| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, May 31, 2006,12:58 PM

Mewaspadai Gempa Tektonik

Widodo Ismanto

Satu tahun lebih gempa besar yang disertai tsunami telah menenggelamkan wilayah pesisir Aceh dan Nias merenggut ratusan ribu jiwa juga mengoyak infrastruktur yang ada. Tsunami merupakan peristiwa yang amat traumatis bagi masyarakat Indonesia. Akibatnya, isu tsunami membuat masyarakat Yogyakarta dan Bantul, yang Sabtu lalu diguncang gempa dahsyat, makin takut. Keadaan kian menyedihkan karena situasi yang amat kacau.

Tidak terlintas sedikit pun di benak kita bahwa akan terjadi bencana dahsyat yang menghantam kawasan Yogya yang damai. Sebagian besar masyarakat Yogya dan sekitarnya terkonsentrasi untuk mewaspadai meningkatnya aktivitas Gunung Merapi. Upaya pemerintah daerah untuk mengantisipasi amuk Merapi telah disiapkan dengan baik. Ternyata ada bencana lebih dahsyat, bergerak perlahan yang arahnya dari laut selatan kota Yogyakarta.

Pada hari Sabtu (27/5/2006) telah terjadi gempa bumi tektonik pukul 05.53’57" WIB dengan kekuatan 5,9 skala Richter, berpusat sekitar 37 kilometer sebelah selatan pantai Parang Tritis dengan kedalaman 17 kilometer di bawah dasar laut (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika) telah meluluhlantakkan kota Yogya dan sekitarnya. Korban pun berjatuhan. Korban meninggal mencapai 5.000 lebih, ribuan orang luka berat dan ringan, serta kehilangan harta.

Dari gambaran kerusakan hebat, mulai dari Pantai Selatan tak jauh dari Parangtritis di Kabupaten Bantul ke arah timur laut ke kota Yogya hingga Klaten, terlihat jelas bahwa ada daya dorong dari arah selatan dengan energi dahsyat menyebabkan sesar atau disebut zone "Sesar Opak yang terjadi pada zaman Kala Miosen" yang memanjang dari selatan hingga daerah Klaten ikut reaktif.

Akibatnya terjadi kerusakan hebat di sekitar arah sesar itu. Ini merupakan kejadian yang amat menakutkan dan tidak akan terlupakan bagi masyarakat Yogya dan sekitarnya.

Sarat ancaman

Secara geografis Indonesia merupakan negara yang sarat akan ancaman bencana alam, baik akibat gunung berapi, longsoran, dan gempa bumi tektonik, yang dapat mengakibatkan terjadinya tsunami.

Ditinjau dari pergerakan tektonik, sebelah selatan Pulau Jawa merupakan daerah pusat gempa yang bisa terjadi dengan waktu tidak terduga. Pergerakan lempengan tektonik itu amat aktif, yaitu pergerakan relatif Lempeng Australia menunjam dari arah selatan ke Lempeng Eurasia yang memanjang dari Andaman sampai Busur Banda Timur, antara lain, melalui sebelah barat Sumatera, selatan Pulau Jawa, lalu ke arah selatan Bali, NTB, NTT, hingga ke arah Laut Maluku dan Irian.

Berdasarkan catatan, dalam 100 tahun (periode 1901-2000) tidak kurang dari 75 tsunami terjadi, 85 persen terjadi di wilayah timur Indonesia, dengan korban 2.100 orang (tsunami Flores 1992), Banyuwangi 238 orang, dan Biak 160 orang.

Berdasarkan catatan The International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, dalam kurun waktu 15 tahun (1 Januari 1970-31 Desember 1984) telah terjadi 6.148 kali gempa dengan besar 4 -7 skala Richter. Artinya, dalam satu tahun terjadi 413 kali gempa. Data itu menunjukkan Indonesia merupakan negara rawan gempa bumi tektonik.

