| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 01, 2006,11:37 AM

Pancasila Rumah Kita

Sukardi Rinakit

Buya Safii Ma’arif dan Anhar Gonggong benar. Mereka berpendapat, usia bangsa Indonesia masih muda. Paling lama hanya 78 tahun jika dihitung sejak Sumpah Pemuda 1928. Karena itu, masuk akal jika bangsa ini gagap saat menghadapi terjangan globalisasi dan menguatnya politik identitas. Bangsa ini belum matang.

Hal itu bisa dibuktikan dengan kurang lenturnya bangsa Indonesia melakukan sintesa sebagai jalan tengah untuk mempertemukan globalisasi (fundamentalisme pasar) dan fundamentalisme kebenaran absolut (agamais). Secara umum bangsa ini lebih memilih politik identitas sebagai tameng menghadapi terjangan globalisasi daripada melakukan upaya cerdas mencari bandul kompromi dari dua nilai itu. Akibatnya, praktik intimidasi, perilaku kekerasan, dan konflik horizontal-vertikal menjadi sering mengedepan.

Dengan kecenderungan seperti itu, jubah republik yang kotor oleh korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan bencana alam, menjadi kian kotor. Dan ketika masalah agama, suku, asal daerah, dan ikatan primordial lain mulai merenggut toleransi dan perasaan bersaudara sesama warga, kita pun gamang, meraba-raba mencari pegangan. Akhirnya, yang ditemukan adalah apa yang sejak runtuhnya Orde Baru jarang diperbincangkan, yaitu Pancasila.

Artinya, Pancasila—seperti digelorakan Franky Sahilatua—adalah rumah kita. Rumah untuk segala puji nama Tuhan, untuk sesama, cermin keluarga yang menyatu, bersambung rasa, dan saling membagi penuh keadilan. Dengan kata lain, Pancasila perlu direvitalisasi (dalam tataran ide dan praksis) agar menjadi rumah untuk kita semua.

Revitalisasi ide

Pada tataran ide, revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti "Membela Pancasila Sampai Mati" atau "Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan" menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.

Karena itu, Pancasila harus dilihat sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara otomatis akan tertanam pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita- cita, seperti kehidupan rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan bertahap. Dengan demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan guna mencapai cita-cita itu.

Selain perlunya penegasan bahwa Pancasila adalah cita-cita, hal penting lain yang dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila dalam tataran ide adalah mencari maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi strategi kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno, jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.

Tataran praksis

Survei yang penulis lakukan menunjukkan, ternyata harapan rakyat justru diletakkan pada hal-hal kecil dan sederhana, bukan hal-hal makro dan mendasar. Karena itu, untuk membangkitkan gairah publik dan penerimaan Pancasila, revitalisasi Pancasila perlu dilakukan pada hal-hal yang sederhana.

Harapan rakyat, jika ada ormas yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap anggota masyarakat lain, presiden langsung naik panggung dan dengan tegas menyatakan, "Republik ini tidak dibangun dan didirikan atas dasar agama, suku, ras, dan golongan. Karena itu, hal yang aneh-aneh harus bubar." Ketegasan kepemimpinan demikian akan merevitalisasi dua sila sekaligus, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.

Harapan rakyat, ketika korban SUTET menjahit mulutnya, presiden langsung naik panggung dan menyatakan, "Sebagai presiden, saya tidak mau rakyat saya seperti itu. Pemerintah tidak punya uang untuk ganti rugi. Tetapi, jika perlu, pemerintah akan cari utang demi rakyat." Ketegasan seperti ini akan menjadi energi yang tak habis bagi revitalisasi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Harapan rakyat, presiden menegaskan, "Dalam sistem demokrasi kita, hal-hal yang menyangkut nilai tertinggi bangsa (misalnya, persatuan), keputusan harus melalui musyawarah-mufakat. Voting tidak dapat digunakan sebagai mekanisme pengambilan keputusan tentang aneka masalah yang mengandung risiko memecah, yang mengancam persatuan dan keutuhan bangsa." Ini untuk merevitalisasi sila keempat Pancasila.

Untuk sila Keadilan Sosial, rakyat hanya berharap bisa menikmati air bersih, transportasi umum (murah-aman-nyaman), selokan dan sungai tidak mampat sehingga tidak banjir, ada ruang publik (taman kota) dan mudah mengurus surat-surat (KTP, SIM, dan lain-lain).

Tanpa terpenuhinya harapan sederhana rakyat itu, keinginan untuk merevitalisasi Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai rumah kita semua akan lebih bersifat utopis daripada realistis. Masak Presiden tidak bisa memenuhi harapan sederhana ini?

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home