| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 02, 2006,10:18 PM

Sudahi Perdebatan Ideologi

Presiden Yudhoyono: Pancasila adalah Sumber Segala Rujukan dan Solusi

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh anak bangsa menyudahi perdebatan penempatan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Presiden meminta agar Pancasila dijadikan sebagai rujukan, sumber inspirasi, dan jendela solusi di masa transisi yang penuh ancaman.

"Pada awal reformasi, MPR mengeluarkan Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Sudahi perdebatan soal Pancasila sebagai dasar negara," ujar Presiden dalam pidato peringatan 61 tahun lahirnya Pancasila di Jakarta, Kamis (1/6).

Mengikuti pemikiran Soekarno dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Presiden mengemukakan, Pancasila sudah memberi kerangka solusi atas ketegangan dan masalah yang timbul terkait dengan nasionalisme dan internasionalisme (globalisasi), demokrasi dan kesejahteraan sosial, dan hubungan negara dan agama. "Pancasila masih relevan sebagai rujukan, sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan jendela solusi di masa transisi ini yang penuh tantangan dan ancaman," ujarnya.

Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila sebagai falsafah dan ideologi terbuka, bukan dogma statis yang menakutkan. Presiden mengajak penyelenggara negara menata kembali kerangka kehidupan berbangsa.

Presiden mengungkapkan, selama delapan tahun gerak reformasi dan demokratisasi, ada ketidakberanian mengucapkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, wawasan kebangsaan, stabilitas, pembangunan, dan kemajemukan karena bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. "Padahal, karakteristik reformasi adalah perubahan dan kesinambungan. Lanjutkan yang baik, tepat, dan relevan dengan jati diri dan konsensus dasar," katanya.

Maklumat Keindonesiaan

Sebelum pidato politik Yudhoyono sebagai kepala negara dan anak bangsa yang peduli nasib dan arah perjalanan bangsa, Todung Mulya Lubis membacakan Maklumat Keindonesiaan yang dideklarasikan 17 tokoh.

"Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang- menyumbang gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembuk. Ia mengakui perbedaan manusia dan ketidaksempurnaannya. Ia tidak menganggap diri doktrin mahabenar. Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri mahabenar," ujar Todung.

Menurut Ketua Panitia Gumilar R Soemantri, peringatan ke-61 lahirnya Pancasila dilakukan atas dasar kerisauan akan tanggalnya visi bangsa ke depan dan menipisnya rasa "kekitaan" sebagai Indonesia yang majemuk, berbeda tetapi tetap satu.

Presiden melihat gejala ancaman terhadap nilai dan konsensus dasar Pancasila dengan munculnya kembali debat ideologi nasionalisme dan globalisasi, negara dan agama, Pancasila dan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. "Hiruk-pikuk dan kegaduhan politik saat ini berakar dari hal-hal yang fundamental itu," ujarnya.

Presiden mengingatkan agar ikatan suku, agama, dan kedaerahan tidak menabrak ikatan kebangsaan yang harus dipertahankan. "Jadikan Indonesia ladang yang teduh tempat bertemunya anak bangsa yang penuh dengan perbedaan," tuturnya.

Pada masa transisi yang penuh kerawanan, tantangan, dan ancaman, Presiden mengajak semua pihak mengawal dan menciptakan kondisi kondusif. "Negara harus menegakkan konstitusi dan aturan main. Reformasi, demokratisasi, dan rekonstruksi harus berjalan damai, tertib, dan stabil," ucapnya.

Jangan tinggalkan Pancasila

Sementara itu, sejumlah tokoh nasional kemarin berkumpul di kediaman mantan Wakil Presiden Try Sutrisno di Jalan Purwakarta, Menteng, Jakarta, untuk melontarkan pernyataan senada.

Mereka mengkritik elite politik, pemimpin, dan cendekiawan, yang melupakan dan bahkan meninggalkan nilai-nilai Pancasila, sebagai landasan, jati diri, pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Seharusnya nilai-nilai Pancasila menjadi sesuatu yang kita sepakati, yang dapat menjamin kemajemukan serta kebhinnekaan kita," ujar Try Sutrisno, Kamis, seusai bertemu mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dan KH Abdurrahman Wahid, Wiranto, Akbar Tandjung, tokoh agama, dan aktivis.

Saat ini ada kecenderungan yang mengancam kemajemukan serta kebhinnekaan, dipicu oleh tekanan-tekanan ke arah satu pola kehidupan. Prosedur demokrasi formal justru dipakai untuk melemahkan serta merapuhkan kohesi sosial. "Karena itu, para pemimpin dan politisi hendaknya kembali memahami, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian maupun dalam berpolitik," ujar Try.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara terpisah menyatakan erosi dan ketidakmampuan memahami Pancasila merupakan masalah yang dihadapi bangsa, seiring dengan munculnya globalisasi dan modernisasi.

Kalangan agama serta institusinya sering merasa terancam. Akibatnya, muncul penguatan institusi agama yang lalu saling bergantung dengan negara. Padahal, kekaburan batas antara negara dan agama sebetulnya sudah diselesaikan dengan Pancasila. Dengan Pancasila, Indonesia tidak menjadi negara agama. "Tapi yang kini berkembang adalah nasionalisme sempit," katanya.

Sementara itu, aktivis lembaga swadaya masyarakat, Hendardi, berharap pidato Presiden Yudhoyono yang sekaligus menunjukkan posisi politiknya terhadap Pancasila dapat diwujudkan dalam kebijakan politiknya. "Masyarakat menantikan bagaimana implementasinya terhadap berbagai masalah yang tidak sesuai dengan Pancasila," katanya.

Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Hery Haryanto Azumi menegaskan, Pancasila adalah ideologi final yang tak bisa ditawar, tetapi perlu ada reinterpretasi tentang beberapa konsep dasar Pancasila, misalnya konsep keadilan sosial yang harus dimaknai sebagai keadilan distributif. (INE/INU/DWA/BDM)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home