| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 12, 2006,1:37 PM

Kurikulum Patriotisme

Sindhunata

Maciej Zurawski adalah pemain andalan Polandia. Semua harapan bangsanya diletakkan ke pundak pemain dari Glasgow Celtic itu. Sudah lama tak ada pemain dari Polandia yang bisa bicara di Eropa. Sekarang mereka memilikinya dan dia adalah Zurawski. Begitu pujian legenda bola Polandia, Zbigniew Boniek.

Zurawski adalah pahlawan Celtic. Musim kompetisi ini ia mencetak 20 gol. Bersama dia, Celtic meraih reputasi di Skotlandia. Oleh fans Celtic, ia lalu digelari "The Magic". Kendati hebat, Zurawski tidak arogan. Kendati dianggap bintang, sikapnya dikenal sebagai anti-star.

Zurawski memang rendah hati. Tetapi, menjelang laga melawan Ekuador, ia tiba-tiba omong besar. Katanya, Polandia akan menjadikan Ekuador menu pendahulu. Setelah itu, Jerman dijadikannya menu utama. Dan Kosta Rika, menu pencuci mulut.

Mengapa ia tiba-tiba sombong? Mungkin karena optimisme berlebihan. Tapi mungkin sekali karena harapan terlalu besar yang dipikulkan ke bahunya. Maklum, dalam pertarungan setaraf Piala Dunia ini, siapa terlalu rendah hati akan tampak sebagai orang yang kehilangan kepercayaan diri.

Malanglah Zurawski. Ia dimakan oleh omongannya sendiri. Polandia ternyata sama sekali tidak berdaya menahan gempuran De la Cruz, Delgado, dan Tenorio. Bukannya Ekuador yang dijadikan sebagai menu pendahulu. Sebaliknya, Ekuador-lah yang melumat habis Polandia sebagai menu utama. Sebanyak 48.000 fans Polandia, termasuk bekas juara tinju dunia Dariusz Michalcezewski, tak percaya melihat Zurawski dan kawan-kawan "dikanvaskan" Ekuador, 0-2.

Bukan tim unggulan

Ekuador bukan tim unggulan, tetapi ternyata penampilannya mengejutkan. Tampak Piala Dunia kali ini diisi dengan kejutan-kejutan itu. Lihat saja Paraguay, yang membuat Inggris kewalahan. Hanya karena gol bunuh diri Carlos Gamarra, Inggris memperoleh tiga angka. Itu menunjukkan, Inggris tak terlalu pantas untuk difavoritkan seperti selama ini digembar-gemborkan.

Menyusul Ekuador dan Paraguay adalah Trinidad-Tobago. Leo Beenhakker ternyata benar: semua orang akan terkejut dengan penampilan anak-anak asuhannya. Memang, Swedia benar-benar dibuat frustrasi oleh para pemain Trinidad-Tobago. Duet Zlatan Ibrahimovic dan Henrik Larsson berulang kali digagalkan pemain belakang Trinidad-Tobago yang bermain bagaikan banteng ketaton. Pertandingan pun berakhir dengan 0-0.

Dan menyusul Ekuador, Paraguay, dan Trinidad-Tobago adalah Kosta Rika. Memang Kosta Rika kalah dari Jerman, 2-4. Tapi dalam pertandingan pembukaan Piala Dunia itu, Kosta Rika sempat membuka kerapuhan permainan Jerman. Kata "Kaisar" Franz Beckenbauer, dengan kemenangan itu, Jerman telah membuktikan bahwa mereka telah menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun, mereka belum menunjukkan kekokohannya.

Menurut Beckenbauer, kesebelasan Jerman lemah dalam pertahanan. Berbulan-bulan, Jürgen Klinsmann mencoba memperbaiki pertahanan, tetapi sampai malam itu kelihatannya perbaikan tersebut tidak membuahkan hasil. Dengan amat mudah, pertahanan mereka kecolongan.

"Jika menghadapi kesebelasan yang lebih kuat, kesalahan pertahanan kami akan dihukum dengan lebih berat," sambung Lothar Matthäus. Dan dengan geram, pemain legendaris Jerman tahun 1974, Gerd Müller, mengecam, "Melihat permainan itu, saya berpikir, rasanya pertandingan berikutnya akan tidak terlalu baik buat kami."

Mendidik patriotisme

Ada banyak faktor mengapa kesebelasan yang tidak diunggulkan, seperti Ekuador, tiba-tiba bisa membuat gugur segala spekulasi yang menyepelekan mereka. Salah satunya adalah faktor patriotisme. Presiden Ekuador sendiri, Alfredo Palacio, larut dalam semangat patriotik itu. Lewat Menteri Pendidikan, Presiden Palacio menginstruksikan, pertandingan sepak bola Ekuador harus dikaitkan dengan pelajaran di sekolah-sekolah. Setiap selesai Ekuador bertanding, guru-guru harus mengajak murid-muridnya untuk membuat evaluasi tentang teknik, taktik, dan kerja sama grup, yang bisa dipetik dari pertandingan tersebut untuk pendidikan. Dengan demikian, kata Presiden Palacio, nilai-nilai patriotisme bisa dialami secara nyata oleh murid-murid sekolah.

Tampak, betapa sepak bola bisa menjadi sumber pendidikan mental dan moral bagi anak-anak sekolah. Kalau demikian, betapa malang bangsa kita ini. Soalnya, di negeri ini tak ada wacana bola yang bisa mendidik kita untuk belajar tentang patriotisme. Lihatlah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), badan tertinggi persepakbolaan kita. Dalam tubuh PSSI kita melihat betapa pertandingan bisa diatur, sportivitas dikorbankan, kejujuran, keadilan, dan ketidakdisiplinan dibiarkan bahkan dipupuk.

Belajar dari Ekuador, semoga PSSI sadar bahwa dilihat dari segi pendidikan, segala tingkah laku mereka juga mempunyai pengaruh buruk terhadap pembinaan moral dan mental bangsa. Segala tindakan PSSI yang melawan sportivitas, tidak adil, dan indisipliner itu ikut memberikan andil mengapa bangsa kita terus-menerus didera ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, dan seenaknya melanggar hukum dan aturan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home