Dari catatan sejarah, gempa bumi tektonik besar yang terjadi di selatan Yogya sudah pernah terjadi pada ratusan tahun lalu. Barangkali perulangan terjadinya gempa ini perlu dicatat dan dianalisis sebagai bahan untuk dapat memprediksi terjadinya gempa yang akan terjadi. Dari hasil pencatatan sejarah gempa yang pernah terjadi, salah satunya dapat dihitung energi kumulatif yang pernah dilepaskan di sekitar lempengan itu sehingga dapat diperhitungkan besarnya ambang batas energi yang dapat menimbulkan gempa yang besar.

Dengan menggunakan teori statistik dan digabung dengan teori geofisika, karakter energi kumulatif dari gempa-gempa yang terjadi hingga mencapai puncak terjadinya gempa bumi tektonik yang cukup besar paling tidak dapat diperkirakan. Karakter perulangan gempa besar yang terjadi untuk masing-masing tempat berbeda, yaitu ada yang lebih kecil atau lebih dari 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun, dan seterusnya tergantung dari kondisi batuan yang ada dan juga kecepatan pergeseran dari lempengan-lempengan tersebut.

Sudah selayaknya instansi-instansi terkait mengeluarkan peta-peta daerah gempa bumi yang bersifat dangkal, menengah, dan dalam, membuat peta-peta yang dirasakan guncangannya atau disebut Modified Mercally Intensity (MMI), juga membuat peta percepatan dari seluruh wilayah rawan gempa.

Peta-peta itu perlu disosialisasikan ke pemerintah pusat hingga daerah sehingga dalam perencanaan penataan ruang dalam rangka pengembangan daerah sudah memperhitungkan faktor kegempaan dan bencana alam lainnya.

Badan yang khusus menangani bencana alam perlu dibentuk sehingga jika terjadi peristiwa seperti gempa di Yogyakarta secara otomatis akan bergerak dengan sistem yang sudah mantap dan terkoordinasi tanpa harus menunggu perintah dari bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden.

Melihat kondisi wilayah Indonesia yang sarat dengan ancaman bencana alam, langkah itu perlu segera dilaksanakan agar tidak terjadi korban-korban yang lebih banyak lagi di masa datang.

Penataan ruang

Daerah Yogyakarta dan sekitarnya ditinjau dari kondisi lingkungan merupakan daerah yang berpeluang terjadinya ancaman alam, yaitu dari Gunung Merapi yang merupakan gunung yang paling aktif di dunia yang dapat mengakibatkan timbulnya awan panas maupun luncuran lava. Juga adanya pergeseran Lempengan Australia dan Lempengan Eurasia di sebelah selatan Yogyakarta, tepatnya sepanjang laut sebelah selatan, berpotensi menimbulkan gempa bumi tektonik yang salah satunya terjadi pada hari Sabtu lalu.

Untuk mengantisipasi perkembangan kota Yogyakarta dan sekitarnya, penataan ruang perkembangan kota harus diperhatikan. Misalnya, dengan membangun rumah maupun gedung-gedung yang memperhitungkan faktor gempa, menjauhi daerah-daerah sesar, merenovasi rumah- rumah yang telah ditempati secara antar generasi dan menata penyebaran perkembangan pembangunan dan lain- lain yang sifatnya dapat mencegah atau meminimalkan ancaman-ancaman alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan, pusat pendidikan dan juga pusat pariwisata yang harus dipertahankan dan dilestarikan.

Dengan keramahan penduduknya, sikap nrimo dan ancaman alamnya dapat dinetralkan dengan perencanaan dan penataan yang baik dan terkoordinasi, sehingga Yogyakarta akan tersenyum kembali sebagai kota idaman yang menenteramkan hati.

Widodo Ismanto Pernah Bekerja di BMG sebagai Seismolog; Kini Mahasiswa Program S3 PS-PSL Sekolah Pascasarjana IPB

1 Comments:

Blogger Nicky Setyawan said...

Maaf pak admin, klo boleh tau saya minta alamat email pak widodo ismanto .... saya tertarik pada pemetaan gempabumi, akan tetapi masih sangat kurang tahu terhadap konsep-konsep yang ada. kalo boleh saya ingin belajar lebih jauh mengenai konsep-konsep tersebut... saya mahasiswa Fakultas geografi, jurusan SIG & PW '06 universitas gadjah mada

5:44 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home