| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 01, 2006,11:56 AM

Prof Dr Koento Wibisono: Pancasila Telah Dilupakan Orang

[YOGYAKARTA] Saat ini Pancasila telah dilupakan orang. Hal ini disebabkan pemanfaatan Pancasila sebagai alat kepentingan penguasa di era Orde Baru. Impian orang tentang Pancasila, menjadi sangat negatif, dan bangsa ini menjadi malu menyebut Pancasila. Pancasila kini kehilangan segala-galanya.

"Implikasinya menjadi sangat jauh, Pancasila tidak lagi terdengar, bahkan yang kami prihatinkan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam UU Sisdiknas No 20/ 2003 tidak lagi menyebut Pancasila sebagai mata pelajaran wajib. Nah Itu ada apa. Siapa yang bermain. Apakah ada kesengajaan, atau ada semacam suatu keengganan dan meniadakan ideologi Pancasila. Itulah yang kita rasakan saat ini," jelas Prof Dr Koento Wibisono Siswomiharjo, Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada yang sekaligus mantan Rektor UNS kepada Pembaruan, di Yogyakarta, baru-baru ini.

Pancasila hilang dari peredaran. Masyarakat kehilangan orientasi nilai, demokrasi menjadi kebablasan dan disusul dengan era otonomi, yang mengarah pada suatu yang sangat mendegradasikan negara kesatuan. "Di daerah yang otonom, kalau bukan putra daerah, tidak bakal bisa jadi pimpinan daerah, bahkan yang sangat kami sesalkan, juga di perguruan tinggi, khususnya di luar Jawa, kalau bukan putra daerah maka tidak akan bisa jadi pimpinan universitas atau fakultas. Nah disinilah hilangnya rasa kebangsaan Pancasila sudah jauh dari bagian ingatan kita ini, yang menjadi suatu pertanda apa yang harus kita lakuan," ucap Koento.

Ada dua konstitusi yakni UUD 45 dan UUD yang diamendemen yang sudah jauh dari roh UUD 45. MPR sudah tidak punya kekuasaan, rakyat yang memilih, tetapi soal perubahan, yang mengubah harus MPR "Jadi ini ada kesimpangsiuran, ekonomi juga kehilangan roh pasal 33 dan sebagainya itulah yang terjadi sekarang," ujarnya.

Namun Koento yakin, dalam masa-masa ini, sudah mulai tumbuh wacana di tingkat elite dan universitas untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 45.

"Pernah ada ide, dekrit presiden seperti 5 juli 59, tetapi itu impossible, referendum juga tidak mungkin, akibatnya bisa terjadi pro-kontra, dan tidak akan menjamin tercapainya, tujuan semula," papar Profesor berumur 75 tahun ini.

Yang jelas kita rasakan, semakin menuju pemilu 2009, elite politik tidak pernah menyinggung Pancasila, idenya hanya bagaimana merebut kekuasaan. Namun menurutnya, belakangan ini ada semacam kebangunan kembali atau renaissance untuk membicarakan bagaimana revitalisasi Pancasila.

Terkait dengan keengganan siswa dan mahasiswa dalam mempelajari Pancasila, professor ini menyampaikan sebuah gagasan bahwasanya, pelajaran Pancasila harus ditata kembali, bukan lagi indoktrinasi, kepada guru/dosen hanya diberikan rambu, bukan lagi teacher centre tapi student centre, bukan transformation of knowledge tetapi sharing of knowledge.

Tiga Golongan

Sedangkan pakar politik dari Universitas Indonesia (UI), Arbi Sanit mengatakan, ada tiga golongan yang sejak awal negara ini mempertentangkan keberadaan Pancasila. Tiga golongan itu adalah golongan tradisi, golongan agama tertentu dan golongan modernis.

Menurut Arbi, Pancasila merupakan ide atau pikiran dari golongan tradisi. Karena tergesa-gesanya membentuk negara waktu itu, kata dia, ide Pancasila dari golongan tradisi ini diterima saja oleh golongan agama dan modernis.

"Ingat golongan agama dan modernis waktu itu sebenarnya belum setuju, ya karena tergesa-gesa itu tadi maka disetujui saja," kata dia.

Sebagai akibatnya, kata dia, selama perjalanan bangsa ini sebagian masyarakat Indonesia tidak mengamalkan Pancasila. Untuk itu, kata Arbi, rumusan Pancasila ini harus diinterpretasi lagi. "Yang menginterpretasi adalah para pakar sejarah, politik, hukum bersama masyarakat." [SKA/E-8]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home