik tertinggi dalam sejarah, sebesar 44,169 miliar dollar AS per 29 Mei 2006.

Ada catatan penting mengenai rencana ini. Ternyata, jika utang kepada IMF dipercepat, utang kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar 700 juta dollar AS juga harus segera dilunasi karena keduanya bersifat paralel. Hal yang lebih krusial, ternyata kita tidak banyak tahu berbagai prasyarat di balik perjanjian utang. Informasi yang disampaikan hanya mengenai jumlah dan sifat pinjaman, tetapi berbagai prasyarat yang mengikuti masih tetap menjadi misteri.

Percepatan pembayaran utang kepada IMF akan menurunkan rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB). Sesaat setelah krisis, rasio Indonesia hampir 80 persen. Pada akhir tahun 2005 rasio menjadi sekitar 50 persen. Dengan percepatan pembayaran utang, rasio utang pasti turun di bawah 50 persen.

Skenarionya, perbaikan rasio utang akan membuat lembaga-lembaga pemeringkat global seperti Moody’s, Standard & Poor’s, Merrill Lynch, dan sebagainya memperbaiki rating utang. Dampaknya, modal akan mengalir ke pasar domestik seiring dengan membaiknya kepercayaan investor asing. Tingginya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang mencapai 1.553,49 pada Mei lalu bisa menjadi indikasi, pasar domestik sudah mulai masuk kembali di radar para investor global.

Dalam ekonomi selalu dikenal trade-off. Turunnya utang pemerintah memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk mengakses modal di pasar global. Sayang, mengawasi aliran utang sektor swasta jauh lebih rumit ketimbang utang pemerintah. Padahal, dampaknya amat signifikan.

Dosa asal

Dalam studi ekonomi finansial, utang luar negeri sektor swasta menjadi isu penting yang seru diperdebatkan. Terutama setelah terjadinya seri krisis finansial di berbagai kawasan dunia: Asia Tenggara (1997), Amerika Latin (1994), dan Eropa Timur (1992).

Menurut Eichengreen, Hausmann, dan Panizza (2002), ketidakmampuan sebuah negara mendapat pinjaman dalam mata uang lokal berjangka waktu panjang merupakan "dosa asal" yang menyebabkan kekisruhan finansial sepanjang dekade 1990-an. Hipotesis dosa asal (original sin hypothesis) ini menjadi dasar banyak studi mengenai krisis dan liberalisasi kapital.

Bermula dari liberalisasi sektor finansial dan meningkatnya mobilitas kapital pada awal 1990-an, sektor korporasi bebas mengakses utang ke pasar finansial global. Dengan sistem nilai tukar tetap dan suku bunga di luar negeri yang lebih rendah, sebagian besar perusahaan di Indonesia memilih utang dalam bentuk mata uang asing. Dan akibat insentif tidak langsung dari pemerintah ini (implicit guarantee), hampir semua perusahaan tak melakukan strategi lindung nilai (hedging). Ada dua akibat yang muncul.

Pertama, karena sebagian besar pinjaman berjangka waktu pendek, muncul kesenjangan antara tenggat pembayaran utang dan pendapatan perusahaan (maturity mismatch).

Kedua, karena sebagian besar pinjaman dalam mata uang asing sementara pendapatan dalam mata uang lokal, maka muncul kesenjangan mata uang (currency mismatch).

Buruknya struktur kapital pada neraca perusahaan ini mendorong krisis hingga merontokkan sistem perbankan. Untuk menyelesaikannya, tak urung pemerintah harus turun tangan dengan memperlakukan sistem penjaminan yang sebenarnya (explicit guarantee).

Belum tuntas

Begitulah balance-sheet effects menyerang perekonomian kita. Hingga kini masalah yang ditimbulkan, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai akumulasi "efek neraca", belum bisa tuntas diselesaikan. Terbukti, "akibat dosa asal" bisa mencapai satu dasawarsa.

Selama ini, perhatian kita hanya tertuju pada ekor dari deretan masalah tadi, yaitu besarnya utang pemerintah. Padahal, utang pemerintah tidak bisa dilepaskan dari perilaku sektor swasta. Dengan begitu, perhatian pada utang luar negeri sektor swasta perlu mendapat prioritas.

Transparansi utang luar negeri pemerintah dan sektor swasta sama pentingnya. Sayang perilaku utang sektor swasta lolos dari pengamatan publik, DPR, pemerintah, dan otoritas moneter sendiri.

Di tengah membaiknya predikat utang pemerintah, agenda yang harus segera dilakukan adalah merancang perangkat yang bisa mendeteksi aliran utang sektor swasta agar tidak terjadi kesalahan yang sama seperti di masa lalu.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi pada Ecole Normale Supérieure (ENS) – Lsh, Lyon, Perancis

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home